Dengan kebesaran hati seorang wanita muda bernama ( Azalea 26 tahun ) yang rela menggantikan posisi adik nya sebagai pengantin di hari itu.
Ternyata kebaikan hati Azalea di balas kebencian oleh pengantin lelaki (Arta 32 tahun ) yang sudah sah menjadi suami nya itu.
Sampai di titik itu, dimana Arta sadar bahwa Azalea lah yang terbaik. Tapi apakah Azalea masih mau bersatu dengan Arta ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wanita Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19.
"Kamu pulang di antar dulu sama Boy, aku harus menemui salah satu investor lagi. " Kilah Arta yang enggan melihat Sherin terlalu lama lagi.
Sherin sempat merajuk kesal, namun itu hanya pura-pura. Bahkan ia senang jika Arta tidak mengantarnya, Sherin sudah ada janji dengan salah satu fotografer ternama.
Arta mengacak-acak mejanya, "Ahh bodoh. "
"SHINTA ! " Panggil Arta pada Sekertaris nya dengan nada sedikit tinggi.
"Saya Tuan. " Jawab Shinta yang langsung masuk ke dalam ruangan.
"Kamu dari tadi kerja apa, hah ? Ko bisa-bisanya istri saya masuk ke ruangan saat ada Sherin ! " Arta begitu muak saat itu, padahal itu bukan kesalahan Sekertaris nya.
Shinta gelagapan. " Tadi Bu Lea yang langsung menerobos masuk Tuan, "
"Aaaaaahhh .. " Arta seperti frustasi.
"Apa ada masalah Tuan ? " Tanya Shinta dengan polosnya.
"Menurut kamu bagaimana ? " Tanya balik Arta.
Shinta melihat sekitar, dan iya yakin Bos sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. " Ya ... Saya pikir semuanya baik-baik saja. Setelah saya lihat Bu Lea keluar ruangan dengan baik-baik saja. "
"Sudah-sudah, keluar kamu ! " Arta tidak mau meladeni ke polosan Sekretarisnya itu.
Shinta keluar, " Kenapa tidak nikahi saja dia duanya. "
"Shinta saya bisa dengar ! " Teriak Arta.
Shinta hanya terkekeh kecil.
Arta memutuskan untuk kembali ke apartemen untuk menemui Lea, sesampainya di apartemen Arta berlari cepat. Berharap Lea ada di apartemen itu. Namun sayang saat Arta sampai di dalam Apartemen nya Lea tidak ada di tempat.
Tidak waktu lama Lagi, Arta pun segera keluar dan segera mencari ke rumah mendiang ibunya.
Rumah besar itu adalah rumah peninggalan Ny. Leviana Monica, Arta tidak ingin keluar dari rumah itu meskipun Arta mampu memberi rumah yang lebih mewah ia enggan memberikan rumah itu pada siapapun.
"Sepertinya mereka sedang ada masalah Mah. " Ucap Atala yang melihat Arta buru buru masuk ke dalam kamarnya.
Arta menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan sebelum ia membuka pintu kamar itu, Arta terlihat tenang kala membuka pintu kamar itu.
Ada satu kelegaan di hati Arta kala melihat Lea ada di dalam kamar itu. Lea sedang duduk di sofa sambil mengutak-atik laptop pribadinya.
Lea tidak menoleh sedikitpun, ia terus sibuk pada laptopnya. Sesekali a membenarkan kacamata anti radiasinya.
Arta bersikap tenang. " Sudah ku bilang tunggu di Apartemen, kenapa tidak mendengar ? "
"Di apartemen sepi, mending di rumah ini banyak orang dan mereka memperhatikanku. " Jawab Lea dengan alasan yang cukup masuk akal.
Arta berjalan ke arah Lea, ia duduk di samping Lea.
"Tapi aku ini suami mu, kamu berhak mengikuti apa yang saya perintahkan. " Ucap Arta lembut.
Tapi Lea sedikit terpancing emosinya. " Sperti Anjing yang nurut sama Tuannya bukan ? "
Jawaban Lea berhasil membuat wajah Arta sedikit berubah. Arta memaksa wajah Lea untuk menatapnya. " Aku tidak suka di bantah, dan aku tidak suka jika seseorang ikut campur dalam urusan ku. "
"Urusan mana yang aku campuri, hah ? Urusan dengan wanita itu ? Memang aku berbuat onar apa ? apa aku menghinanya? Apa aku membuat dia sakit hati ? Bahkan aku tidak bertanya tentang dia, " Jawab Lea dengan penuh ketegasan.
Arta bukanya lebih marah, tapi ia malah membungkam mulut Lea dengan bibirnya. Sontak Lea terdiam, Lea sudah siap di tampar karna ia tahu Arta tidak suka mendengar penentang. "Kau semakin cantik jika mengekspresikan kemarahan mu itu. " Arta menyentuh halus bibir mungil Lea.
Lea jadi serba salah saat itu, ia kembali memalingkan pandangannya ke laptop. Arta menutup laptop itu dan meletakkannya di meja, setelah itu Arta membaringkan badannya lalu menjadikan paha Lea sebagai bantalan kepalanya.
Kemarahan Lea teredam seketika, Lea malah cuek dan melipatkan kedua tangannya. Arta yang tak suka itu langsung meraih tangan Lea dan meletakkannya salah satu tangan Lea di dada bidang Arta.
Lea yang merasa lelah ia sampai ketiduran, sementara Arta yang dari tadi hanya pura-pura tertidur langsung berdiri. "Dasar wanita pemarah. " Batin Arta kala dirinya mengendong lembut tubuh Lea untuk ia baringkan di atas tempat tidur.
Arta membersihkan dirinya terlebih dahulu, sungguh hati itu begitu melelahkan baginya. Ia lebih mempersingkat waktu saat berada di dalam kamar mandi, setalah mengenakan pakaian dengan perlahan ia memasuki selimut yang sama dengan Lea.
Arta memeluk Lea dengan erat, Lea terbangun dan kaget kala posisi tempat tidurnya berbeda. Arta sadar jika Lea akan pergi, namun Arta dengan sigap menarik pinggang Lea agar dekat dengannya.
"Tidur lah, jangan sampai sesuatu bangun karna kau banyak bergerak. " Bisik Arta dengan mata terpejam.
Lea pun mengikuti kemauan Arta, namun matanya enggan terpejam. Lea memandang lekat wajah suaminya itu dengan jarak yang begitu dekat bahkan deru nafas Arta sangat terasa oleh Lea.
Cairan bening mulai keluar dari sudut mata Lea, Arta yang mendengar isakan tangis membuka matanya perlahan. Arta menyunggingkan senyumannya lalu menggerakkan tangannya untuk menyeka air mata Lea. " Tidurlah, semua akan baik-baik saja. " Tutur Arta.
Kata-kata baik-baik saja yang keluar dari mulut Arta sungguh tak bisa di artikan oleh Lea.
"Kita sama-sama takut kehilangan, yakinlah semua akan baik-baik saja. " Batin Arta.
Sedangkan di luar sana Sherin dengan lihai memperlihatkan lekuk tubuhnya pada seorang fotografer ternama yang sudah berhasil membuat semua model go internasional. Tanpa memikirkan Arta Sherin terus menggoda fotografer itu.
"Kau membangunkan sesuatu Nona. " Bisik fotografer itu saat ingin memotret Sherin dengan gaya fulgar.
Sherin semakin agresif, terlebih saat fotografer itu selalu saja membuat kontak fisik pada Sherin. Beberapa jepretan sudah di ambil, "Nanti saya beri kabar jika kamu terpilih. " Fotografer itu seperti sedang bernegosiasi.
Di sela-sela Fotografer itu sedang mengutak-atik kamera andalannya, Dengan gaya menggoda Sherin mendekati fotografer itu. Sherin menyentuh punggung sampai ke dada fotografer itu. " Aku yakin akan terpilih. " Gumam Sherin menghalalkan segala cara agar bisa masuk sebagai kandidat terbaik.
Sebagai seorang laki-laki yang normal, laki-laki yang menjadi fotografer itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat laki-laki itu menikmati sensasi tubuh Sherin.
Andai Arta tahu begitu menjijikan nya Sherin, wanita berkelas tapi kehormatan ia umbar hanya karna ingin mengejar ambisinya.
Saat pagi Menjelang, Lea maupun Arta sibuk mempersiapkan diri untuk segera pergi ke kantor.
Arta sadar jika Lea tidak lagi banyak bicara setelah pertemuan dengan Sherin waktu itu, Lea yang sedang duduk di meja rias untuk memoles wajahnya tipis. Ia melihat saat ponsel Arta bergetar dan memantulkan cahaya, rupa-rupanya itu adalah sebuah pesan yang baru saja datang.
Lea membaca jelas di dinding ponsel Arta, " Sayang aku tunggu di apartemen. "
Lea memalingkan pandangannya saat Arta berjalan ke arahnya.
Arta meraih ponselnya dan melihat pesan siapa yang baru masuk, "Sherin. " batinnya.
"Kamu melihat pesan nya? " Tanya Arta pada Lea yang berusaha cuek.
Lea melirik ke arah Arta, " Tidak. " di hiasi senyuman palsu.
Arta menarik tangan Lea, saat Lea hendak pergi. "Biar saya antar. "
Lea melepaskan genggaman tangan Arta, " Tidak usah. Orang lain mungkin sedang menunggumu. "
Arta merasa bersalah.
Lea pun pergi tanpa mau menunggu Arta.
"Nak, ayo kita sarapan bersama. " Ajak Ayah mertuanya.
Lea menyunggingkan senyuman tipis di sudut bibirnya. " Tidak usah Pah, aku ada meeting dadakan. " ia pergi tanpa mau berpamitan seperti biasanya.
"Muak sekali melihat mereka, " Batin Lea.
"Sayang ? " Panggil Arta yang begitu nyaring terdengar di ruangan itu.
Lea menghentikan langkahnya dan melihat ke sumber suara.
"Ayo sayang, sarapan bersama. lagian meeting nya juga satu jam lagi kan ? Ayo sarapan dulu ! " Arta begitu hangat pada Lea.
Kaki Ayah mertua dan Ibu mertua Lea saling beradu di bawah meja makan itu, mereka memberikan isyarat yang hanya di mengerti oleh mereka sendiri.
"Mas bagaimana aku bisa sarapan jika ada dia. " Bisik kesal Lea dengan gerakan mulut yang sedikit.
Arta malah menggenggam tangan Lea, seperti sengaja memperlihatkan kemesraan mereka pada penghuni rumah yang lain.