Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu, langit masih dibalut warna jingga pucat, udara terasa segar dengan aroma embun dan wangi dedaunan yang baru tersentuh matahari. Arka menyetir pelan melewati jalan kecil di dekat kompleks pertokoan lama. Matanya sekilas menangkap warung makan sederhana di sudut jalan—milik Hannah.
Dia menoleh. Ada sesuatu yang menggugah dadanya saat melihat warung itu sudah buka lebih pagi dari biasanya. Tirai bambu di jendela dibiarkan tersingkap, memperlihatkan suasana hangat di dalam.
“Sepertinya mereka membuat menu untuk sarapan,” gumam Arka sambil menepikan mobilnya di bahu jalan. Bukan karena lapar. Ia tahu itu. Perutnya masih kenyang oleh roti dan pisang yang dimakannya pagi tadi. Tapi, dorongan untuk melihat Hannah jauh lebih besar daripada sekadar alasan logis.
Arka keluar dari mobil dengan langkah santai, namun ada denyut cepat di balik ketenangan wajahnya. Debar yang tak biasa. Ia tidak sedang mencari makan, tapi sedang mencari alasan untuk dekat.
"Selamat pagi, Mas. Mau pesan apa?" sambut Mutiara, karyawan muda yang berdiri di balik etalase makanan. Senyumnya ramah, seperti matahari pagi yang baru naik separuh.
Arka membalas dengan anggukan singkat. Mata pria itu tidak bisa diam. Ia menyapu seluruh ruangan, mencari sosok yang membuat pikirannya sibuk belakangan ini. Namun, tak ada tanda-tanda Hannah di sana.
"Mbak Hannah sedang olahraga pagi," ujar Mutiara, seolah bisa membaca maksud tatapan Arka. Jarinya menunjuk ke sisi samping warung, ke arah pagar belakang yang dikelilingi taman kecil dan beberapa pot bunga gantung.
Pandangan Arka mengikuti arah jari itu. Di sana terlihat ada Hannah.
Di balik kaca jendela, tampak sosok perempuan dengan rambut panjang yang diikat sederhana. Hannah berdiri dengan bantuan kruk, satu tangannya berpegangan pada pipa besi yang menempel di dinding pagar. Langkahnya pelan, tertatih-tatih, tapi penuh tekad. Setiap gerakan seperti perjuangan kecil yang tidak bisa diremehkan.
Bukan penderitaan yang tergambar di wajahnya. Justru senyum tipis tercipta saat ia berhasil mencapai ujung jalur latihannya. Senyum itu seperti cahaya hangat yang menyelinap ke dalam hati Arka. Tanpa sadar, ia menahan napas.
"Perempuan itu bukan hanya kuat. Ia mampu menutupi kekurangannya dengan senyum dan keberanian," batin Arka.
Hannah berbalik, lalu melangkah kembali ke titik awal. Sinar matahari pagi membelai wajahnya, memantulkan rona keemasan pada kulitnya yang cerah. Gerakannya lambat, tapi tegas. Seolah setiap langkah adalah bukti bahwa ia tak pernah menyerah, meski dunia pernah membenturkannya jatuh.
"Dia sedang latihan berjalan," batin Arka, matanya tak berpaling sedikit pun. Di dalam dirinya, sesuatu tumbuh—bukan sekadar kekaguman, tapi juga rasa hormat yang dalam.
"Apa Mbak Hannah sebelumnya bisa berjalan?" tanya Arka pada Mutiara, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia tidak ingin terdengar lancang, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat dari keraguan.
Mutiara menunduk sejenak, lalu menjawab, "Kata Pak Baharuddin, Mbak Hannah terlahir normal. Tapi saat masih balita, mulai muncul keanehan. Awalnya pendengarannya terganggu, lalu syaraf kakinya melemah, dan terakhir ... suaranya hilang."
Nada suara Mutiara berubah pelan dan lembut. Ada belas kasihan di sana, juga rasa hormat. Ia tak sedang mengasihani Hannah—ia kagum padanya.
Hati Arka mencelos. Dada kirinya terasa hangat sekaligus nyeri. Ia baru sadar, betapa kuatnya perempuan itu menjalani hidup yang berat tanpa mengeluh.
Sekilas, Hannah tampak seperti perempuan biasa. Namun, di balik indahan parasnya ada beberapa kekurangan yang menyulitkan aktivitas kesehariannya.
"Mas, jadi mau pesan apa?" suara Mutiara membuyarkan lamunan Arka.
"Oh. E ... nasi goreng spesial," jawabnya cepat, nyaris gugup. Bibirnya bergerak, tapi matanya tetap tertuju pada sosok Hannah.
Dalam hatinya, Arka dilanda dilema. Ia ingin menghampiri dan menyapa Hannah. Namun, ia tidak mau terlihat terlalu terburu-buru atau mencurigakan. Ia ingin memberi kesan natural, bukan membuat Hannah merasa risih.
"Bagaimana caranya agar pertemuan itu terasa alami? Bagaimana caranya agar ia bisa mengenal Hannah lebih jauh ... tanpa membuat gadis itu menjaga jarak?" batin pria itu.
Arka menunduk sebentar, lalu mengambil napas dalam. Matanya kembali melirik ke arah Hannah yang kini sedang duduk, mengusap keringat di pelipisnya dengan handuk kecil.
Di balik kelemahannya, perempuan itu memancarkan cahaya yang tak biasa. Arka tahu, jika ia ingin mengenal lebih dalam, ia harus mulai dari langkah kecil. Seperti Hannah, satu langkah ... lalu langkah berikutnya.
"Mama!" suara nyaring dan ceria milik Yasmin memecah kesadaran Arka.
Gadis kecil itu berlari dengan semangat, langkah kakinya kecil namun penuh tenaga. Seragam TK berwarna merah muda berkibar ringan, kontras dengan kulitnya yang cerah dan pipi bulatnya yang merona. Senyum lebar menghiasi wajah mungilnya saat matanya menangkap sosok Hannah di depan warung.
Di belakang Yasmin, Pak Burhanuddin berjalan santai, membawa tas sekolah berwarna ungu bergambar kelinci. Wajahnya yang mulai keriput tampak damai, seperti pagi itu telah menjadi bagian dari rutinitas yang ia syukuri setiap harinya. Menjadi pengantar cucu ke sekolah adalah momen berharga, seakan waktu memberinya kesempatan kedua untuk menikmati masa kecil seorang anak.
Hannah menyambut putrinya dengan senyum lebar yang menyejukkan. Pelukan mereka bukan sekadar kebiasaan, tapi simbol cinta yang tak terbatas. Dalam pelukan itu, tergambar kekuatan yang tak terlihat—dua perempuan kecil dan besar yang saling menjadi alasan untuk bertahan.
Yasmin kini tumbuh menjadi anak yang mandiri. Hannah melihat semua itu dengan hati yang penuh syukur. Ia tahu tidak mudah membesarkan anak dalam keterbatasan fisik, tapi Yasmin tumbuh seperti bunga liar—kuat, tangguh, dan tetap indah. Ia makan sendiri, mandi sendiri, dan sudah pandai mengenakan seragamnya tanpa perlu banyak bantuan. Hanya satu yang belum bisa ia lakukan: mengepang rambutnya.
"Hari ini aku mau rambut dikepang seperti Putri Elsa," ucap Yasmin sambil menyerahkan sisir dan dua ikat rambut berwarna biru langit.
Hannah tersenyum geli. Permintaan itu hampir selalu sama setiap minggu, namun selalu diucapkan dengan semangat seolah-olah baru pertama kali. Mereka duduk di kursi kayu di samping warung, dikelilingi semilir angin pagi dan suara dedaunan yang berbisik.
Dengan gerakan lembut, Hannah mulai menyisir rambut Yasmin. Jari-jarinya lincah memisah rambut menjadi tiga bagian lalu mengepangnya perlahan. Aroma wangi sampo anak-anak menyeruak pelan, membuat Hannah tenggelam dalam rasa damai yang sulit dideskripsikan. Selesai dikepang, pita kecil disematkan di ujungnya sebagai pemanis.
"Oke!" ucap Hannah pelan sambil mengacungkan jempol, wajahnya memancarkan kebahagiaan murni seorang ibu yang berhasil membuat anaknya senang.
"Makasih, Mama!" balas Yasmin, lalu mengecup pipi Hannah dengan suara kecupan yang terdengar nyaring. Sentuhan itu membuat Hannah menahan napas sejenak—bahagia, haru, dan syukur bercampur jadi satu.
Sementara itu, dari dalam warung, Arka berdiri mematung. Matanya tak lepas dari pemandangan di luar jendela. Sosok Hannah dan gadis kecil itu terlihat begitu hangat. Ada getaran aneh dalam pria itu. Bukan karena iri, tapi karena rasa penasaran yang mulai mengakar. "Siapa anak kecil itu?"
"Mas, semuanya dua puluh lima ribu," kata Mutiara—untuk kelima kalinya.
Arka tersentak. Ia seperti baru kembali dari dunia lain. "Eh ... maaf. Ini uangnya," katanya cepat sambil menyodorkan selembar uang kertas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena gugup atau karena pikirannya masih tersangkut di halaman luar warung.
Mutiara memperhatikan wajah Arka dengan tatapan menyipit, seolah bisa membaca apa yang sedang mengusik pikiran pria itu.
"Kalau boleh tahu, siapa anak kecil itu?" tanya Arka pelan, berusaha terdengar netral, padahal nadanya sarat dengan rasa penasaran dan harapan.
Mutiara menoleh ke arah yang ditunjuk Arka. Di sana, Yasmin masih berceloteh riang, mengobrol dengan Pak Baharuddin sambil memamerkan gaya rambut barunya.
"Oh, itu Non Yasmin. Putrinya Mbak Hannah," jawab Mutiara, nada suaranya biasa saja.
Dunia Arka terasa seperti berhenti sejenak. Kalimat itu menampar kesadarannya. "Putrinya ... Hannah sudah punya anak?" batin Arka seakan tak percaya.
***
Hari ini crazy up, ya! Jangan lupa kasih like dan komentar tiap bab nya
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗