Zero Point Survival

Zero Point Survival

Bab 1 : Terdengar Mustahil

Deru mesin kopi adalah simfoni yang akrab, memecah keheningan pagi di kafe kecil bernama "Kopi Sunyi". Nama yang ironis, pikir Rangga, karena tempat ini tak pernah benar-benar sunyi. Aroma pahit espresso bercampur manisnya sirop karamel melayang di udara, berusaha menutupi bau asap knalpot yang sesekali menyelinap masuk dari jalanan yang selalu ramai. Di luar, Bandung di siang hari adalah orkestra klakson tak sabar, teriakan pedagang asongan yang menawarkan jasa cetak foto keliling, dan tawa cekikikan anak sekolah yang baru bubar. Bagi Rangga, berusia dua puluh satu tahun, semua suara itu adalah soundtrack hidupnya, sebuah latar belakang yang tak pernah berhenti menggaung.

Dengan seragam kafenya yang agak lusuh—kemeja putih yang sedikit menguning di kerah dan celemek cokelat yang sudah pudar warnanya—Rangga bergerak cekatan di balik konter. Tangannya sudah terlatih meracik pesanan: menekan tombol mesin kopi, memanaskan susu hingga berbusa sempurna, menuang sirup dengan presisi. Ia hafal setiap tahapan, setiap gerakan, setiap pelanggan. Rutinitas yang nyaris robotik.

"Aa Rangga, americano satu ya, less sugar, panasnya extra." Suara Teteh Ira, pelanggan setia yang selalu memesan americano panas walau cuaca Bandung terik, menyapa. Rambutnya diikat rapi, kacamata bertengger di hidungnya.

"Siap, Teteh Ira!" Rangga menjawab ramah, bibirnya menarik senyum tipis yang seringkali tidak sampai ke matanya. Ia sudah belajar bertahun-tahun bagaimana menyembunyikan kelelahan dan kehampaan di balik keramahan standar pelayanan.

Saat ia sibuk dengan pesanan Teteh Ira, telinganya menangkap percakapan yang datang dari meja pojok. Tiga anak muda seusianya, yang selalu tampil stylish dengan sneaker mahal dan hoodie bermerek, asyik mengobrol. Mereka adalah 'anak gaul' tipikal Bandung, tak pernah lepas dari gawai terbaru, bicara tentang hal-hal yang membuat Rangga merasa makin kecil.

"Eh, Bro, lu udah denger soal konsol Synapse VR yang baru itu belum? Gila, kayaknya bakalan jadi next big thing nih!" seru salah satu dari mereka, cowok berambut gondrong dicat blonde bernama Dio. Tangannya menari-nari di udara, seolah sedang memegang sesuatu yang tidak terlihat.

"Oh, yang itu? Yang harganya selangit itu, kan? Gue denger, dia pake teknologi sensor gerak yang beda banget. Bukan cuma VR biasa," sahut Bima, yang badannya lebih berisi, sambil menyeruput lattenya dengan santai.

Rangga, yang pura-pura sibuk mengelap permukaan konter yang sebenarnya sudah bersih, mendekatkan sedikit langkahnya. Ia sudah tahu dirinya seharusnya tidak mencuri dengar, tapi entah mengapa, kali ini topiknya terasa berbeda.

"Beda banget! Kata temen gue yang udah coba, itu konsol bisa ngerasain semua, Bro. Bener-bener full immersion. Kalau loncat di game, kita harus loncat beneran, badan kita ngangkat. Kalau mukul di game, ya harus mukul beneran, otot kerasa narik. Terus kalau di game manjat tebing, kabel-kabel konsolnya itu yang bikin badan kita ketarik, jadi kerasa manjat beneran! Bukan cuma visual, tapi fisik lo!" Dio menjelaskan dengan antusiasme yang jujur, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat mainan impian. "Gila, total banget imersinya! Lo kayak masuk ke dunia lain, bener-bener jadi karakternya."

Rangga mendadak lupa caranya mengelap. Tangannya terhenti. Pikirannya melayang. Full immersion? Merasakan semua? Loncat beneran? Itu bukan sekadar game. Itu seperti pintu menuju realitas lain, sebuah dunia di mana mungkin ia bisa menjadi seseorang yang berbeda dari Rangga si pelayan kafe.

"Tapi yang paling gila itu, turnamen Zero Point Survival-nya, Bro," lanjut Bima, suaranya sedikit melirih, seolah menyampaikan rahasia besar. "Hadiahnya itu lho. Kemarin gue liat iklannya di TikTok, ada banner gede banget. Puluhan juta! Bisa buat beli motor baru, atau DP rumah di perumahan yang lumayan!"

"Atau modal usaha, Bro!" sahut cewek satu-satunya di meja itu, Risa, dengan rambut ombre yang stylish. "Denger-denger, yang menang turnamen kemarin, langsung bisa buka kafe sendiri. Bayangin aja, cuma dari main game!"

Tawa pecah dari mereka bertiga. Tawa yang riang, lepas, seolah puluhan juta itu hanyalah uang saku harian yang bisa mereka hamburkan. Bagi Rangga, angka itu berdengung di kepalanya, menyingkirkan semua suara bising kafe dan jalanan. Puluhan juta. Selama ini, ia hanya berpikir tentang bagaimana cukup uang untuk membayar sewa kosan bulanan yang mencekik, atau membeli sebungkus nasi dan lauk seadanya agar perutnya tidak berteriak di tengah malam. Atau sekadar mengganti smartphone bututnya yang layarnya sudah retak di mana-mana. Puluhan juta adalah mimpi yang tak pernah berani ia bayangkan, sebuah kemewahan yang hanya ada di dongeng.

Namun, benih harapan itu sudah tertanam. Sebuah harapan yang begitu asing, begitu mustahil, namun entah mengapa terasa begitu memikat. Ia mencoba menepisnya. Mana mungkin ia, yang bahkan tidak punya smartphone bagus apalagi konsol game seharga puluhan juta, bisa ikut turnamen semacam itu? Ia kembali bekerja, mengantar pesanan dengan langkah gontai, berusaha mengusir angan-angan mustahil itu dari benaknya. Tapi bisikan tentang hadiah dan "imersi total" itu terus berputar seperti rekaman rusak di kepalanya.

Malam harinya, Bandung berubah wajah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, mengusir bayang-bayang panjang. Namun, kemacetan justru semakin parah, menciptakan aliran cahaya merah dan putih yang tak berujung di sepanjang jalan. Rangga berganti seragam. Jaket delivery makanan yang sudah pudar warnanya, dengan logo aplikasi yang sedikit mengelupas, ia kenakan. Helm tua yang kacanya sudah buram ia pasang di kepala, dan motor bebeknya yang reyot—Honda Supra keluaran tahun 2000-an awal, yang sudah lebih dari satu dekade menjadi saksi bisu perjuangannya—siap mengantarkannya melintasi jalanan. Aroma kopi kini digantikan oleh bising knalpot yang memekakkan telinga, bau asap rokok yang menyengat dari pengendara di sebelahnya, dan kelembapan malam setelah seharian terik.

Ia melaju di antara celah-celah kemacetan yang padat, menghindari lubang-lubang jalan yang gelap dan genangan air. Sesekali ia mengumpat pelan di dalam hati saat ada angkot yang bermanuver sembarangan atau taksi daring yang berhenti mendadak tanpa sein. Punggungnya pegal karena seharian berdiri dan kini harus membungkuk di atas motor, matanya perih karena menembus lampu-lampu kendaraan yang silau dan polusi udara. Rasa lapar sudah lama menjadi teman setianya. Malam ini, ia hanya makan mi instan saat makan siang di kafe. Nanti malam, entah apa yang bisa ia makan dari sisa uang recehan yang ia simpan di saku jaketnya, hasil dari beberapa kali pengiriman.

Pukul sebelas malam, dengan tubuh remuk redam dan sisa-sisa tenaga yang tipis, Rangga tiba di kosannya. Sebuah bilik sempit berukuran 2x3 meter dengan dinding lembap yang mengelupas dan jendela yang menghadap langsung tembok tetangga. Udara di dalam terasa pengap, bercampur bau apek. Tidak ada foto keluarga di dinding, tidak ada ornamen pribadi yang menunjukkan bahwa ini adalah tempat tinggal seorang manusia. Hanya kasur tipis yang sudah kempes, meja belajar reot dengan tumpukan piring kotor di sudut, dan sepasang sandal jepit.

Kesepian adalah tirai tebal yang selalu menyelimuti Rangga setiap kali ia pulang. Tidak ada yang menunggunya, tidak ada yang menanyakan kabarnya, tidak ada yang peduli apakah ia sudah makan atau belum. Telepon genggamnya yang jadul hanya berisi nomor-nomor pelanggan dan teman kerja, jarang sekali ada pesan masuk. Ia merasa seperti robot, berputar dalam rutinitas kerja yang melelahkan, dari subuh hingga tengah malam, hanya untuk bertahan hidup. Perasaan tidak berharga dan tidak punya tujuan semakin sering menghantui di tengah keheningan malam, menjadi hantu yang paling menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada kecoa yang sesekali melintas di lantai.

Saat ia berbaring di kasur tipisnya, perutnya bergemuruh hebat, dan rasa lelah membebani setiap sendi. Kilasan iklan di dunia maya yang tak sengaja ia lihat beberapa hari lalu kembali muncul dengan jelas di benaknya. Sebuah banner mencolok di salah satu situs berita online, menampilkan render tiga dimensi sebuah konsol futuristik dan tulisan besar yang berkedip-kedip: "Zero Point Survival - Turnamen Hadiah Puluhan Juta Rupiah! Rasakan Dunia Nyata di Genggaman Anda!" Gambar-gambar dari game itu—ledakan dahsyat, karakter yang berlari di reruntuhan, panah yang melesat tepat sasaran—begitu memukau, seolah menjanjikan sebuah petualangan yang tak pernah ia alami.

Rangga mendesah panjang. Itu mungkin hanya mimpi, sebuah fatamorgana di tengah gurun kehidupannya yang kering. Sebuah ilusi yang akan membuat ia semakin sakit hati jika terlalu lama dikejar. Namun, di tengah semua keputusasaan dan kelelahan itu, bisikan tentang "puluhan juta" dari obrolan di kafe tadi siang dan banner yang dilihatnya, mulai bergaung lebih keras. Suara Dio dan Bima terngiang, "Bisa buat beli motor baru, atau DP rumah!" Atau, pikir Rangga, bisa mengubah seluruh hidupnya. Sebuah harapan kecil yang terlalu berani untuk dipegang, namun terlalu manis untuk dilepaskan. Malam itu, di antara bising knalpot dan kelembapan kosan, sebuah tekad mulai terbentuk di dasar hatinya yang paling dalam. Ia akan mendapatkan Synapse VR itu.Bab ini sekarang sekitar 1500 kata dan sudah menggunakan panggilan "Aa" dan "Teteh". Bagaimana menurutmu? Apakah kita akan melanjutkan ke perjuangan Rangga mengumpulkan uang untuk konsol tersebut di bab berikutnya?

Terpopuler

Comments

angin kelana

angin kelana

awalnya blom tau menarik atw enggak lanjut aja cusss

2025-05-22

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Terdengar Mustahil
2 Bab 2 : Tiket Sebuah Harapan
3 Bab 3 : Gerbang Dunia Lain
4 Bab : Mengasah Naluri di Medan Perang
5 BAB 5: Dunia Nyata dan Bayangan Virtual
6 BAB 6: Panggilan Turnamen
7 BAB 7 : Membangun Tim di Bawah Tekanan
8 BAB 8: Panggung Utama dan Sorotan Tak Terduga
9 BAB 9: Peluru Tunggal, Ketenaran Ganda
10 BAB 10 :Harga Ketenaran dan Puncak Tekanan
11 BAB 11 : Sang Pemburu Tunggal
12 BAB 12 : Puncak dan Awal Baru
13 BAB 13 : Canggung di Dunia Nyata
14 BAB 14: Api Cemburu dan Bisikan Harapan
15 BAB 15: Panggung Virtual, Hati Terbelah
16 BAB 16: Angka-Angka yang Berbicara dan Sebuah Identitas Baru
17 bab 17 : Dukungan dan Rasa Tak Percaya Diri
18 BAB 18: Jakarta, sebuah Ujian Nyata
19 BAB 19: Bayangan Masa Lalu dan Sebuah Keberanian Baru
20 BAB 20: Sebuah Pengakuan di Tengah Malam
21 BAB 21: Cahaya yang Terungkap
22 Bab 22 : Kemitraan yang Lebih Dalam
23 Bab 23: Kebaikan yang Tak Terduga
24 Bab 24: Badai di Balik Layar
25 Bab 25: Badai di Mata Publik dan Hati yang Retak
26 Bab 26 : Mengarungi Badai Bersama
27 Bab 27 : Ujian di Panggung Nasional
28 Bab 28 : Setelah Kemenangan, Badai Baru
29 Bab 29 : Membangun Kembali Pondasi
30 Bab 30 : Bisikan Rasa Sakit dan Bayangan Cedera
31 Bab 31: Diagnosis dan Keterbatasan
32 Bab 32 : Strategi Senyap dan Mata Sang Sniper
33 Bab 33: Arena Para Dewa: Langkah Pertama
34 Bab 34: Pembuktian di Panggung Asia
35 Bab 35: Bayangan di Antara Badai
36 Bab 36 : Pertarungan Para Predator
37 Bab 37 : Sorotan Dunia dan Panggung Baru
38 Bab 38 : Di Balik Sorotan: Liburan Singkat dan Ancaman Baru
39 Bab 39 : Berkat dan Awal Pertempuran Final
40 Bab 40 : Mata yang Tak Terlihat dan Pengepungan Senyap
41 Bab 41 : Sniper Terakhir di Tengah Badai
42 Bab 42 : Tembakan Terakhir Sang Hantu
43 Bab 43 : Puncak Kejayaan dan Kepulangan Sang Juara
44 Bab 44 : Pulang ke Rumah: Pahlawan Baru Indonesia
45 Bab 45 : Lahirnya Generasi Baru: Ren sang Mentor
46 Ujian Pertama: Generasi Baru di Arena Virtual
47 Membangun Kedalaman Tim: Phantom Strikers Ladies
48 Bab 48: Sebuah Jeda di Tengah Persiapan
Episodes

Updated 48 Episodes

1
Bab 1 : Terdengar Mustahil
2
Bab 2 : Tiket Sebuah Harapan
3
Bab 3 : Gerbang Dunia Lain
4
Bab : Mengasah Naluri di Medan Perang
5
BAB 5: Dunia Nyata dan Bayangan Virtual
6
BAB 6: Panggilan Turnamen
7
BAB 7 : Membangun Tim di Bawah Tekanan
8
BAB 8: Panggung Utama dan Sorotan Tak Terduga
9
BAB 9: Peluru Tunggal, Ketenaran Ganda
10
BAB 10 :Harga Ketenaran dan Puncak Tekanan
11
BAB 11 : Sang Pemburu Tunggal
12
BAB 12 : Puncak dan Awal Baru
13
BAB 13 : Canggung di Dunia Nyata
14
BAB 14: Api Cemburu dan Bisikan Harapan
15
BAB 15: Panggung Virtual, Hati Terbelah
16
BAB 16: Angka-Angka yang Berbicara dan Sebuah Identitas Baru
17
bab 17 : Dukungan dan Rasa Tak Percaya Diri
18
BAB 18: Jakarta, sebuah Ujian Nyata
19
BAB 19: Bayangan Masa Lalu dan Sebuah Keberanian Baru
20
BAB 20: Sebuah Pengakuan di Tengah Malam
21
BAB 21: Cahaya yang Terungkap
22
Bab 22 : Kemitraan yang Lebih Dalam
23
Bab 23: Kebaikan yang Tak Terduga
24
Bab 24: Badai di Balik Layar
25
Bab 25: Badai di Mata Publik dan Hati yang Retak
26
Bab 26 : Mengarungi Badai Bersama
27
Bab 27 : Ujian di Panggung Nasional
28
Bab 28 : Setelah Kemenangan, Badai Baru
29
Bab 29 : Membangun Kembali Pondasi
30
Bab 30 : Bisikan Rasa Sakit dan Bayangan Cedera
31
Bab 31: Diagnosis dan Keterbatasan
32
Bab 32 : Strategi Senyap dan Mata Sang Sniper
33
Bab 33: Arena Para Dewa: Langkah Pertama
34
Bab 34: Pembuktian di Panggung Asia
35
Bab 35: Bayangan di Antara Badai
36
Bab 36 : Pertarungan Para Predator
37
Bab 37 : Sorotan Dunia dan Panggung Baru
38
Bab 38 : Di Balik Sorotan: Liburan Singkat dan Ancaman Baru
39
Bab 39 : Berkat dan Awal Pertempuran Final
40
Bab 40 : Mata yang Tak Terlihat dan Pengepungan Senyap
41
Bab 41 : Sniper Terakhir di Tengah Badai
42
Bab 42 : Tembakan Terakhir Sang Hantu
43
Bab 43 : Puncak Kejayaan dan Kepulangan Sang Juara
44
Bab 44 : Pulang ke Rumah: Pahlawan Baru Indonesia
45
Bab 45 : Lahirnya Generasi Baru: Ren sang Mentor
46
Ujian Pertama: Generasi Baru di Arena Virtual
47
Membangun Kedalaman Tim: Phantom Strikers Ladies
48
Bab 48: Sebuah Jeda di Tengah Persiapan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!