Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Till Dawn
Hawa sejuk pegunungan, menyelimuti suasana pagi. Secarik cahaya mentari, menyelinap merasuki tenda, sedikit memberikan kehangatan pada hati.
Kelopak yang masih mengatup, perlahan terbuka ketika cahaya mengetuk. Ruang hampa, adalah pemandangan pertama yang terekam dalam retina.
Merasa ada yang hilang, gadis berparas cantik dengan choco chips dibawah bibirnya sebagai ciri khas, terperanjat menelisik lingkungan sekitarnya.
Mencoba mencarinya diluar tenda, hanya hamparan rumput bersama embun yang masih menetes lah yang bisa terlihat olehnya.
Sempat frustasi, rasa khawatir akan ditinggalkan lagi seperti malam kali pertama mereka bertemu pun, mulai merayap di sekunjur kulitnya.
Namun aroma makanan sedap, mengalihkan atensinya. Langkahnya seakan terhipnotis untuk bergerak, menyusuri setiap jengkal area perbukitan, menuju sumber aroma tersebut berada.
Senyuman yang kuncupmulai mekar indah di bibirnya, ketika menyaksikan sosok pria yang tengah memasak sembari menikmati mentari terbit dihadapannya.
Meski hanya tampak dar punggungnya ia bisa langsung menyadari dan yakin, bahwa pria itu adalah sosok yang sedari tadi dicari.
Dengan niat jahil, ia melanjutkan langkah tanpa suara. Mendekati pria yang sedang fokus memasak, hendak mengejutkannya dari belakang.
“Sudah bangun, Airi?” tanya pria tersebut dengan lembut, tanpa sedikitpun menoleh.
Yang ditanya sempat menghentikan sejenak pergerakannya, menghela napas pasrah sembari melemaskan setiap otot pada tubuhnya, lalu melanjutkan langkahnya dengan malas.
“Mengapa kau bisa menyadarinya, Ryuka? Apa langkahku kurang pelan?” tanyanya sedikit kesal bercampur penasaran.
“Lihat saja, sungai yang begitu jernih itu.” jawab Ryuka dengan tenang, masih sambil melanjutkan aktivitas memasaknya.
Tanpa perlu ditunjuk, Airi bisa langsung memahami sungai mana yang dimaksud. Spontan ia menoleh pada sungai dihadapannya, dan menyadari bahwa bayangannya terpantul dengan sangat jelas dari dalamnya.
“Dasar curang! Mengapa harus memasak dipinggir sungai!?” keluhnya kesal, karena gagal mengejutkan Ryuka.
Ryuka tertawa kecil sebelum menjawab. “Habisnya, aku ingin masak ikan. Ya ku cari sungai dekat sini, lah! Lagipula, aku bukan dirimu yang tak bisa menyadari kehadiranku. Padahal sudah jelas terpantul dari cermin.”
“Ikan?” tanya Airi, belum menyadari apa yang sedari tadi Ryuka masak. Ia tak terlalu mempedulikan sindiran Ryuka tentang hari sebelum mereka keluar dari kamar melalui jendela.
Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban, sedikit menyembunyikan rasa kesal karena sindirannya tidak berpengaruh.
Spontan Airi mengalihkan atensinya pada area tempat Ryuka memasak. Benar saja! Diatas perapian kecil, terdapat seekor ikan besar yang tergulir ditengah kayu yang terus diputar oleh Ryuka.
“Kau suka ikan bakar, kan?” tanya Ryuka lembut, memastikan.
“Suka, sih. Tapi, dari mana kau mendapatkan ikan sebesar ini?”
“Sungai.” jawab Ryuka singkat.
Seketika imajinasi Airi berkelana, membayangkan sosok beruang yang berdiri di batu tengah sungai, menunggu ikan meloncat dari perairan, lalu menangkapnya dengan mulut.
Airi tertawa geli sendiri, membayangkan bagaimana jadinya jika sosok beruang itu adalah Ryuka. Mungkin saja memang begitu caranya mendapatkan ikan besar?
Menyadari tawa Air, Ryuka sedikit penasaran. “Apa yang kau pikirkan? Ikannya kurang besar untuk kita berdua? Perlu ku tangkap lagi?”
“Bukan, bukan! Ikannya sudah lebih dari cukup. Hanya saja, aku membayangkan sosok beruang.” jawab Airi jujur, masih tertawa gemas.
“Beruang?” tanya Ryuka tak mengerti. Airi hanya menangguk sebagai jawaban, tak mampu menghentikan tawanya.
Seketika Ryuka mampu memahami, apa yang gadis itu bayangkan tentang beruang. Wajahnya menjadi merah karena malu, tak mampu mengakui bahwa memang seperti itulah caranya menangkap ikan.
“Bukan beruang!” sentaknya mencoba mengelak. “Tapi, memang mirip beruang sih.” lanjutnya tak bisa berbohong.
“Jadi, bayanganku benar!?” tanya Airi, sedikit meledek.
“Tapi tidak dengan mulut juga! Aku menangkapnya dengan tangan! Kau kira, aku binatang hah!?” Ryuka sedikit memberikan klarifikasi.
Airi terkekeh mendengar klarifikasi itu, semakin ingin jahil meledek pria yang sedang malu disebelahnya.
“Begitu, kah? Aku bahkan mengira kau adalah siluman beruang.”
“Airi!” sentak Ryuka, merasa malu ditertawakan oleh gadis cantik disebelahnya.
Airi semakin melepaskan tawanya. “Satu sama! Itu balasan, karena tadi kau menyadari kehadiranku yang mau ngagetin kamu!” ucapnya masih sambil tertawa.
Ryuka sempat tersentak mendengarnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya Airi ingin lakukan. Begitu rupanya? Jadi dia dendam karena gagal mengejutkannya?
Senyuman jahil terlintas di bibir tipis Ryuka, terpikirkan sebuah ide yang pasti tak bisa dibalas lagi oleh Airi. Entah mengapa ia begitu yakin dengan ide ini.
“Baiklah, baiklah. Biar ku katakan kejujuran padamu!” ucapnya mengawali ide jahil tersebut.
Seketika Airi berhenti tertawa, ingin mencoba mendengarkan kelanjutan dari kalimat yang Ryuka berikan. Ryuka menghela napas sebelum melanjutkan.
“Sebenarnya, aku memanglah beruang yang sedang menjelma menjadi manusia,” lanjutnya sedikit mengarang cerita.
“Eh?” Airi terkejut, namun masih tak ingin mempercayainya.
“Kau hebat, Airi. Mampu menyadarinya dengan mudah,” puji Ryuka, untuk memperdalam perannya.
“Sungguh?” tanya Airi masih ragu.
Ryuka mengangguk singkat. “Karena aku adalah siluman beruang, dan sekarang sedang kelaparan… sepertinya aku ingin memakan mu saja.” lanjutnya dengan nada santai.
“Apa?” Airi mulai takut.
“Biarkan beruang yang kelaparan ini, menikmati tubuhmu, Airi!” teriaknya dengan nada mengerikan.
Ryuka mulai menggenggam erat kedua bahu Airi, membaringkannya secara paksa pada rerumputan, lalu bertingkah seolah akan memakannya sungguhan.
Menggigit pelan beberapa area tubuh Airi seperti pipi dan leher, menggunakan bibir yang pasti tidak akan mampu menyakiti atau melukainya.
“Nyum! Rupanya kau jauh lebih nikmat dari yang ku duga ya, Airi? Jadi semakin suka, dh,” bisiknya pelan, sembari menjilat leher Airi. Menikmatinya sungguhan.
Debaran jantung mulai tumpang tindih, saling bersahutan antara milik Airi maupun Ryuka. Pipi keduanya merona merah, bahkan Ryuka pun merasa malu akan apa yang sedang ia lakukan.
“Ryu— Ryuka…!?” gugup Airi, ingin menolak namun ia juga menikmatinya.
Ryuka tersenyum jahil sebelum kembali bersuara. “Sekarang, aku satu poin lebih unggul darimu, Airi.” ucapnya lembut.
“Apa?” Airi tak mengerti.
Ryuka kembali pada posisi duduknya, fokus pada ikan sebelum hangus terbakar.
“Dua-satu. Kau tak mungkin bisa mengalahkanku lagi,” ucapnya bangga, tanpa menoleh.
“Ih, Ryuka menyebalkan!” sentak Airi, malu bercampur kesal karena telah kalah dalam permainan yang entah apa namanya ini.
Ryuka hanya tertawa lepas, menikmati reaksi menggemaskan Airi yang selalu ia candukan itu. Sesekali kembali fokus memindahkan ikan pada piring.
“Sudahlah, daripada marah-marah seperti beruang begitu, sebaiknya kita isi perut dengan makanan yang sesungguhnya.” tawar Ryuka sembari mendekatkan satu piring ikan besar diantara mereka.
“Kita makan satu piring berdua?” tanya Airi ragu.
“Aku malas memotongnya, takut ukurannya tidak adil juga. Jadi, langsung makan saja sepuasnya dari piring ini.” jawab Ryuka dengan santai, seolah tak bersalah.
Mereka pun akhirnya menyantap ikan bakar bersama, sembari menikmati pemandangan mentari terbit dihadapannya.
Seketika, pagi hari yang seharusnya dingin terasa begitu hangat, meski berjalan dalam keheningan. Hanya terdengar suara gemericik air, hembusan angin, juga serangga yang bernyanyi merdu bersama burung pada gunung tersebut.
Tanpa disadari, perasaan dan harapan yang sama mengalir dalam hati kedua insan yang sedang menikmati ikan bakar—tak ingin keindahan ini berakhir begitu saja.
Diam-diam, Ryuka memperhatikan Airi yang sedang menikmati santapannya. Sedikit mempertimbangkan sesuatu yang tak mudah diungkapkan.
Suasana ini… sangat sempurna, bukan? Bukankah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya? Cukup aneh memang rasanya, semudah ini membuka hati pada gadis yang baru lima hari ia kenal.
Terutama ketika mengingat trauma di hatinya yang belum sembuh, trauma yang ditancapkan oleh perempuan penghancur hidupnya. Apa Airi bisa dipercaya untuk menyembuhkan luka itu?
Namun entah keberanian dari mana, Ryuka memutuskan untuk jatuh hati dan berencana mengungkapkannya pagi ini juga.