NovelToon NovelToon
Antara Ada Dan Tiada

Antara Ada Dan Tiada

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:333
Nilai: 5
Nama Author: Sazzzy

"Apa yang kamu bicarakan Lin Yi? A-aku sudah kotor sejak kecil haha, dan kamu, dan kalian kenapa masih tertarik pada perempuan sepertiku? Sepertinya kalian kurang berbaur ya, diluar sana masih banyak loh gadis yang lebih dariku dari segi fisik dan mental, so, kerjasama kita bertiga harus profesional ya!" Sebenarnya Safma hanya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, walaupun Safma sendiri tidak terlalu paham dengan maksud dari kalimatnya secara mendalam. Tidak ada airmata dari wajah Safma, wajahnya benar-benar pintar menyembunyikan emosinya.

"Safma!" Sudah habis kesabaran Lin Yi, kemudian menarik tangan Safma pelan juga tiba-tiba namun dapat membuat gadis itu terhuyung karena tidak seimbang. "Jangan bicarakan hal itu lagi, hatiku sangat sakit mendengarnya. Kamu terlalu berharga untukku, Please biarkan aku terus mencintaimu!" Lirih Lin Yi dibarengi air mata yang mulai berjatuhan tanpa seijinnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sazzzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seorang River

"Yang River."

Mendengar itu Safma membelalakkan matanya lebar, apakah ini lelucon takdir?

"Yang River? Bagaimana mungkin, aku tidak percaya hal ini bisa terjadi. Maksudku, bagaimana bisa aku memanggilmu dengan nama aslimu yang bahkan aku sendiri tidak tahu hal itu. Sungguh, aku asal sebut namamu, kenapa bisa se plot twist begini?" Heboh Safma tak percaya.

"Aku juga kaget saat sadar kamu tahu namaku tadi."

"Hem," melirik River lalu tersenyum manis, "Aku rasa kamu lelah setelah meluapkan emosimu tadi, sini," menepuk pahanya yang sudah tergeletak bantal kecil, "letakkan kepala kamu disini dan tidurlah."

Wajah pemuda itu sangat terlihat jelas menampilkan raut kelelahan, keputusasaan dan ketidakmampuan untuk melewati ujian yang dia alami sekarang ini.

Tak ada pergerakan, entahlah, Safma merasa River mungkin merasa tidak nyaman dan asing ya walaupun memang situasinya benar begitu. Yasudahlah, toh Safma sudah membuang gengsi dan jual mahalnya saat ini.

Safma bergeser mendekati dan mepet pada pemuda itu, tangannya terulur untuk menyentuh telapak tangan besar namun kurus itu. "Tidurlah di pangkuanku, aku tidak bisa menopang kepalamu di bahuku, kuyakin kau akan pegal dan itu juga jomplang karena selisih tinggi badan kita yang sangat jauh ini."

"..."

"River, aku tidak akan macam-macam, dan dengan kesadaran penuh aku mengakui aku pendek, em tidak, tidak, sebenarnya aku tidak pendek, melainkan orang-orang yang entah makan apa bisa tinggi-tinggi huh, jadi menurutlah." Rayu Safma.

Dan lihat, River menampilkan raut wajah seperti menahan tawa di wajah sembabnya itu. Benar-benar tak habis pikir di mata Safma.

"Kalau mau tertawa, tertawalah!" Safma kembali ke tempat duduk semula dengan bantal kecil yang masih setia di pangkuannya.

"Maaf," tiba-tiba pemuda itu memeluk Safma seraya mengucapkan kata maaf berulang kali.

Safma membalas pelukan hangat itu, "Sudah-sudah, sekarang tidurlah."

"..."

"Kamu ku maafkan," tambah Safma.

Mata River yang sudah terpejam kembali terbuka dan langsung bertubrukan dengan tatapan Safma, "Gadis mungil itu imut dan menggemaskan kau tau, bahkan awet muda." Celetuknya.

Dan mata Safma membalas lontaran itu dengan berkedip beberapa kali seakan mencerna apa yang baru saja dikeluarkan oleh River, setelah sadar dan paham, Safma berdehem untuk mengusir awkward diantara mereka. "Tidurlah, mentari pagi ingin menyambutmu esok." Tahu Safma dengan mengusapkan puncak kepala River berulang kali.

Terdengar dengkuran halus dan teratur dari River yang menandakan bahwa pemuda itu sudah terlelap. Mata Safma juga kian memberat dan akhirnya ikut tertidur pulas dengan posisi duduk memangku River.

Keesokan harinya

Safma terbangun dengan tubuh yang ia regangkan karena merasa pegal dan agak nyeri. Walaupun nyawanya belum terkumpul sepenuhnya, otaknya cepat tanggap untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

Gadis cantik dan manis itu berfikir, apakah semalam itu ia mimpi atau nyata ya. Jika bukan mimpi kenapa dia saat terbangun di kamar tidurnya bukan di sofa?

Lalu jika mimpi kenapa tubuhnya terasa sangat pegal sampai kebawa di dunia nyata. Setelah berpikir apakah dia mimpi atau tidak, akhirnya Safma bergegas menuju ke kamar mandi dan mandi kemudian mengganti baju dengan setelan kaos dan celana pendek yang ia beli 100 ribu dapat lima, walaupun murah tapi ia merasa nyaman.

Menuruni tangga menuju dapur, saat menginjak anak tangga keempat dari bawah, ia harus terhenti karena melihat pemuda asing tertidur di sofa ruang tamu miliknya.

Pemuda itu ...

Matanya menyoroti untuk beberapa saat, kemudian menghela nafas saat nyawanya benar-benar terkumpul. Senyum tipis ia cetak diwajahnya, kembali berjalan ke dapur secara perlahan agar tak membangunkan manusia yang terlihat lelap dalam tidurnya.

Sungguh, Safma tak menyangka bahwa kemungkinan besar River lah yang membawanya pindah ke tempat tidur lalu kembali tidur di sofa.

"Dia memang pemuda yang gentle, betapa bodohnya perempuan gila itu." Lirih Safma seraya tangan sibuk membuat sarapan pagi dengan seafood, nasi, dan lauk sederhana lainnya.

Saat makanan sudah hampir selesai dibuat, pemuda itu bangun dan menghampiri Safma. "Maaf aku bangun terlambat, ada yang bisa ku bantu?" Seraknya.

Tersenyum manis, "Mandilah, bajumu sudah aku siapkan di atas kasur. Setelah itu turun dan sarapan pagi bersama."

Masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun.

"River, mandilah, kita akan makan setelah kamu melakukan hal yang aku katakan tadi." Putus Safma terdengar tegas.

Akhirnya pemuda itu mengangguk dan mengambil langkah untuk membersihkan tubuhnya.

Beberapa menit kemudian

River turun dengan pakaian yang sudah berganti menjadi pakaian rumahan yang begitu cocok dipakainya.

Safma kembali tersenyum tipis, "Ambil kursimu dan duduklah."

"Aku memasak ayam seafood, apa kamu suka?" Tambah Safma bertanya.

"Sangat suka," jawab River dengan sorotan mata berbinar-binar layaknya belum pernah makan-makanan ini.

"Syukurlah," lega Safma, "Silahkan dimakan apa yang kamu mau dimeja ini."

Mereka pun sarapan pagi dengan hikmat dan berselera, Safma jadi puas karena tidak merasa sepi saat makan sekarang.

Setelah membereskan sarapan, Safma bergegas mencuci piring kotor dibantu River yang memaksa untuk membantunya. Mau tak mau Safma pasrah saja dengan tindakan yang dilakukan oleh River.

Mereka kini kembali berkumpul di sofa, menonton televisi yang menampilkan kartun kesukaannya, mereka terlihat menikmati tayangannya dan sesekali terkekeh geli.

"Safma, terimakasih banyak." Suara yang begitu tulus terdengar ditelinga Safma.

Membuat Safma menoleh dan mendapati bahwa River juga sedang menatapnya intens.

"Sama-sama."

"Mungkin jika tidak ada kamu, ataupun jika tadi malam aku benar-benar melakukan hal itu, mungkin sekarang aku tinggal nama saja. Tidak bisa menghirup udara seperti sekarang ini juga menatap mata kamu seperti ini." River menggenggam erat tangan Safma.

Sedangkan Safma sendiri sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan bisa berpindah ke genggaman tangan River.

"Kau memang layak untuk hidup, lagipula hidupmu terlalu berharga untuk diakhiri oleh dirimu sendiri bukan takdir. Lupakan masa lalu dan bukalah lembaran baru," Safma berusaha menyakinkan dengan bersungguh-sungguh.

"Benar, aku terlalu dangkal tadi malam."

"Em River, aku tidak tau jika mungkin aku berada diposisi mu ataupun situasimu sekarang ini apakah aku akan sekuat dirimu atau tidak, yang jelas, kamu itu terlalu berharga. Dan kamu tidak usah merasa sendiri, banyak orang dibelakang mu yang mendukung dirimu untuk masa depan cerah."

"Apakah aku seberharga itu?"

"Ya."

"Lalu kenapa orang tua ku tidak peduli padaku, kenapa mereka egois dengan berpisah dan menelantarkan anaknya?"

"Orang dewasa seperti mereka memiliki alasan sendiri juga sudut pandang yang sulit untuk kita pahami."

"Ya, dengan kata lain aku tak berharga bagi mereka."

"River."

"Itulah alasanku sampai di titik tadi malam," lirih River menunduk. "Orangtuaku berpisah dengan cekcok sebelum pengadilan mengabulkan permohonan mereka untuk bercerai, lalu wanita itu datang layaknya obat disaat terpuruk ku menyelimuti. Dia menghiburku, menyemangati ku, benar-benar membuatku merasa nyaman dengan kehadiran dirinya dalam hidupku, walaupun dia pertama kali datang lewat pesan singkat dan berakhir terjerat rasa ingin bersamanya." Sekali lagi terdengar tarikan nafas panjang dari River.

Safma masih setia diam dan mendengarkan curhatan pemuda itu dengan menatapnya dalam.

"Dia benar-benar dewasa menurut pandangan ku saat itu, begitu baik dan pengertian. Bagaimana pun juga dia lebih tua tujuh tahun dariku, jadi aku fikir dia memang memiliki sifat dewasa dan keibuan yang saat itu aku butuhkan karena memang aku butuh sosok seperti itu."

"Dan aku berfikir kami akan bersama, dengan itu aku memberikan segalanya untuk dia, uang gaji ku selama lima tahun terakhir. Aku bekerja banting tulang dari bangun tidur sampai tidur lagi, sampai beberapa kali mimisan karena memaksa tubuhku untuk bekerja hingga drop. Aku tidak suka sayuran tapi aku setiap hari memakannya, aku suka seafood tapi aku tidak sanggup membelinya."

"Hingga saat aku meminta kepada dia untuk membelikan aku seafood, dia meminta ku untuk beli sendiri, namun bagaimana bisa aku membeli itu jika aku saja tak memiliki uang. Ya, semua uang sudah aku berikan padanya, selama ini aku bertemu dengan dia 3 kali saat hari besar, itupun tidak bisa dikatakan jalan berdua."

"Aku tidak pernah mengambil dan meminta hal tak wajar dari dia, karena aku benar-benar mencintainya, perhatian dia lewat pesan dan telepon sudah sangat cukup bagiku. Aku juga memberinya modal usaha untuk kami berdua kedepannya setelah menikah, ya, aku sudah berfikir sejauh itu."

"Namun semua itu tak ada artinya saat aku mengetahui dari temanku bahwa dia sudah menikah seminggu yang lalu oleh pria yang mungkin lebih mapan dariku, pria yang lebih baik dariku. Puncaknya saat sore itu, aku menelponnya dan panggilan ke dua puluh tiga baru dia jawab, dan itu panggilan video."

Air mata sudah membanjiri pipi River, "Saat itu aku huh, aku melihat sendiri mereka sedang berbulan madu dan dia, dia mengangkat telponku saat mereka sedang melakukan hubungan badan. A-aku ... Aku merasa ..." Suaranya bergetar.

Dengan sigap Safma memeluk tubuh pemuda itu begitu erat seolah mencoba membiarkan pemuda itu menyalurkan kesedihannya lewat pelukan mereka.

Tangisan tadi malam pun kembali terdengar, lagi-lagi Safma menutup kembali matanya rapat, sungguh merasa tidak tega.

Tak terasa, lebih dari satu jam mereka masih diposisi River yang menangis dan Safma menenangkan.

"River ..." Panggil Safma lembut.

"Hum ..." Sahut River makin mempererat pelukannya.

"Terimakasih, kau sudah mau menceritakannya padaku." Tulus Safma.

"Aku yang seharusnya berterima kasih, dan aku juga berhutang nyawa padamu." River.

Safma melepaskan pelukan mereka, "Baiklah, masa lalu buruk lupakan, masa depan cerah rencanakan dan masa sekarang kita nikmati dulu masa muda kita." Menangkup wajah tirus River seraya mengusap air mata pemuda itu.

"Oke." Putus River.

"Karena anda orang asli sini, maukah anda menjadi tour guide saya? Saya ingin mencicipi makanan yang lezat disini." Semangat Safma dengan ucapan formal.

"Dengan senang hati nona," sahut River yang diakhiri tawa keduanya.

"Tunggu, aku ambil tas dulu." Dengan semangat Safma lari mengambil tasnya.

Beberapa menit kemudian ...

Di dalam lift, kebetulan hanya ada mereka berdua, River menoleh kearah Safma.

"Kamu yakin keluar seperti ini?" Heran River.

"Ya."

"Ga memakai dress atau makeup?" Heran River dengan gadis disebelahnya.

"Ya."

"Ya?" Bingung River mengulangi nada ucapan Safma.

"Ya, kenapa?" Sekarang ganti Safma yang heran.

"Biasanya perempuan selalu tampil all out ketika keluar, sodaraku begitu." Jelasnya.

"Hemat makeup, lagipula tidak ada yang mengenaliku disini." Acuh Safma.

"Ah benar," River menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba.

"Karena kita sama-sama suka seafood, misi pertama kita ke surganya seafood." Putus Safma berjalan keluar ketika lift terbuka.

Kini mereka berdua berada di dalam mobil, "Dimana?" Penasaran Safma memegang setir mobil.

"Tidak jauh dari sini," sahut River memasang sabuk pengaman.

"Baiklah," Safma menghidupkan mesin mobil dan menancapkan gas.

"Kamu tidak takut aku tipu?" Entah kenapa tiba-tiba River berkata demikian.

"Apa penipu berakting semenyedihkan itu seperti benar-benar dia telah merasakannya? Kenapa alami sekali," telak Safma.

"Em, apa jika ada pria atau perempuan lain seperti aku tadi malam kau akan melakukan hal yang sama?" Tanya River.

"Tentu."

"Kenapa?" Heran River.

"Aku tidak ingin melihat orang mengakhiri hidupnya sendiri dengan sia-sia, hidup terlalu berharga. Pasien rumah sakit berjuang membayar mahal untuk hidup, kenapa kita yang sehat harus mengakhiri hidup jika kemungkinan besar kita berumur panjang." Jelasnya.

"..."

"Mau mampir ke psikiater gak?" Tawar Safma.

"Sama kamu aja." Ambigu River.

Tidak mengerti, "Gimana?" Safma butuh penjelasan.

River tersenyum manis, "Tidak usah, sama kamu sama saja, sedikit lagi juga kita sudah sampai."

"Oke." Safma akhirnya mengalah.

Sesampainya di gerai yang menjual berbagai macam jenis seafood, membuat Safma tersenyum berseri-seri.

"Boss, saya mau yang ini, ini, ini, ini, ini dan yang ini." Tahu Safma pada sang penjual.

"Porsi makan mu banyak sekali," ceplos River tanpa sadar.

Mendengar itu Safma menoleh, "Kecil-kecil begini rakus juga tau." Kesal Safma, lalu fokus kembali pada surga dunia didepan mata.

"Eh ... Maaf," River tak enak.

"Tak masalah, kau orang yang ke seribu tiga yang bilang begitu." Santai Safma.

"Apa?" Tak percaya River atas kalimat Safma barusan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!