Ini adalah kisah Guru Spiritual dan Seorang Duyung yang mencoba menerobos perbudakan melalui segala macam kesulitan dan bahaya. akhirnya menjadi sebuah keluarga dan bergandengan tangan untuk melindungi rakyat jelata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fii Cholby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 19
Di dalam rumah, duyung memaksakan diri menangis. Setiap tetesan air matanya berubah menjadi mutiara. Setelah cukup banyak, ia berhenti menangis. Bibirnya membentuk bulan sabit, tersenyum. Ia menghitung mutiara dengan hati yang senang. "Besok, akan ku berikan pada Jesly." Ucapnya yang sudah mulai sedikit lancar berbicara bahasa manusia.
Jesly berdiri agak jauh melihat apa yang sedang duyung lakukan. 'Pria ekor besar, maaf.' ucapnya dalam hati. Perasaan bersalah kian mendera dirinya. Ia meneteskan air mata, sedih.
.
.
.
Kediaman Tuan Muda Alaric, Sisy duduk tegak menunggu Tuan Muda pulang dari kediaman Jesly.
Suara pintu terbuka, Tuan Muda Alaric sudah kembali. "Anda tau kenapa saya menghukum anda?"
"Saya tidak mengerti! Ini tidak masuk akal."
Tuan Muda mengangkat sebelah alisnya. "Anda sudah berapa lama bersama saya?"
"Sejak Tuan menjadikan saya pelayan pribadi anda. Sudah belasan tahun hingga sekarang."
"Maka anda harusnya tau siapa saya. Saya benci orang yang membuat keputusan tanpa berpikir. Jika anda menyentuh Jesly lagi tanpa izin saya, anda tidak akan keluar dari sini hidup-hidup. Mengerti!" Ucap Tuan Muda dengan wajah dingin.
Perlahan Sisy berdiri menghadap Tuan Muda. "Tuan Muda, apa yang sebenarnya anda rasakan terhadap Jesly? Cara anda memperlakukannya.. tidak seperti cara anda."
Sorot Tuan Muda kian tajam, menyerang Sisy hingga terpental pada dinding. "Aaakkhh..." Pekik Sisy memegangi dadanya.
"Jika anda berani melakukannya lagi, saya akan membunuh anda!"
"Saya melakukannya hanya demi Tuan Muda. Saya tidak bisa membiarkannya menang besok."
Tuan Muda menghela nafas pelan, meletakan kedua tangannya di belakang badan. "Dia tidak akan menang besok."
"Apa Tuan Muda punya rencana?"
.
.
.
Keesokan harinya, Panglima Juan, Jesly dan beberapa prajurit dalam perjalanan menuju kediaman Jesly tempat dimana duyung itu berada saat ini.
Juan melihat wajah Jesly yang murung sedari tadi. "Kamu jangan sedih. Aku sudah mengatur semuanya. Ketika kamu menipu duyung itu agar bicara, kami akan segera mengambil tindakan. Dia tidak akan punya kesempatan untuk kabur. Jika kamu menang, belikan aku beberapa wine."
Mereka berhenti sesaat. "Juan, bantu aku! Ketika kita menangkap duyung itu, kamu juga harus menangkap ku. Aku tidak mau dia tau kalau kita telah membohonginya. Dia telah kehilangan kebebasannya dan juga akan menjadi pelayan Peri. Jika dia tau kita membohonginya, dia pasti akan terluka."
Juan bersedekap dada, memandang Jesly. "Ada apa?" Tanya Jesly saat ekspresi Juan tampak berbeda.
"Dulu kamu tidak emosional ketika sedang menjinakkan siluman. Kenapa ini berbeda? Apa yang istimewa dengan duyung itu?"
Jesly tertawa pelan. "Ahh, tidak ada yang berbeda. Itu karena dia akan menjadi pelayan Peri Ruby. Jika dia tau kita telah menipunya, kita akan sangat menderita kedepannya."
"Barusan kamu telah memberitahuku. Baiklah." Mereka kembali melanjutkan perjalanan. "Ketua Xenia sudah menuju ke gunung barat untuk melihat roh buas itu. Jadi aku di sini bertanggung jawab atas pasukan tempur. Aku akan melakukan apa yang kamu minta."
Mereka sudah semakin dekat dengan kediaman Jesly. Yang Mulia Raja Heinrich duduk di kursi roda bersama Tzeitel berdiri di sampingnya sudah berada di halaman rumah Jesly.
"Jesly," Lily berlari mendekati Jesly. Mereka semua serempak menunduk hormat. "Hormat,Yang Mulia."
Yang Mulia Heinrich hanya mengangguk.
"Duyung masih di dalam rumah. Mohon Yang Mulia dan yang lain melihatnya dari luar. Saya akan membuktikan semuanya pada Yang Mulia."
Yang Mulia Heinrich menganggukkan kepalanya.
Setelah meminta persetujuan Yang Mulia, Jesly masuk ke rumahnya untuk mengajak duyung berbicara. Menutup pintu kembali. Semua orang bisa melihat dari cermin transparan yang ada di luar halaman.
Jesly melihat duyung sedang duduk sembari melamun. "Pria ekor besar,"
Duyung menoleh, senyumnya mengembang. Ia gegas menghampiri Jesly. Jesly membalasnya dengan senyuman manis. "Pria ekor besar.."
BRAAKKK!
Kepala banteng iblis menerobos masuk ke rumah Jesly. Mata merah menyala, hidung mengeluarkan asap pertanda sedang marah.
Jesly maupun Albert tersentak kaget. Albert menarik tubuh Jesly cepat sehingga tidak terkena amukan kepala banteng iblis.
Suara banteng menggeram penuh amarah. Albert memasang wajah dingin. Menggunakan spiritualnya menyerang banteng.
Banteng iblis semakin marah, terbang kesana kemari menghancurkan barang-barang. Banteng iblis menyerang dengan tenaga penuh. Albert memasang badan untuk melindungi Jesly. Jesly membantu Albert dengan kekuatan spiritual untuk menambah pelindung spiritual Albert.
Banteng iblis semakin tak terkendali. Berulang kali menyerang pelindung Albert. Banteng iblis terpental sedikit jauh. Albert kehilangan keseimbangan hampir terjatuh namun Jesly menangkapnya dengan spiritual yang ia miliki. Jesly mendorong tubuh Albert dengan kuat. Dengan kelihaiannya Albert menggunakan kakinya menendang kepala banteng iblis hingga terpental keluar.
Semua orang di luar terkejut saat tau kepala banteng iblis menyerang. Banteng iblis terbang keliaran kesana kemari mencoba menyerang semua orang.
Albert terkejut melihat begitu banyak orang di luar. Jesly menyentuh pundak Albert. "Tetap di sini dan tunggu aku." Jesly berlari keluar.
Tzeitel mengeluarkan kunci blok untuk mengurung banteng iblis. Saat hendak menyerang tiba-tiba ada sebuah pedang berkilau merah tepat mengenai titik merah di atas kepala banteng sehingga banteng iblis mati dan perlahan melebur hilang.
Seseorang muncul melalui teleportasi menggunakan jubah hitam bermotif bunga anggrek. Berdiri tegak menyimpan pedangnya kembali. Perlahan membuka jubahnya yang menutupi wajah cantiknya. Sorot matanya menatap Jesly tajam dengan wajah datar. Ia berbalik badan. "Xenia Ketua Pasukan Tempur memberi hormat, Yang Mulia. Suatu kehormatan bertemu dengan Yang Mulia." Xenia sedikit membungkuk memberi hormat.
Yang Mulia Heinrich mengangguk. "Kerja bagus! Sebagai murid terbaik di Kerajaan Vielstead kamu mampu membunuh roh Monster Fei dengan tangan anda sendiri."
"Monster Sing dari gunung barat sudah tertangkap. Ini elikser jiwa." Xenia mengeluarkan kotak kayu berukuran sedang memberikannya pada Tzeitel.
Tuan Muda Alaric dan Sisy berjalan cepat menghampiri mereka semua. "Yang Mulia, Ketua Xe."
Xenia mengangguk pelan.
Tuan Muda terlihat marah. "Master Jesly, anda mengundang kami untuk mendengar duyung bicara 'kan? Ada apa sekarang?"
Dengan wajah dingin Albert menatap mereka semua, terutama Jesly. Ia telah percaya dengannya namun dalam sekejap kepercayaannya di khianati begitu saja.
"Tuan Muda, anda datang tepat waktu." Jesly beralih menatap Yang Mulia Heinrich. "Yang Mulia, sebelumnya penghalang sudah di blok di sekitar sini. Bagaimana bisa iblis masuk kesini? Pasti ada yang salah."
"Dulu kami mengurung Monster Fei di sini. Dia selalu melakukan kejahatan sesuka hati. Saya menerima perintah dari Kaisar Hector untuk menghancurkan penghalangnya. Sepertinya keinginan hidup membuatnya menjadi roh jahat di Kerajaan Vielstead. Sayangnya.. Dia menganggu rencana anda menjinakkan duyung." Tuan Muda tersenyum smirk.
Jesly menghela nafas. Albert mengepalkan tangannya.
"Tidak apa! Hanya beberapa roh jahat beterbangan. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hal paling penting hari ini adalah mendengar duyung bicara. Jesly, apa dia ingin bicara dengan kita?" tanya Yang Mulia Heinrich.
Jesly tidak mampu berkata-kata. Ia menoleh ke belakang. Albert menatapnya dingin. Jesly dengan ragu menghampirinya. Semua orang melihat ke arah mereka berdua.
"Pria ekor besar, aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti mengenai apa yang terjadi hari ini. Bisakah kamu membantuku?" Jesly maju selangkah untuk lebih dekat. Namun Albert memilih mundur karena ia merasa sudah di bohongi olehnya.
"Tidak, semuanya sudah berakhir!" gumam Lily.
Jesly menatap duyung dengan sedih. sorot matanya berkaca-kaca. Albert tak peduli itu, ia di sini sudah merasa di tipu, di bohongi.