NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14: Malam Purnama dan Gerbang yang Terbuka

Langit malam menegang seperti wajah orang tua yang menyimpan kemarahan. Bulan purnama menggantung bulat sempurna, menyinari Desa Karangjati dengan cahaya pucat keperakan. Angin berhembus aneh malam ini—dinginnya bukan biasa, melainkan seperti mengendap dalam kulit, menyusup ke sumsum.

Warga Karangjati berkumpul di surau, sebagian di balai desa, sebagian lagi berkerumun di dekat Sumur Maling, tempat pusaka dikabarkan terkubur bersama kutukan.

Dan dari kejauhan, sosok berjubah hitam, tongkat di tangan kanan, dan kalung tengkorak kecil menggantung di lehernya—Dukun Surya berjalan perlahan menuju pusat kekuatan itu.

Tanda-Tanda Dimulai

Redo berdiri di pinggir sumur. Tubuhnya berkeringat padahal udara sangat dingin. Tangannya bergetar. Di bahu kanannya, guratan yang selama ini hanya seperti tanda lahir, kini menyala merah samar, seolah merespons datangnya kekuatan yang lebih besar.

Redo: (berbisik pada Deki)

“Dia datang…”

Deki: “Siapa? Yang jubah hitam itu?”

Andri: “Itu pasti dukun sialan yang katanya dari desa seberang. Gaya masuknya kayak bos film horor…”

Indra: (memegang linggis)

“Kalau dia nyoba ngapa-ngapain, kita sikat rame-rame.”

Namun tidak ada yang bergerak. Bahkan para pemuda ronda dan bapak-bapak linmas hanya mematung, terperangkap oleh aura aneh dari lelaki itu. Langit seakan lebih gelap di atasnya.

Dukun Surya Menantang

Dukun Surya berhenti beberapa meter dari pagar bambu Sumur Maling. Ia menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dukun Surya:

“Aku tak datang untuk bertarung. Aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hakku.”

Pak Lurah melangkah maju, diikuti Mbah Tejo dan Pak Lutfi.

Pak Lurah: “Apa yang kau maksud hakmu? Tanah ini milik warga Karangjati.”

Dukun Surya: (senyum miring)

“Aku murid Mbah Gentho. Aku lebih layak memegang pusaka itu daripada… bocah yang bahkan tak tahu siapa dirinya.”

Ia menatap Redo tajam. Redo merasa pandangannya seperti belati—menusuk sampai ke jantung.

Mbah Tejo:

“Kau diusir dari pelataran ilmu karena tamak, Surya. Dan sekarang kau ingin kembali mengambil kutukan sebagai alatmu?”

Dukun Surya:

“Kutukan hanyalah nama. Di baliknya ada kekuatan. Aku hanya ingin kekuatan itu.”

Terbukanya Gerbang

Seketika, tanah di sekitar sumur bergetar. Bambu pagar mencuat ke udara seperti dilempar paksa. Bau kemenyan busuk menyebar. Dan dari dalam sumur… asap hitam mulai mengepul.

Pak Lutfi: (beristigfar)

“A’udzubillah… ini bukan pusaka biasa. Ini pintu dunia lain.”

Dukun Surya menengadahkan tangan, membaca mantra dalam bahasa kuno. Awan hitam mulai melingkar di atasnya. Tiba-tiba, asap dari sumur melesat ke arah langit, lalu menggumpal, membentuk wajah raksasa wanita tua—muka Nenek Bisu.

Redo: (berteriak)

“Jangan! Itu pemanggilan—dia buka gerbang!”

Siska melangkah maju, tangan kanannya terbakar merah muda samar. Ia tak tahu kenapa, tapi tubuhnya seperti bergerak sendiri. Tiana menahan lengannya.

Tiana: “Sis! Jangan nekat!”

Siska: “Aku juga bagian dari ini, Tan. Kalau Redo penjaga, mungkin aku… penyeimbangnya.”

Ketika Dukun Surya bersiap memasuki sumur, Mbah Tejo menghunus tongkat bambu kuno miliknya. Pak Karno menyeret batang kelapa terbakar untuk menutup bibir sumur.

Mbah Tejo:

“Jika kau melangkah ke sumur itu, Surya, kau takkan kembali sebagai manusia.”

Tapi Dukun Surya tersenyum.

Dukun Surya:

“Aku tidak ingin kembali sebagai manusia. Aku ingin kembali sebagai penguasa gerbang.”

Dan ia meloncat masuk ke dalam sumur.

Hening dan Ledakan

Sejenak, dunia seperti diam. Angin berhenti. Suara jangkrik lenyap. Waktu membeku.

Lalu dari dalam sumur, terdengar jeritan—jeritan panjang, tinggi, dan tak seperti suara manusia. Lalu… ledakan cahaya hitam menyembur dari dalam. Semua orang terhempas ke belakang.

Redo terseret dua meter, Siska jatuh terduduk, dan Tiana menutup kepala mereka berdua dengan selimut seadanya.

Andri:

“WOI APAAN ITU!?”

Indra: (gemetar)

“Itu… itu… mukanya…”

Dari dalam asap, sosok Dukun Surya muncul lagi. Tapi ia bukan seperti sebelumnya. Matanya hitam legam, tubuhnya dilapisi kulit bersisik, dan suaranya berat seperti suara dua orang bicara bersamaan.

Dukun Surya:

“Aku… sudah bersatu dengan pusaka.”

Kekuatan Redo Terbangun

Redo menggeliat di tanah. Guratan di bahunya menyala terang. Matanya mendadak putih, tubuhnya bangkit dengan sendirinya. Siska juga bangkit, tangannya menyala, dan wajahnya berubah dingin.

Mbah Tejo menyadari apa yang sedang terjadi.

Mbah Tejo:

“Itu dia… Penjaga dan Penyeimbang. Anak-anak itu sudah menyatu dengan tugasnya.”

Redo melangkah ke depan, berhadapan dengan Dukun Surya. Di antara mereka, hanya angin dan cahaya.

Redo:

“Kau mungkin kuat… tapi kau tak punya jiwa. Kau hanya cangkang haus kekuasaan.”

Dukun Surya:

“Dan kau hanya bocah yang akan patah di tangan kutukan.”

Lalu keduanya saling menyerang. Bukan dengan tangan, tapi dengan cahaya. Dengan kekuatan batin yang saling berbenturan.

Langit memekik, bumi bergetar.

Perang belum selesai. Tapi malam itu jadi awal dari babak baru. Dimana kutukan bukan lagi tentang ketakutan, tapi tentang siapa yang cukup kuat untuk menjaganya agar tetap terkunci.

Dan Redo—si bocah dari bengkel kecil di pinggir desa—mungkin akan jadi kunci terakhir dalam perang antara manusia dan dunia gaib yang selama ini tersembunyi di balik cerita rakyat.

Pagi itu, langit Desa Karangjati mendung meski belum ada tanda hujan. Udara terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat tumpah semalam. Di tengah-tengah ladang tebu yang mulai menguning, seekor burung hantu bertengger di dahan kering. Tak biasa. Pertanda.

Pak Bolot berjalan pelan di pinggir ladang, membawa cangkul dan termos kecil berisi teh hangat.

Pak Bolot: “Lha... biasane burung hantu kuwi metu e bengi, kok saiki melek e esuk…”

Dia berhenti, mengernyit ke arah burung itu. Matanya menyipit. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara dari belakang mengejutkannya.

Pedot: “Pak Bolot! Kowe ngopo ngomong karo manuk? Jangan-jangan njenengan mulai diganggu juga...”

Pak Bolot: “Ha? Kowe ngomong opo? Aku ra ngerti! Aku iki cangkul, dudu ngandul!”

Udin: (datang tergopoh-gopoh) “Cangkul, Pak… bukan ngandul… duh, iki piye, malah tambah mumet aku…”

Ketiganya berdiri mematung saat suara desir aneh terdengar dari ladang. Seperti ada yang sedang merayap atau mengais di bawah tanah.

Udin: “Iki suarane ora enak, rek. Ojo-ojok kita nyedak. Mending kita lapor Pak Lutfi.”

Pedot: “Bener, Din. Aku lagi ora pengin dikejar pocong kaya minggu wingi... aku isih trauma…”

Pak Bolot: (mengangguk pelan) “Yo wis, ayo... tapi ngenteni aku ngombe teh disit!”

Udin & Pedot: “Pak! Iki gawat, bukan piknik!”

Langgar dan Petunjuk Baru

Pak Lutfi baru selesai mengajar ngaji ketika ketiganya datang terbirit-birit. Udin langsung menjelaskan, lengkap dengan ekspresi lebay dan suara gemetar.

Udin: “Pak Ustad! Di ladang, burung hantu nongkrong, tanahnya kaya gerak-gerak... wediiii pokokmen!”

Pedot: “Kayak ana sing arep metu saka lemah. Serius, Pak. Aku ora becanda!”

Pak Lutfi mengangguk serius, menatap keluar jendela.

Pak Lutfi: “Kemarin malam aku bermimpi, seseorang membuka kembali gerbang lama. Di dekat ladang itu dulunya ada sumur tua. Sudah ditutup sejak zaman nenek bisu masih hidup.”

Mbah Tejo: (tiba-tiba muncul di ambang pintu) “Dan sumur itu... dulunya tempat menyimpan pusaka. Tapi bukan pusaka biasa. Itu kunci untuk mengontrol batas dua dunia.”

Udin dan Pedot saling menatap, sama-sama takut dan penasaran.

Udin: “Berarti... ada yang nyoba buka sumur itu? Siapa, Mbah?”

Mbah Tejo: “Dukun dari desa seberang. Aku sudah mencium niat busuknya sejak malam penguncian.”

Di Balik Rencana Sang Dukun

Sementara itu, di desa sebelah, sosok berjubah hitam berdiri di depan api unggun kecil. Namanya Ki Sambora, dukun dari Desa Kalitengah, yang konon pernah diusir dari komunitas paranormal karena terlalu sering memanggil entitas berbahaya untuk keuntungan pribadi.

Ki Sambora: (berbisik pada arwah yang dipanggil) “Aku butuh kunci itu. Kunci yang dikubur bersama pusaka di sumur Karangjati. Dengan itu... kekuatanku sempurna.”

Sosok bayangan: “Tapi Karangjati sudah terikat pagar gaib…”

Ki Sambora: “Makanya aku perlahan merobeknya. Malam penguncian itu tak akan bertahan lama. Waktuku sudah dekat.”

Ronda Malam yang Mencekam

Malam harinya, ronda desa kembali digelar. Kali ini, lebih dari sepuluh warga ikut berjaga. Di pos ronda, suasana cukup ramai dengan teh panas dan kacang rebus.

Pak Bolot: (menyetel radio) “Ndang wae dinyanyekne lagu dangdut... biar ora semedi!”

Pedot: “Pak, jangan lagu dangdut. Pilih yang zikir-zikiran... malam iki rada aneh suasanane.”

Udin: “Wingi aku nemu kodok lima, kabeh ndangak bareng. Kaya nonton kembang api. Serem, lho.”

Mereka tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. Tapi saat jam menunjukkan pukul sebelas malam, angin berdesir dingin, dan aroma bunga kantil menguar dari arah ladang.

Pak Bolot: “Wangi apa iki... kaya kembang kuburan.”

Pedot: “Jangan ngono, Pak… aku lho ngantuk, nek kaget jantunge bisa mampet.”

Udin: “Ssttt... krungu ora? Ana sing nyeret kaki…”

Mereka semua menegang. Langkah berat, gesekan kain lusuh, dan napas berat terdengar dari balik gelap. Tapi saat disorot senter, hanya terlihat topi caping tua tergantung di dahan pohon.

Pak Bolot: “Alaaah! Caping wae kok nganti medeni aku!”

Pertemuan Rahasia

Di rumah Pak Lurah, malam itu diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh penting desa: Pak Lutfi, Mbah Tejo, dan dua orang saksi mata tua yang masih hidup sejak masa nenek bisu.

Pak Lurah: “Sumur itu... dulunya memang tempat orang tua menyembunyikan pusaka warisan. Tapi setelah tragedi nenek bisu, sumur ditutup secara mistis.”

Mbah Tejo: “Tapi segel itu sudah rapuh. Seseorang menggoyahkannya dari luar desa.”

Pak Lutfi: “Kita harus bertindak sebelum malam Jumat Kliwon. Itu malam paling lemah bagi pagar gaib.”

Mereka sepakat. Sebelum sumur itu dibuka kembali, mereka harus menemukan dan memindahkan pusaka ke tempat yang lebih aman—jauh dari jangkauan Ki Sambora.

Kembali ke Ladang

Keesokan harinya, Udin, Pedot, dan Pak Bolot diminta menemani Pak Lutfi dan Mbah Tejo ke lokasi sumur. Dengan membawa alat-alat sederhana, mereka mulai menggali di bawah semak liar.

Udin: “Pak, iki yakin sumure ono kene? Aku kok mulai krasa mumet yo…”

Pedot: “Iya, kepalaku panas. Kayak ana sing nontonin dari bayang-bayang.”

Pak Bolot: “Mbok ya ojo mikir aneh-aneh. Mikirne nasi pecel wae, luwih enak!”

Namun saat cangkul Pak Bolot menyentuh sesuatu keras, semua terdiam. Suara denting logam terdengar. Sebuah peti kecil, berkarat namun masih utuh, muncul dari bawah tanah.

Mbah Tejo: “Ini dia... pusaka itu…”

Tiba-tiba angin berputar kencang. Peti bergemetar. Dan dari balik kabut, sosok Ki Sambora muncul.

Ki Sambora: “Serahkan padaku… atau kalian semua akan merasakan amarah yang telah lama terkubur!”

Udin dan Pedot bersembunyi di balik batang tebu. Pak Bolot, entah karena tak dengar atau pura-pura tak tahu, malah berdiri gagah.

Pak Bolot: “Ha? Sapa kuwi? Nggolek lodho?”

Udin: (berbisik) “Pak, kuwi dukun, bukan lodho!”

Pak Bolot: “Oh... londo? Lha kok malah nganggo bahasa jawa, ya?”

Mbah Tejo melangkah maju, membawa keris kecil dari kain putih. Pak Lutfi di belakangnya bersiap membaca ayat-ayat perlindungan.

Pertarungan pun tak bisa dihindari...

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!