NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 24 Pertengkaran Pertama

Suasana antara mereka berempat perlahan berubah. Setelah podcast tentang "Cerita yang Tak Pernah Kita Bagi" ditayangkan, reaksi pendengar luar biasa. Komentar masuk tanpa henti. Ada yang bilang mereka berani, ada pula yang menganggap mereka drama. Tapi yang paling mengejutkan, podcast itu viral di TikTok—cuplikan suara Juno yang berbicara tentang kehilangan tersebar luas. Banyak yang merasa tersentuh. Banyak pula yang mempertanyakan kenapa anak sekolah membicarakan hal "sebaper" itu.

"Kamu lihat video yang dipotong itu?" Raka menunjuk ponselnya pada Juno. "Mereka ngedit bagian kamu bilang ‘aku kehilangan seseorang’ tapi nggak disambungin sama konteksnya. Jadinya kelihatan kayak cari perhatian."

Juno menatap layar datar. "Biarin aja. Orang selalu potong seenaknya."

"Tapi ini jadi masalah, Jun. Kepala sekolah udah manggil aku tadi pagi. Dia bilang ini pencemaran nama baik sekolah," ujar Dita dengan nada cemas.

"Lah, yang kita omongin bukan tentang sekolah secara spesifik," Nala membela diri. "Kita ngomong tentang perasaan kita. Tentang apa yang kita alami sebagai remaja. Kalau sekolah merasa tersinggung, mungkin karena mereka tahu itu benar."

Pertengkaran pertama dimulai bukan karena mereka tidak saling percaya, tapi karena tekanan dari luar yang mulai masuk ke dalam.

Raka menghela napas panjang. "Aku ngerti tujuan kita, tapi cara penyampaian kita mungkin bikin orang salah paham."

"Terus kita harus minta maaf?" tanya Nala, suaranya meninggi.

"Nggak, tapi kita juga nggak bisa asal gas terus tanpa mikir dampaknya. Kita ini masih sekolah. Masa depan kita masih panjang," kata Raka lagi.

Juno berdiri. "Aku butuh udara."

Dia melangkah keluar tanpa menunggu reaksi yang lain. Dita menatap Raka dan Nala, wajahnya tegang.

"Kita nggak boleh pecah sekarang," ucapnya pelan.

Nala duduk lemas. "Tapi kalau udah mulai begini, aku takut semua ini berantakan."

---

Juno duduk di taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa lain. Tempat ini biasa ia datangi saat ingin sendiri. Angin sore mengusap rambutnya pelan. Di tangannya, ia memegang sketchbook yang selalu ia bawa ke mana-mana. Ia menggambar garis acak. Lalu perlahan, bentuk wajah kakaknya muncul lagi di halaman kosong itu.

“Aku benci ketika dunia luar mulai ikut campur,” gumamnya sendiri.

Dia tidak sadar Nala mendekat dari belakang.

"Kalau kamu marah, marahlah ke aku juga. Aku yang upload podcast-nya," kata Nala pelan.

Juno menggeleng. "Aku nggak marah ke siapa-siapa. Aku cuma kecewa. Bukan ke kalian, tapi ke dunia ini."

"Kita bisa atur ulang semua ini. Bikin pernyataan kalau kita cuma berbagi cerita, bukan nyerang siapa-siapa."

Juno tertawa kecil. "Lucu ya. Kita cuma ngomongin perasaan, tapi dianggap ancaman."

Nala duduk di sampingnya. "Mungkin karena mereka nggak terbiasa dengar suara kita. Biasanya kita diam, terima aja semua. Sekarang pas kita bersuara, mereka panik."

"Dan kamu nggak panik?" tanya Juno sambil menoleh.

Nala menatap langit yang mulai berwarna jingga. "Panik. Tapi aku lebih takut kalau kita berhenti. Karena artinya mereka menang."

---

Di rumah, Raka duduk sendirian di depan laptop. Ia membuka pesan dari kepala sekolah yang memintanya datang besok pagi, kali ini bersama orang tuanya. Ia tahu ini serius. Tapi ada yang lebih mengganggu pikirannya.

Seseorang anonim mengirim pesan lewat akun podcast mereka: “Kalau kalian terus begini, siap-siap aja. Ada konsekuensinya.”

Raka screenshot pesan itu dan kirim ke grup. Tapi tak ada yang langsung membalas.

Ia mengetik sendiri di catatan:

“Kami mulai ini karena ingin didengar. Tapi ternyata, didengar juga butuh keberanian. Dan kami sedang kehabisan itu.”

---

Keesokan harinya, suasana sekolah dingin. Banyak yang memperhatikan mereka, tapi tak bicara. Seolah-olah mereka jadi semacam selebriti kontroversial. Beberapa guru bahkan menyindir mereka di kelas dengan halus tapi menyakitkan.

Di ruang BK, mereka berempat duduk berdampingan. Kepala sekolah, guru BK, dan beberapa guru lainnya duduk berhadap-hadapan dengan mereka. Wajah-wajah serius mengisi ruangan kecil itu.

“Kami menghargai kreativitas kalian. Tapi sekolah ini punya nama baik yang harus dijaga,” kata kepala sekolah membuka.

"Kami tidak menyebut nama sekolah, Pak," ucap Dita sopan.

"Tapi siswa-siswa yang mendengar tahu kalian dari sini. Dan konten kalian menggiring opini negatif. Ini bukan hanya soal kalian, ini soal institusi."

"Berarti kami nggak boleh jujur karena bisa merusak citra?" tanya Juno tanpa emosi.

Guru BK memotong, "Bukan begitu, Juno. Tapi kalian juga harus belajar bertanggung jawab atas ucapan kalian."

Nala maju sedikit dari duduknya. "Kami akan tanggung jawab. Tapi kami juga punya hak untuk berbicara."

"Dengan batasan. Karena kalian masih siswa. Dan kami sebagai pendidik, harus melindungi kalian, kadang dari diri kalian sendiri," ujar kepala sekolah tegas.

Ada jeda panjang. Tidak ada yang bicara. Lalu Raka berkata pelan, "Jadi kalian lebih memilih kami diam, ya?"

Guru BK menarik napas panjang. "Kami menyarankan podcast ini dihentikan dulu sampai semester ini selesai. Fokus belajar dulu. Kalau tidak, akan ada tindakan lebih lanjut."

Keempatnya keluar ruangan dengan rasa yang bercampur: marah, bingung, takut.

Tapi satu hal jelas: ini belum selesai. Dan mereka belum mau berhenti.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!