Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab19
Cici berlari secepat mungkin ke arah kerumunan mahasiswa yang berdesakan di tengah aula. Suara riuh dan sorak sorai memenuhi udara, seolah mereka sedang menonton pertunjukan yang menghibur, padahal yang mereka saksikan adalah rekaman yang merusak hidupnya.
Begitu sampai, matanya terbelalak. Layar besar menayangkan adegan intim dirinya dengan Mike—terekam jelas, wajahnya, tubuhnya, semua terlihat tanpa sensor. Jantungnya seakan diremas, darahnya mendidih bercampur malu dan marah.
"Tidak kusangka ternyata Cici adalah wanita murahan, selama ini dia sangat sombong dan suka mencari masalah dengan Flower." Suara seorang mahasiswi terdengar lantang, disambut tawa sinis dari sekeliling.
"Benar! Dia hanya sok suci dan meremehkan orang, ternyata bukan apa-apa!" sahut yang lain, seperti menusukkan pisau ke dada Cici.
Hujatan demi hujatan menampar telinganya. Suasana berubah menjadi arena penghakiman. Cici berdiri di sana, tubuhnya gemetar, air mata membanjiri pipinya. Rasa malu melumpuhkan lidahnya, membuatnya hanya bisa mematung.
Lalu, dari balik kerumunan, muncullah Flower, adiknya yang selama ini selalu berseteru dengannya. Langkahnya angkuh, matanya menatap tajam ke arah Cici seperti menang dalam sebuah pertandingan.
"Putri kesayangan Tuan Florencia ternyata suka berhubungan intim dengan pria, Cici, kau sangat luar biasa," ucap Flower dengan senyum penuh sindiran, suaranya cukup keras untuk terdengar oleh semua orang di aula.
Seisi ruangan terdiam sesaat, lalu menoleh ke arah dua bersaudari itu. Detik berikutnya, suara-suara mencibir kembali menggema.
"Flower, apa kau bisa diam!" tegur salah satu teman Cici yang berdiri di sampingnya. Suaranya tegas, mencoba menghentikan kegaduhan.
Namun Flower hanya tersenyum miring, lalu melanjutkan provokasinya dengan suara lantang, "Aku rasa rekaman ini pasti telah dilihat keluargamu yang kaya raya itu. Putri kebanggaan mereka kini menjadi pelacur di kampus. Bayangkan saja, apa pandangan orang luar terhadap universitas kita? Mereka pasti kecewa. Dan mungkin, kita semua juga akan dianggap sama sepertimu. Kurasa sekarang saatnya membuat pilihan. Antara kau yang diusir, atau kami yang pindah."
Perkataan itu meledak seperti bom di tengah kerumunan. Cici mengatupkan giginya, emosinya hampir meledak. Ia menatap tajam Flower dan berteriak, "Diam! Apakah semua ini adalah bagian dari rencanamu?!"
Flower mengangkat alis, lalu menjawab santai, "Kalau aku memiliki rekaman ini, maka aku akan serahkan kepada media. Agar kau bisa terkenal, menjadi artis porno. Lumayan, bukan?"
Tubuh Cici melemas, matanya membelalak penuh kekecewaan dan luka. Suaranya tercekat saat mencoba membalas, "Kau..."
Flower mendekat, membisikkan kata-kata terakhirnya dengan sengaja agar terdengar oleh orang lain, "Lebih baik kau pulang sekarang dan jelaskan kepada keluargamu... bahwa dirimu hanya sekadar bersenang-senang."
Cici menunduk. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Semua yang ia jaga hancur dalam sekejap.
"Selain maling, kau juga sesuai menjadi wanita penghibur kelas bawah," ejek Flower sambil menyeringai puas.
"Cici Florencia, lebih baik kau pergi dari sini. Jangan merusak nama baik kami!" seru seorang mahasiswa, penuh jijik dan amarah.
"Iya! Di sini adalah universitas terbaik. Kau tidak layak di sini lagi!" kata yang lain dengan ketus, nadanya dipenuhi penghinaan.
Suasana semakin riuh, suara-suara seperti cambuk yang mencabik mental Cici. Tangisnya pecah. Dengan mata merah dan tubuh gemetar, ia menatap semua orang dengan pandangan terluka.
"Diam! Aku tidak akan melepaskan kalian!" teriaknya penuh amarah dan kepedihan, lalu berlari keluar dari ruangan itu dengan napas terengah dan hati yang hancur berkeping.
Mansion Florencia.
Suasana di dalam rumah megah itu terasa mencekam. Hening, tapi penuh tekanan.
Di ruang tengah, Yohanes Florencia berdiri dengan wajah merah padam. Napasnya memburu. Di depannya, layar besar menampilkan rekaman yang memalukan itu—adegan yang membuat darahnya mendidih.
"Memalukan! Sangat memalukan!" bentaknya sambil melempar gelas kristal ke lantai. Suara pecahannya menggema, membuat suasana semakin tegang.
Zoanna, sang ibu, duduk lemas di sofa. Matanya kosong, wajahnya lesu, seolah jiwanya baru saja dihempas ke jurang kekecewaan.
Alan, kakak Cici, berdiri kaku di dekat jendela. Tangannya mengepal kuat, menahan emosi yang hampir meledak.
"Alan, panggil dia pulang!" perintah Yohanes dengan suara berat.
"Dia dalam perjalanan, Pa. Tapi… apakah mungkin ada yang menjebaknya?" tanya Alan, ragu namun masih ingin percaya pada adiknya.
Yohanes mendengus marah. "Menjebak?" serunya. "Kejadian itu jelas! Dia sadar sepenuhnya. Tidak terlihat mabuk atau terpengaruh obat. Dia malah tersenyum dan menikmatinya! Bukan hanya di kampus, dia juga melakukannya di beberapa tempat. Menjijikkan!"
Di kamar lain, Wilson duduk dengan rahang mengeras. Rekaman itu diputar ulang di ponselnya. Mata tajamnya menyiratkan amarah yang ditahan.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" gumamnya. "Keluarga Florencia harus menanggung malu karena ini. Karierku juga bisa hancur. Cici, kau sangat pintar akting selama ini. Demi posisimu, kau membohongi kami semua. Bukan hanya sekali, tapi bertahun-tahun. Dan sekarang kau bahkan... hamil dengan pria lain?"
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka keras. Cici tiba di rumah. Wajahnya penuh air mata, langkahnya lemah. Tapi belum sempat bicara sepatah kata pun—
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
"Kurang ajar! Sungguh memalukan!" bentak Yohanes tanpa ampun.
Cici memegang pipinya yang memerah, tubuhnya bergetar.
"Cici, katakan kau tidak sengaja! Katakan kau hanya dipengaruhi obat!" pinta Zoanna dengan suara parau, masih mencoba mencari harapan.
Cici menangis makin keras, lalu berlutut di hadapan mereka. Tangannya menggenggam kaki ibunya.
"Ma, Pa, dengarkan aku! Semuanya ini adalah rencana dari Flower! Dia ingin menyingkirkan aku! Dendamnya pada kita belum selesai. Dia gunakan cara ini untuk mempermalukanku. Kalian tahu dia sudah berubah. Dia menolak keluarga dan lebih memilih tinggal dengan dokter itu!"
Yohanes menggeleng dengan mata merah. "Flower yang melakukan ini?" hardiknya. "Kau lakukan itu dalam keadaan sadar! Mana mungkin Flower menjebakmu!"
Alan melangkah mendekat, sorot matanya penuh kekecewaan. "Cici, aku sangat kecewa. Kami selalu membelamu. Selalu bangga padamu. Tapi ini… ini yang kau berikan?"
Langkah berat menuruni tangga mengalihkan perhatian mereka. Wilson muncul dengan wajah keras.
"Bukan hanya bercinta dengan pria itu. Kau bahkan sudah hamil," ucapnya dingin. Kalimat itu seperti bom yang meledak di ruang tamu.
"Apa?! Hamil?!" Zoanna hampir menjerit.
Cici pucat seketika. Tubuhnya limbung, kakinya bergetar.
"Cici, katakan sejujurnya! Apakah benar kata Wilson?!" desak Yohanes.
"Pa… aku dan Mike saling mencintai. Kami akan menikah… Pa…" suara Cici lirih dan penuh harap.
"Menikah? Kau bercanda?! Kau bahkan tidak tahu di mana pria itu sekarang!" ketus Wilson, suaranya tajam seperti bilah pisau.
Alan menoleh curiga. "Wilson, bagaimana kau bisa tahu semua ini?"
Wilson menarik napas panjang. "Kalau bukan karena aku mencurigai gerak-gerik Cici, aku takkan tahu. Aku kirim orang untuk menyelidikinya. Kakak, kau selalu percaya padanya. Mengharumkan nama keluarga? Lucu. Dia justru mencemarkan nama kita."
Semua mata tertuju pada Cici, yang kini tak sanggup menatap satu pun dari mereka. Tangisnya pecah, tubuhnya jatuh bersimpuh.
Alan menghampiri Cici yang masih berlutut di lantai dengan tubuh gemetar. Tanpa belas kasihan, ia menarik lengan adiknya dengan kasar hingga Cici sedikit terhuyung ke belakang. Sorot mata Alan tajam, penuh amarah dan kekecewaan yang tak terbendung.
“Katakan padaku,” desisnya dengan suara tertahan, “apakah kau melakukannya dalam keadaan sadar?”
Cici menggigit bibirnya, air mata jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat. Ia menunduk, tak kuasa menatap mata kakaknya.
“Kakak… aku salah. Aku minta maaf,” lirihnya dengan suara serak. “Tapi rekaman itu… aku yakin, Flower yang melakukannya! Dia yang merencanakan semua ini untuk menghancurkan aku!”
Alan mendengus marah, rahangnya mengeras. Ia melepaskan pegangan tangannya dengan kasar dan menatap Cici seperti tak mengenalinya lagi.
“Andaikan benar Flower yang melakukannya,” katanya dengan nada rendah tapi penuh tekanan, “aku, sebagai putra tertua keluarga Florencia, akan menghukumnya. Tidak peduli siapa dia, jika dia telah memalukan keluarga—dia harus bertanggung jawab.”
Ia menunduk sedikit, menatap lurus ke mata Cici yang berlinang.
“Dan kau… kau juga tidak akan terlepas dari hukuman keluarga. Nama baik keluarga ini lebih penting dari air mata dan pengakuan terlambatmu, Cici.”
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒
penasaran satu hall apakah Flower akan pergi dari Kim atau bertahan sama kim 🤨