NovelToon NovelToon
Zero Point Survival

Zero Point Survival

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / PUBG / Perperangan / Game
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Yudhi Angga

Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: Bayangan Masa Lalu dan Sebuah Keberanian Baru

Setelah event di Jakarta, Rangga kembali ke kosannya yang baru dengan perasaan yang bercampur aduk. Sukses di dunia virtual terasa semakin nyata, namun ketidaknyamanan di dunia nyata juga kian menghimpit. Meskipun ia telah tampil di depan banyak orang, bahkan di panggung, ia tetap merasa seperti penipu. Ren adalah topeng yang sempurna, tapi Rangga yang asli di baliknya masih tersembunyi, penuh keraguan dan rasa malu.

Di satu sisi, kehidupannya berubah drastis. Akun media sosialnya terus meledak, tawaran endorsement mengalir deras, dan pendapatannya kini jauh melampaui impian terliarnya saat masih menjadi pelayan kafe. Ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan, bahkan membiayai pengobatan ibunya di kampung. Ia berinvestasi pada peralatan streaming terbaik, memperluas jangkauan streaming-nya, dan bahkan mulai merekrut seorang manajer kecil untuk membantu mengelola jadwalnya.

Namun, di sisi lain, interaksi di dunia nyata semakin terasa aneh. Saat ia pergi ke kafe lamanya, Dodi dan teman-teman lain kini menyapanya dengan tatapan hormat, hampir seperti ia adalah selebriti sungguhan. Mereka memanggilnya "Ren," bukan "Rangga." Hal itu membuatnya merasa teralienasi, seolah ia telah kehilangan dirinya yang lama. Bahkan, Bapak Udin, tetangga kosannya dulu, pernah menyapanya dengan ragu. "Itu Ren, ya? Yang di TV itu?" tanyanya polos, membuat Rangga buru-buru mengangguk dan menghindar.

Kesenjangan antara Ren dan Rangga semakin dalam. Ia semakin sering menghabiskan waktu di dalam kosan, di depan komputernya, di dalam dunia virtual Zero Point Survival, di mana ia merasa benar-benar nyaman dan berdaya. Ia menghindar dari acara gathering influencer atau pertemuan dengan sponsor di Jakarta, selalu dengan alasan "sibuk membuat konten" atau "sedang mempersiapkan turnamen selanjutnya." Aisha, dengan kesabarannya yang luar biasa, selalu menerima alasannya, meskipun Rangga bisa merasakan nada sedikit kekecewaan atau keprihatinan dalam suaranya.

Suatu sore, saat Rangga sedang bersiap untuk live stream malam itu, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Biasanya ia tidak mengangkat, tapi entah kenapa, kali ini ia mengangkatnya.

"Halo... ini dengan Ren?" sebuah suara pria paruh baya di ujung telepon.

"Iya, saya sendiri," jawab Rangga, curiga.

"Ren, ini Bapak Rahmat. Saya dulu adalah tetangga lama kamu di kosan dulu, yang di dekat kafe itu. Ingat?"

Jantung Rangga mencelos. Bapak Rahmat. Mantan tetangganya, yang selalu melihatnya sebagai Rangga si pelayan kafe yang kurus.

"Iya, Pak Rahmat. Ada apa ya?" Rangga mencoba tenang.

"Gini, Ren. Saya dengar kamu sukses besar sekarang. Anak saya, si Gilang, dia itu penggemar berat kamu. Dia lagi sakit keras, Ren. Udah lama dirawat di rumah sakit. Dia pengen banget ketemu kamu, Ren. Walaupun cuma sebentar. Bisa?" Suara Bapak Rahmat terdengar putus asa.

Rangga terdiam. Pertanyaan itu menembus perisai "Ren" yang selama ini ia bangun. Ini bukan tentang endorsement atau follower. Ini tentang Gilang, anak kecil yang dulu sering melihatnya berangkat kerja di pagi hari. Ini adalah panggilan dari masa lalunya, dari dunia yang ingin ia lupakan.

Ia menelan ludah. "Sakit apa, Pak?" tanyanya, suaranya tercekat.

"Leukemia, Ren. Sudah stadium akhir. Dokter bilang waktunya... tidak banyak lagi."

Rangga merasakan lututnya lemas. Ia teringat wajah Gilang yang ceria, sering bermain di depan kosan. Rasa bersalah menghimpitnya. Ia telah melarikan diri dari masa lalu, dari orang-orang yang mengenalnya sebagai Rangga.

"Baik, Pak. Rumah sakit mana? Saya akan datang," kata Rangga, suaranya tegas, penuh keputusan.

"Benar, Ren?! Terima kasih banyak, Ren! Rumah sakit Harapan Bunda, kamar nomor tiga dua empat." Suara Bapak Rahmat terdengar sangat lega.

Rangga menutup telepon, tangannya gemetar. Ia menatap pantulan dirinya di layar PC. Ia adalah Ren, pro player kaya raya yang punya jutaan follower. Tapi kini, ia harus menghadapi Rangga yang lama, yang belum tentu bisa diterima oleh dunia barunya. Ini bukan lagi tentang tampil sempurna. Ini tentang menjadi manusia.

Tanpa banyak berpikir, ia mengganti pakaiannya. Ia mengenakan kaos polos yang dulu ia kenakan saat masih bekerja di kafe, dan celana jeans favoritnya yang sedikit usang. Ia tidak peduli lagi dengan stylist atau outfit dari Aisha. Ini adalah Rangga.

Ia meraih kunci motor. Motornya yang setia, Honda Supra tahun 2000 berwarna biru yang sedikit kusam dengan beberapa lecet di sana-sini, kini terasa seperti kendaraan menuju masa lalu. Mesinnya berderu pelan saat ia menyalakannya, suara yang sudah akrab menemani perjalanan hidupnya yang berat. Ia melaju di jalanan Bandung yang ramai, pikiran kalut.

Setibanya di rumah sakit, ia menanyakan kamar Gilang. Aroma antiseptik menusuk indranya. Ia melangkah ragu, melewati koridor yang sepi. Di depan kamar 324, Bapak Rahmat berdiri, matanya sembab.

"Ren..." Bapak Rahmat menyapanya, melihat Rangga yang tampil sederhana. Ada sorot aneh di matanya, mungkin terkejut melihat "Ren" yang berbeda dari bayangannya.

"Gimana kabar Gilang, Pak?" tanya Rangga.

"Dia... dia sudah nungguin kamu, Ren. Senang banget dia."

Rangga membuka pintu kamar. Gilang terbaring lemah di tempat tidur, kulitnya pucat, namun matanya berbinar saat melihatnya. "Kak Ren!" suaranya serak, namun penuh semangat.

Rangga menghampiri tempat tidur Gilang. Ia melihat poster-poster Zero Point Survival di dinding kamar, dan sebuah gambar sniper Ren yang digambar tangan. Ini bukan Ren yang di TV, ini adalah Ren yang diidamkan Gilang.

"Hai, Gilang," sapa Rangga, mencoba tersenyum tulus. Ia duduk di kursi samping tempat tidur.

"Kak Ren beneran datang..." Gilang berbisik, seolah tak percaya. "Kak Ren itu jago banget main ZPS. Aku selalu nonton live stream Kak Ren."

Hati Rangga terasa perih. Ia bisa melihat kekaguman murni di mata anak itu. Di sinilah ia bisa menjadi Ren tanpa filter, tanpa harus tampil sempurna. Ia menghabiskan satu jam bersama Gilang, bercerita tentang strateginya di game, tentang tim "Phantom Strikers," dan tentang impiannya. Gilang mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum.

Saat Rangga berpamitan, Gilang meraih tangannya. "Makasih ya, Kak Ren. Aku senang banget. Aku pasti sembuh biar bisa main bareng Kak Ren."

Rangga tersenyum tipis. "Pasti, Gilang. Kamu harus semangat."

Ketika ia keluar dari kamar, Bapak Rahmat menatapnya. "Terima kasih banyak, Ren. Gilang senang banget. Kamu... kamu memang orang baik."

Rangga hanya bisa mengangguk. Saat ia berjalan keluar dari rumah sakit, menuju motor Supra-nya yang terparkir di area pengunjung, ia merasakan beban berat di pundaknya sedikit terangkat. Ia memang "Ren," pro player sukses, tapi ia juga Rangga, seorang manusia yang masih punya hati dan bisa menyentuh orang lain. Kunjungan ini, di luar gemerlap panggung virtual, telah memberikan kejelasan yang ia butuhkan. Ia tidak bisa terus bersembunyi. Ia harus berani menjadi dirinya sendiri, Rangga, yang kebetulan memiliki bakat luar biasa sebagai Ren. Sebuah langkah kecil, namun signifikan, untuk menyatukan dua sisi dirinya.

1
angin kelana
awalnya blom tau menarik atw enggak lanjut aja cusss
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!