NovelToon NovelToon
Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Romansa Fantasi / Cinta Paksa / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Bercocok tanam
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: d06

Prolog

Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.

Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18: Kunjungan ke Kamar Cedric

...✧⁠*⁠。🌷 happy reading 🌷✧⁠*⁠。...

Eleanor menghela napas, menatap tumpukan kertas di depannya dengan bosan. Rutinitas seperti ini terasa begitu asing baginya. Dia terbiasa menjalani hidup yang penuh ancaman, di mana setiap hari adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Namun, di sisi lain, ada sedikit kelegaan dalam kehidupan barunya ini. Setidaknya, dia tidak perlu terus-menerus mengkhawatirkan kapan ajal akan menjemputnya.

Sejak pagi, dia hanya sendirian di ruangan ini. Biasanya, Cedric akan berada di sini, bekerja bersamanya. Namun, menurut Brian, Cedric masih tertidur hingga sekarang. Eleanor tahu pasti alasannya—Cedric pasti minum terlalu banyak alkohol tadi malam.

Dia menatap jendela dengan tatapan kosong. Haruskah dia melihat keadaannya? Tapi untuk apa? Biarkan saja dia.

Namun, semakin dia mencoba mengabaikan pikirannya, semakin kuat rasa gelisah yang mengusik hatinya. Dia menghela napas panjang. Apakah ini rasa penasaran atau kekhawatiran?

Eleanor bangkit dari kursinya dan memutuskan untuk pergi ke dapur sebelum melihat keadaan Cedric. Dulu, ketika dia masih menjalankan misinya dan merasa kelelahan, alkohol adalah satu-satunya pelarian baginya. Dia akan minum hingga kehilangan kesadaran, berharap beban pikirannya sedikit mereda. Tapi efek samping setelahnya selalu mengerikan—sakit kepala luar biasa, tubuh lemas, dan rasa mual yang menyiksa.

Dia berpikir, mungkin Cedric merasakan hal yang sama saat ini. Jadi, dia memutuskan untuk membuat teh jahe lemon dan sup ayam. Setidaknya, itu bisa membantu meredakan pusing dan mualnya.

Setelah selesai, Eleanor membawa nampan berisi makanan dan minuman itu ke kamar Cedric. Dia berdiri di depan pintu sejenak, ragu apakah dia harus mengetuk atau langsung masuk. Tapi mengingat statusnya sebagai istrinya, dia memilih untuk masuk begitu saja.

Saat pintu terbuka, ruangan itu terasa gelap dan sunyi. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah tirai. Di atas tempat tidur, Cedric terbaring dengan mata tertutup. Wajahnya terlihat sedikit pucat, keningnya berkerut seolah sedang menahan sakit.

Eleanor mendekat, meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang. "Cedric," panggilnya pelan.

Lelaki itu menggeliat sedikit, tapi tidak membuka matanya. Eleanor menghela napas, lalu mengambil cangkir teh dan duduk di tepi ranjang.

"Bangun. Minumlah ini. Ini akan membuatmu merasa lebih baik."

Cedric hanya bergumam pelan, lalu dengan mata setengah terbuka, dia menatap Eleanor dalam diam. Tatapan itu terlihat kabur, namun ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuat Eleanor sedikit gelisah.

Tanpa banyak bicara, dia menyodorkan cangkir itu ke bibir Cedric. Lelaki itu mengerjap, lalu perlahan menerima teh tersebut dan meminumnya dalam diam.

Eleanor menatapnya dengan ekspresi datar. "Aku tidak akan merawatmu jika kau memutuskan untuk menghancurkan tubuhmu sendiri dengan alkohol."

Cedric tersenyum lemah. "Kau peduli padaku?" tanyanya dengan suara serak.

Eleanor mengalihkan pandangannya. "Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin melihat orang yang tinggal serumah denganku bertingkah seperti ini."

Cedric tertawa kecil, lalu meletakkan cangkir kosong itu kembali ke nampan.

"Apa masih pusing dan mual?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun tetap mengandung sedikit kekhawatiran.

Cedric membalik tubuhnya, kini menghadap Eleanor. Tatapannya tetap kosong, tetapi dia mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Berapa hari kau tidak tidur?" tanya Eleanor, perhatiannya kini tertuju pada lingkaran hitam di bawah mata Cedric.

Cedric terdiam sejenak sebelum menjawab, "Entahlah... aku tidak ingat."

Eleanor menghela napas panjang. "Kenapa selalu memaksakan diri, Cedric? Kau sudah makan?"

Cedric hanya menggeleng sebagai jawaban.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Eleanor mengambil sendok dan mulai menyuapkan sup ayam ke mulut Cedric. Awalnya, Cedric hanya menatapnya dengan mata sedikit melebar, tetapi Eleanor tetap bersikap tenang.

"Jangan banyak berpikir. Makan saja," ucapnya singkat.

Akhirnya, Cedric memakan separuh dari sup itu tanpa perlawanan. Namun, setelahnya, dia kembali menyandarkan kepalanya ke tempat tidur sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.

Eleanor menatapnya sejenak sebelum beranjak dari tempat duduknya. Tanpa ragu, dia naik ke ranjang dan duduk di samping Cedric.

"Geser sedikit," katanya.

Cedric menaikkan sebelah alis, tetapi tetap menurut. Begitu ada ruang, Eleanor menarik kepala Cedric dengan lembut, meletakkannya di atas pahanya.

Cedric membeku sesaat. Jantungnya berdebar tak terduga ketika merasakan kehangatan tubuh Eleanor begitu dekat.

Namun sebelum pikirannya bisa melayang terlalu jauh, Eleanor sudah mulai menyelusupkan jari-jarinya ke dalam rambutnya, memijat lembut kulit kepalanya dengan gerakan perlahan.

Cedric menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam kenyamanan yang jarang dia rasakan.

Baru kali ini ada yang memperhatikanku seperti ini... pikirnya. Bahkan orang tuanya sendiri tidak pernah memberinya perhatian seperti ini.

Tanpa sadar, tubuhnya semakin rileks, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa bisa benar-benar beristirahat.

...👑👑👑...

Eleanor menelan keluhannya, mencoba menggeser sedikit posisinya agar rasa keram di kakinya tidak semakin buruk. Namun, gerakan sekecil apa pun membuat Cedric menggumam pelan, seakan berada di ambang kesadaran. Eleanor menahan napas, menunggu sampai dia kembali terlelap.

Cahaya dari lilin yang menyala di meja samping tempat tidur memancarkan sinar temaram, memperlihatkan raut wajah Cedric yang tampak lebih damai dibandingkan biasanya. Lingkaran hitam di bawah matanya masih jelas, tanda bahwa dia telah lama kekurangan tidur.

Eleanor menatap pria itu, perasaannya campur aduk.

Kenapa aku harus melakukan ini? pikirnya. Kenapa aku harus peduli padanya?

Cedric bukan siapa-siapa baginya. Dia hanya suami dalam nama, seorang pria yang tidak pernah meminta cintanya, dan seseorang yang dia sendiri tidak tahu apakah bisa mempercayainya. Tetapi melihatnya seperti ini—terlihat begitu rapuh dalam tidurnya—Eleanor merasa ada sesuatu di dalam hatinya yang tersentuh.

Dia menghela napas panjang.

“Kenapa kau selalu menyulitkan dirimu sendiri?” gumam Eleanor pelan, jari-jarinya masih dengan lembut membelai rambut Cedric.

Tidak ada jawaban. Tentu saja tidak. Cedric sudah kembali terlelap.

Setelah beberapa saat, Eleanor akhirnya tidak tahan lagi. Rasa sakit di kakinya sudah hampir tak tertahankan. Dengan sangat hati-hati, dia mencoba mengangkat kepala Cedric dari pangkuannya, berniat memindahkannya ke bantal. Namun, begitu dia sedikit bergerak, tangan Cedric tiba-tiba terangkat dan mencengkeram pergelangan tangannya.

Mata pria itu perlahan terbuka, menatap Eleanor dengan pandangan setengah sadar.

“Jangan pergi,” suaranya serak, hampir seperti bisikan.

Eleanor membeku.

Cedric menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menarik tangannya kembali, lalu berbalik, membelakangi Eleanor.

“Kau bisa tidur di sini,” katanya, suaranya datar, tetapi ada sedikit kehangatan yang tidak pernah Eleanor dengar sebelumnya.

Eleanor menatap punggung Cedric, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Tanpa menjawab, dia hanya menghela napas pelan. Lalu, dengan hati-hati, dia berbaring di sisi ranjang, menjaga jarak.

Tidak ada kata-kata yang terucap setelahnya. Namun, malam itu, Eleanor tidak terbangun di tengah malam seperti biasanya.

Dan di luar, taman belakang yang biasanya menjadi saksi bisu kesendirian Cedric malam ini tetap sunyi, tanpa sosok pria itu di sana.

...。⁠*⁠♡🥀 thanks for reading 🥀。⁠*⁠♡...

1
Khanza Safira
Hai Aku mampir
dea febriani: hai, terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini❤️
total 1 replies
masria hanum
kak ini ceritanya bagus banget lho, cerita yang lain2 juga bagus2 semoga viewers nya makin banyak ya...

suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
dea febriani: MasyaAllah Tabarakallah, terima kasih banyak! Komentar kamu benar-benar bikin aku semangat. Semoga kamu juga selalu diberkahi dan tetap menikmati ceritaku! 💖
total 1 replies
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Sribundanya Gifran
eleanor rubahlah dirimu jgn krn cinta kau lemah, tingglkan yg tak menginginkanmu dan buatlah benteng yg kuat untuk dirimu.
lanjut up lagi thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!