Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Pertemuan dengan Sekar Wangi
"Selamat datang di babak baru, Aris Mardian, sekarang saatnya kamu bertemu dengan Sekar Wangi yang sebenarnya," ucap pria tua itu dengan senyum yang sangat misterius. Aris Mardian tersedak udara dingin yang tiba-tiba memenuhi paru-paru saat ia melihat pria tua itu menusukkan jarum besar ke dada boneka kain di pangkuannya. Sekar Wangi yang tergeletak di samping Aris mendadak memekik keras, tubuhnya melengkung kaku seperti busur panah yang sedang ditarik paksa.
"Berhenti! Apa yang kamu lakukan pada Sekar?" teriak Aris sambil mencoba menerjang maju meskipun kakinya terasa lemas.
"Aku hanya sedang membuka kancing identitas yang selama ini menutupi kebenaran, anak muda," jawab pria tua itu tanpa mengalihkan pandangan dari jahitannya.
Aris menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kulit wajah Sekar mulai bergetar hebat, seolah-olah ada ribuan serangga yang merayap di bawah permukaannya. Garis-garis hitam mulai muncul dari sudut mata Sekar, membentuk pola jahitan yang persis sama dengan denah desa yang terpatri di lengan Aris. Sekar membuka matanya, namun bukan warna cokelat hangat yang terlihat, melainkan sepasang lubang putih tanpa pupil yang memancarkan aroma melati busuk.
"Aris... tolong... aku bukan... aku tidak..." suara Sekar terdengar ganda, bercampur dengan desisan angin yang tajam.
"Jangan tertipu oleh suara itu, Aris, dia hanyalah wadah yang dipinjam oleh para leluhur Sukomati," ucap pria tua itu sambil menarik sehelai benang merah dari mulut boneka.
Sebagai seorang perancang bangunan, Aris mencoba mencari celah logis di tengah kegilaan ini, namun struktur kenyataan di sekitarnya seolah sedang dibongkar paksa. Ia melihat bayangan Sekar di tanah mulai membelah diri menjadi dua sosok yang berbeda, satu sosok manusia dan satu sosok makhluk tanpa wajah. Aris menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah benar-benar mengenal siapa wanita yang menemaninya menembus teror di rumah tua tersebut.
"Siapa kamu sebenarnya, Sekar? Mengapa wajahmu ada di dalam gulungan kain masa lalu?" tanya Aris dengan nada penuh kecurigaan.
"Aku adalah janji yang tidak ditepati, Aris, aku adalah darah yang tertukar di atas meja bidan!" sahut Sekar dengan suara yang kini sepenuhnya berubah menjadi suara wanita tua.
Pria tua itu tertawa kecil, jemarinya yang keriput kini mulai menjahit telapak tangan boneka kain tersebut dengan gerakan yang sangat cepat. Seketika itu juga, tangan kanan Sekar bergerak sendiri mencengkeram leher Aris dengan kekuatan yang tidak masuk akal bagi seorang wanita biasa. Aris merasakan kuku-kuku Sekar mulai menembus kulit lehernya, namun anehnya, tidak ada darah yang keluar, melainkan helai-helai benang sutra putih.
"Kalian berdua adalah dua sisi dari satu kain yang sama, satu sebagai perancang dan satu sebagai penjahit maut," bisik pria tua itu dengan nada mengerikan.
"Lepaskan Aris, kakek tua! Aku tidak akan membiarkanmu merusak keseimbangan ini!" teriak Sekar yang asli seolah sedang berjuang dari dalam tubuhnya sendiri.
Konflik batin di dalam tubuh Sekar menciptakan gelombang energi yang membuat tanah di bawah mereka mulai bergetar dan retak membentuk pola lingkaran. Aris menggunakan sisa tenaganya untuk mengambil botol ramuan herbal yang terjatuh dari tas Sekar, berharap ada sesuatu di dalamnya yang bisa memutus kendali gaib ini. Ia menyiramkan cairan berwarna hijau pekat itu ke tangan Sekar yang sedang mencekiknya, memicu reaksi asap yang sangat menyengat dan panas.
"Aris, lari ke arah sumur! Di sana adalah satu-satunya titik yang tidak terjangkau oleh jahitan kakek ini!" perintah Sekar sambil meronta-ronta menahan kendali tubuhnya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dengan makhluk ini, Sekar!" balas Aris sambil mencoba menarik tubuh Sekar menjauh dari sang pria tua.
Pria tua itu berdiri, menjatuhkan bonekanya ke tanah, dan tiba-tiba seluruh pakaian yang ia kenakan berubah menjadi ribuan potongan kain mori yang beterbangan. Ia melayang rendah di atas tanah, tangannya yang panjang terjulur mencoba menggapai pergelangan tangan Aris yang memiliki tanda denah desa. Aris menyadari bahwa pria tua ini menginginkan peta hidup yang ada di dalam dagingnya untuk membuka gerbang rahasia di Desa Sukomati.
"Desa ini membutuhkan pemimpin baru, dan kamu telah dipilih oleh benang hitam, Aris Mardian!" seru pria tua itu dengan mata yang berkilat merah.
"Aku lebih baik mati daripada menjadi bagian dari tradisi berdarah kalian!" tantang Aris sambil menghantamkan potongan kayu jati ke arah sang kakek.
Hantaman itu hanya mengenai udara kosong karena tubuh pria tua itu mendadak menghilang menjadi kepulan asap kapur barus yang sangat pekat. Sekar jatuh tersungkur, napasnya tersengal-sengal, dan wajahnya perlahan-lahan kembali normal meskipun matanya tetap menyiratkan kesedihan yang mendalam. Aris menghampirinya, namun ia melihat ada sebuah simbol lingkaran baru yang muncul di belikat Sekar, sebuah tanda yang menandakan bahwa ia adalah tumbal yang sudah ditandai.
"Kita harus segera pergi dari sini, Aris, sebelum seluruh penduduk desa bangun dan mengejar kita sebagai buronan," ucap Sekar dengan suara yang sangat lemah.
"Ke mana kita harus pergi? Seluruh jalan keluar sudah tertutup oleh dinding jarum gaib," tanya Aris sambil menatap sekeliling yang mulai diselimuti kabut hitam.
Sekar menunjuk ke arah peta yang ada di lengan Aris, di mana salah satu garis jahitan di bawah kulitnya kini mulai berpindah posisi dan menunjuk ke arah hutan jati. Aris menyadari bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan kebenaran tentang Sekar Wangi adalah kunci utama untuk mengakhiri kutukan ini. Saat mereka mulai melangkah, terdengar suara dentuman keras dari arah balai desa, menandakan bahwa pesta kematian telah resmi dimulai bagi mereka berdua.
"Ikuti garis di lenganmu, Aris, karena itu adalah denah desa yang terkutuk," bisik Sekar sambil menggenggam tangan Aris yang dingin.
Ikuti garis di lenganmu, Aris, karena itu adalah denah desa yang terkutuk.