Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku mencintaimu.
Senja mulai menyelimuti langit kota. Jingga yang menyala perlahan meredup menjadi ungu keabu-abuan, menyisakan cahaya temaram yang memantul di kaca jendela apartemen mereka. Angin petang berembus pelan dari balkon, menyusup lewat tirai yang bergoyang lembut. Namun suasana di dalam ruangan terasa jauh lebih dingin daripada udara di luar sana.
Raina duduk di ujung sofa, memeluk lututnya sendiri, memunggungi Aditya yang sejak tadi berusaha bicara. Matanya menatap kosong ke arah jendela, namun pikirannya berkecamuk hebat. Kata-kata Larasati masih terngiang jelas di telinganya, seperti gema yang tak mau reda. Tentang cinta masa lalu, tentang pelukan, tentang hubungan yang dimulai sejak masa putih abu-abu.
Sementara Aditya, berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tegap, tetapi wajahnya menyiratkan kebingungan dan penyesalan. Ia telah mencoba menyentuh bahu Raina, mengusap rambutnya, bahkan menyiapkan teh untuknya. Namun semua itu tidak cukup untuk menembus diamnya yang tajam.
"Raina..." panggilnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Tidak ada respons.
"Mas minta maaf," lanjutnya. "Bukan karena mas menyembunyikan, tapi karena mas tidak tahu harus mulai dari mana."
Raina masih membisu.
Aditya menghela napas, kemudian duduk , menghadap Raina. Ia menatap wajah istrinya dengan mata yang dalam—mata yang biasanya tegas, kini terlihat rapuh.
“Aku dan Larasati memang pernah bersama,” ucapnya akhirnya, perlahan. “Sejak SMA, hingga awal kuliah. Waktu itu kami berpisah bukan karena saling membenci, tapi karena dia memilih kariernya di luar negeri, dan meninggalkanku.”
Raina akhirnya menoleh sedikit, cukup untuk melihat sisi wajah suaminya. Matanya belum sepenuhnya lembut, tapi kini tak sekeras tadi.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita?" tanyanya lirih, nyaris seperti angin yang lewat.
Aditya menunduk sejenak. “Karena mas tidak ingin kamu membandingkan dirimu dengan siapa pun. Dan… karena mas tahu, hatiku sudah tidak tertinggal di masa lalu.”
Sunyi kembali melingkupi ruangan. Lalu Aditya melanjutkan:
“Soal pelukan yang dia maksud... itu terjadi Di apartemen.Kemarin saat mas, pergi buru-buru mendengar kabar kalau dia sakit.
Raina menghirup nafas dalam-dalam.
"Mas masih mencari tau tentangnya? itu berarti yang Larasati katakan benar, di dalam sini." Raina menunjuk dada bedank Aditya yang terbungkus kemeja kerja. "masih ada namanya," Mata Raina langsung sembab.
Aditya menggeleng.
"Bukan seperti itu, please jangan Salah paham.
Mas, hanya terlambat menyadari perasaan mas. justru di apartemen itu saat Ia memeluk mas, , mas, sadar.Tidak ada lagi namanya di hati mas, , yang tersisa bukan orangnya tapi luka yang belum pulih.
Aditya kembali menunduk.
"Dan soal rumah sakit, mas memang merawatnya. Dia masuk rumah sakit di hari yang sama dengan acara 40 harian ibu_di kampung."
"Itu sebabnya mas lebih memilih menjaganya daripada menemani Ku? " nada bicara Raina kali ini mulai meninggi.
"Maaf, mas tidak bermaksud menyakiti kamu.
Waktu itu, jujur mas masih belum yakin dengan perasaan mas.Di tambah rasa bersalah karena kecelakaan itu terjadi sehari setelah mas memberitahunya perihal pernikahan kita."
"Rain,,, maafkan mas. Mas tau ini terlalu menyakitkan untuk di dengar. Tapi percayalah hanya ada kamu di sini." Aditya menarik tangan Raina dan meletakannya di dada.
“Mas, tidak salah,” ucap Raina akhirnya, pelan. “Aku cuma merasa... aku orang terakhir yang tahu semuanya. Dan itu membuatku merasa... tidak penting.”
Aditya langsung menggenggam tangan Raina.
“Kamu adalah satu-satunya yang penting sekarang,” bisiknya. “Mas memilih kamu. Mas mencintai kamu. Bukan karena masa lalu kita sempurna, tapi karena kamu adalah masa depan mas.” pada akhirnya kalimat yang selalu di tunggu-tunggu Raina keluar dari mulut Aditya.
Raina terdiam. Ada air yang mulai menggenang di matanya, tetapi ia cepat-cepat mengedipkannya.
“Janji ya…” lirihnya. “Kalau ada apa-apa lagi, sekecil apa pun, aku mau tahu dari mas Adit. Bukan dari orang lain.”
Aditya mengangguk.
"Tapi tunggu, mas masih berhutang penjelasan sama aku, " Raina cemberut lagi, mengingat foto yang tersimpan Di dompet dan laci kamar tidur suaminya.
"Apa lagi sayang,,,, " Aditya menarik gemas pipi Raina.
Raina melirik suaminya. "Kenapa masih menyimpan fotonya di dompet dan laci tempat tidur? "
"Aku akan membakarnya sekarang, " Aditya segera berdiri, namun Raina mencekal lengannya.
"Aku ingin melakukannya dari hati bukan karena paksaan."
Aditya tersenyum.
"Foto itu memang sudah tidak layak di simpan.
terimakasih sudah diingatkan," Aditya mengacak rambut Raina.
Aditya mengangguk cepat, lalu menarik Raina ke dalam pelukannya. Kali ini, pelukan itu bukan untuk menenangkan—melainkan untuk menegaskan. Bahwa tidak peduli seberapa keras masa lalu mencoba mengusik, mereka akan tetap berdiri bersama.
Dan di luar sana, senja telah berubah menjadi malam. Tetapi di dalam ruangan itu, dua hati perlahan belajar saling memulihkan luka.
Keesokan pagi setelah salah paham di antara Raina dan Aditya terselesaikan, suasana terasa jauh lebih ringan. Matahari menyelinap masuk lewat tirai jendela kamar Raina, menyinari wajahnya yang damai. Di meja makan, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara—tanda bahwa pagi itu akan menjadi awal yang baru, bukan hanya untuk hari itu, tapi juga untuk hubungan mereka.
Aditya sudah duduk di sana, dengan senyum hangat yang jarang Raina lihat belakangan ini. Ia menoleh saat Raina muncul, rambutnya masih sedikit berantakan, tapi matanya bersinar tenang.
"Selamat pagi," kata Aditya pelan.
"Selamat pagi," jawab Raina, sedikit canggung, namun ada kelegaan di balik suaranya.
Mereka saling bertatapan sejenak, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, tak ada lagi dinding tak terlihat yang membatasi mereka. Hanya dua hati yang akhirnya memilih untuk memahami, bukan hanya menyalahkan.
"Terima kasih... karena mau dengar penjelasanku kemarin," ujar Aditya.
Raina mengangguk. "Aku juga minta maaf. Aku terlalu cepat menarik kesimpulan."
Senyum itu kembali hadir. Kali ini lebih lebar, lebih tulus. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, dan akan ada hari-hari lain di mana ego dan rasa takut kembali mengetuk. Tapi untuk pagi itu, kedamaian telah kembali.
Dan itu sudah cukup.
---
Aditya sudah siap pergi ke kantor ketika asisten setianya, Dika, datang menjemput. Mobil hitam itu berhenti di depan rumah dengan suara mesin yang halus. Raina berjalan bersama suaminya hingga ke teras, seperti yang belakangan ini menjadi kebiasaan baru mereka.
Sebelum melangkah ke mobil, Aditya menatap wajah istrinya, lalu dengan lembut mengecup keningnya—gestur kecil yang kini terasa begitu berarti. Sentuhan itu mengandung janji diam-diam: bahwa ia akan pulang, dan bahwa hatinya selalu tinggal bersama Raina, meski tubuhnya harus pergi bekerja.
Asisten Dika yang berdiri di samping pintu mobil, menyaksikan momen itu sekilas. Spontan ia mengalihkan pandangan ke arah lain, memberi ruang pada kemesraan tuannya yang kini terasa tulus, bukan sekadar formalitas. Di dalam hatinya, Dika merasa lega. Ia telah menyaksikan perubahan dalam diri Aditya—dari lelaki yang diam-diam terbebani, menjadi seseorang yang kini kembali punya tempat untuk pulang.
"Selamat pagi, Bu Raina," ucap Dika dengan sopan ketika Aditya masuk ke dalam mobil.
"Pagi, Mas Dika. Hati-hati di jalan, ya," jawab Raina dengan senyum kecil.
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah. Raina masih berdiri di teras, menatap kendaraan itu hingga menghilang di tikungan. Meski hari baru saja dimulai, hatinya sudah penuh oleh kehangatan.