NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17

Ravel masih duduk santai di sofa panjang ruang kerja Nagendra. Kakinya selonjoran, tangan mainin paperweight kaca yang ada di meja tamu.

“Eh, lo tuh ruang kerja apa ruang tidur, sih? Nyaman banget, bikin gue ngantuk.”

Nagendra melirik sebentar, lalu lanjut ngetik di laptop.

“Kalau ngantuk, pulang aja. Jangan bikin polusi suara di sini.”

“Ish… dingin bener lo. Nggak ada perkembangan sejak SMA.”

Ravel nyengir sambil menyandarkan kepala ke sandaran sofa.

“Tapi ya… bagus juga sih. Konsisten.”

Cathesa sesekali melirik ke arah mereka, tangannya tetap sibuk di keyboard. Tapi jelas ekspresinya menahan senyum. Ravel ini tipe orang yang bisa bikin satu ruangan rame cuma dengan napasnya.

“Ngomong-ngomong,” Ravel duduk tegak, mencondongkan badan ke arah meja Nagendra.

“Gue beneran serius soal kerja sama tadi. Lo pikirin ya, Ndra. Gue tau lo picky, tapi tim gue sekarang kuat. Campaign-nya bakal cocok banget buat anak perusahaan lo yang properti digital itu.”

Nagendra menutup laptop pelan. Tatapannya ke Ravel datar, tapi nggak sesinis biasanya.

“Lo selalu ngomong meyakinkan, tapi ending-nya chaos.”

“Itu dulu, Bro. Sekarang gue udah bertobat.”

“Lo bilang gitu tiap tahun.”

“Iya… tapi sekarang gue pake jazz. Itu udah step maju, kan?”

“Lo ke sini naik mobil siapa?”

“Nyewa supir. Gue takut ngelindes reputasi gue sendiri.”

Cathesa nggak tahan, akhirnya tertawa kecil—suara yang langsung bikin Nagendra menoleh cepat.

Ravel langsung nunjuk Cathesa.

“Tuh! Liat! Sekretaris lo ketawa. Berarti aura gue berhasil ngerusak atmosfer es di kantor ini.”

“Kalau lo berhasil bikin gue ketawa, baru gue kasih deal.”

“Tantangan diterima, Bos Es Batu.”

Ravel lalu berdiri dan menepuk-nepuk celana.

“Gue balik dulu. Tapi serius, proposal gue tuh emas. Lo baca, terus lo kasih jadwal follow-up. Dan—”

Dia nunjuk Cathesa sambil jalan ke pintu.

“Lo… jangan resign sebelum gue ajak lo jadi brand ambassador di kantor gue. Gue serius.”

Cathesa hanya tertawa canggung.

Nagendra berdiri setengah malas.

“Ravel.”

“Ya?”

“Jangan datang tiap hari.”

“Tergantung mood gue.”

Pintu tertutup. Hening.

Nagendra kembali duduk.

“Absurd.”

“Tapi menyenangkan, Pak,” sahut Cathesa, masih senyum-senyum.

Nagendra melirik sekilas. Sudut bibirnya nyaris bergerak.

Ravel berjalan santai keluar dari ruang Nagendra sambil bersiul pelan. Tangannya memasukkan kembali map presentasi ke dalam tas kulitnya. Saat hendak menekan tombol lift, pintu lift justru terbuka lebih dulu.

Dan di sanalah—berdiri dengan blouse putih gading mahal, heels setinggi ego, dan pandangan setajam ujung stileto—Adeline.

Keduanya sama-sama refleks menatap.

“Oh.”

“Hmm?”

Adeline mengangkat dagunya sedikit, mengenali Ravel sejenak—dia tahu ini bukan karyawan biasa.

Ravel, seperti biasa, malah senyum santai.

“Lo bukan staff sini, ya?” tanya Adeline dingin.

“Kalau iya kenapa? Mau lapor satpam?”

“Bukan. Cuma heran, Alejandro Group biasanya nggak sembarangan terima tamu.”

Ravel mengangkat alis.

“Gue juga heran. Biasanya tamu cantik nggak segalak ini.”

Adeline mendelik, merasa tak dihargai.

“Saya Adeline.”

“Oh. Jadi lo si calon tunangannya Nagendra yang selalu disebut-sebut tapi nggak pernah muncul pas reunian?”

“Saya nggak suka buang waktu untuk hal yang nggak penting.”

“Hmm… tapi lo datang ke kantor mantan pacar lo dan nyamperin liftnya tanpa janjian?”

“Saya nggak perlu izin untuk datang ke kantor calon suami saya.”

“Wah. Kalau jadi suami lo nanti, dia harus izin buat napas juga?”

Adeline menegang.

“Kau siapa?”

“Ravel.”

Ia mengulurkan tangan.

“Sahabat SMA Nagendra. Yang tau semua versinya, termasuk yang lo nggak bakal ngerti.”

Adeline tak membalas jabatan tangan itu. Hanya masuk ke dalam lift dengan elegan.

Ravel masih santai menekan tombol turun.

“Lo hati-hati, ya. Soalnya, makin keras lo genggam sesuatu, makin besar kemungkinan dia lepas.”

“Ngomonglah pada diri sendiri.”

“Udah. Tiap pagi,” jawab Ravel dengan anggukan ringan.

Lift tertutup. Ravel tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

“Gila. Ini kantor CEO atau sinetron prime time?”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Adeline melangkah keluar dari lift seperti biasanya—anggun, rapi, penuh aura “aku pemilik ruangan ini”. Tapi langkahnya tertahan saat melihat sosok Cathesa berdiri di dekat meja resepsionis lantai.

“Kamu lagi?”

“Selamat siang, Nona Adeline,” sapa Cathesa sopan, senyum tipis.

Adeline tidak membalas, hanya menatap Cathesa dari ujung kepala hingga kaki. Kali ini Cathesa mengenakan kemeja navy dengan rok pensil hitam. Rapi, sederhana, tapi ada pesona tenangnya sendiri yang entah kenapa membuat Adeline makin tak nyaman.

“Kamu nyaman ya kerja di sini?”

“Saya bersyukur, Bu. Setiap hari saya belajar banyak,” jawab Cathesa ringan, walau tahu kalimat itu akan diplintir.

“Kamu pintar menyembunyikan ambisi,” bisik Adeline tajam.

Cathesa tersenyum, menunduk hormat.

“Saya hanya menjalankan tugas.”

Adeline hendak membuka pintu ruang Nagendra, tapi—

“Eh, eh, eh! Gue lupa charger gue di ruangan lo, Ndra!”

Tiba-tiba, suara Ravel terdengar lagi dari arah lift. Ia masuk kembali ke lantai atas, melambaikan tangan seolah suasana di ruangan ini tidak seaneh yang dia rasakan.

“Oh, lo lagi,” kata Adeline tak menahan ekspresi muaknya.

“Yes, masih gue,” jawab Ravel sambil melirik Cathesa, lalu mengangkat alis.

“Sumpah, vibe lantai ini makin kayak sinetron. Gue suka.”

Nagendra membuka pintu ruangannya sedikit.

“Masuk aja sekalian, Ravel.”

“Gue udah bilang kan, gue bawa hiburan gratis.”

Cathesa mundur sedikit memberi ruang. Adeline meliriknya lagi sebelum masuk.

“Kamu nggak usah ikut. Saya ingin bicara empat mata dengan Nagendra.”

Cathesa mengangguk, tetap tenang. Tapi di dadanya, ada rasa aneh yang bahkan belum sempat ia beri nama.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Adeline sudah berdiri di depan pintu ruang Nagendra, wajahnya dingin dan penuh determinasi. Nagendra membuka pintu dengan ekspresi datar.

“Kamu sudah tahu alasanku memanggilmu ke sini,” ujar Nagendra singkat.

Adeline mengangguk, dengan tatapan menusuk.

“Aku ingin mempercepat acara pertunangan kita. Bulan depan.”

Nagendra mengernyit sedikit.

“Bulan depan? Itu sangat cepat, Adeline.”

“Ayahmu sudah setuju, ibu pun mendukung. Ini untuk masa depan kita.”

Nagendra terdiam, matanya menyipit.

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari luar ruangannya. Ravel melongokkan kepala dengan senyum lebar.

“Bro! Apa kabar? Lagi rapat? Santai dong, gue bawa hiburan!”

Nagendra menghela napas berat.

“Ravel, lo jangan bikin onar.”

Ravel melangkah masuk sambil mengangkat tangan.

“Onar? Gue cuma pengen lihat lo beraksi sama calon istri lo.”

Adeline menatap Ravel dengan tatapan tak suka.

“Siapa kamu?” tanyanya dingin.

“Ravel, sahabat lama Nagendra. Jangan baper ya.”

Cathesa yang berdiri di pojok ruangan menahan tawa kecil.

Nagendra menggeleng pelan.

“Kalau kalian sudah selesai bercanda, kita lanjut pembicaraan serius.”

Adeline menatap Nagendra tajam.

“Aku serius, Nagendra. Aku nggak mau ditunda-tunda lagi.”

Nagendra menghela napas panjang.

“Aku juga ingin yang terbaik, tapi bukan berarti harus buru-buru.”

Ravel melirik ke arah Cathesa dan tersenyum nakal.

“Bro, jangan lupa ada yang juga lagi ngintip nih.”

Cathesa cepat-cepat menunduk, mencoba menyembunyikan senyum.

Adeline makin kesal.

“Aku nggak peduli dengan siapa pun yang mengintip, yang penting kamu setuju.”

Nagendra berdiri.

“Kita bicarakan ini nanti. Sekarang, Ravel, jangan ganggu.”

Ravel ngacungin tangan.

“Sip! Gue pergi dulu. Tapi ingat, jangan terlalu dingin terus.”

Ravel keluar dari ruangan dengan langkah santai.

Adeline mendelik ke arah Cathesa yang masih diam.

“Kamu, jangan main-main dengan dia.”

Cathesa mengangkat alis.

“Saya hanya menjalankan tugas.”

Nagendra memandang mereka berdua dengan mata yang sulit ditebak.

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!