PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 1
RASA Heran yang cukup membingungkan di alami oleh seorang pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda berbaju buntung warna coklat dengan celana warna putih kusam berikat pinggang warna merah itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting. Sambil pegangi tali bumbung tuak nya yang terbuat dari bambu sepanjang satu depa itu,Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan pandangi alam sekelilingnya.
"Aneh," gumamnya dalam hati,
"mengapa aku jadi menuju ke lereng gunung itu? Bukankah tujuan ku adalah ke balik gunung seberang sana,ke pondoknya si Kusir Hantu?! Yang dinamakan lembah seram itu? Bukankah aku ingin jumpa dengan si Tenda Biru ,Panji Klobot , dan kedua cucu Kusir Hantu yang cantik-cantik itu; Pematang Hati dan Mahligai Sukma?! Tapi?!"
Suto Sinting hentikan celoteh batinnya sebentar. Matanya tertuju pada sebuah Gua yang ada di balik bebatuan besar, Tepat di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan berdaun seperti daun beringin itu. Di depan gua tersebut terdapat pula sepotong kayu yang menyerupai papan penunjuk jalan. Tertarik dengan papan di atas tiang dari dahan pohon kering yang lurus itu, Suto Sinting segera membatin,
"Ada tulisan apa di papan itu?! Aneh sekali. Hatiku jadi tertarik untuk mengetahuinya?! Lereng gunung ini benar-benar mendatangkan keanehan bagiku. Sepertinya aku dituntun oleh sesuatu untuk menuju kemari."
Papan yang ada di atas sebuah tiang itu bagian salah satu sisinya berbentuk runcing, seperti tanda panah yang mengarah ke mulut gua. Di papan itu terdapat tulisan tangan dari getah yang telah mengering dan berwarna abu-abu. Tulisan itu berbunyi; "YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK" . mau tak mau senyum geli Suto Sinting pun mengembang tipis.
"Pasti ini kerjaan orang iseng," ujar Suto dalam hatinya.
Sebenarnya Pemuda bertubuh gagah, Kekar dan tampak jantan sekali walau tanpa kumis sehelai pun itu ingin tak pedulikan tulisan yang seolah-olah melarang orang masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi tiba-tiba hatinya merasa ingin sekali masuk ke dalam gua. Rasa ingin masuk kedalam gua itu timbulkan kegelisahan dan keresahan yang menambah nya merasa heran.
"Mengapa aku penasaran sekali ingin masuk ke dalam gua itu?! Ah menurut dugaan ku tak ada yang istimewa di dalam gua tersebut. Tetapi hati kecilku seakan mengharuskan aku masuk ke depan gua.bahkan rasa penasaran ini mendesakku dengan kuat?! Hmmm.... baiklah akan ku coba masuk ke sana daripada nanti tak bisa tidur karena rasa penasaranku ini"
Gua tersebut mempunyai lorong membelok ke kiri. Dari mulut gua ke tikungan lorong tak terlalu jauh, sekitar delapan langkah, tikungan itu terlihat jelas karena ada bias cahaya yang samar-samar. Cahaya itu berasal dari kedalaman lorong tersebut.
Pendekar mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lebih dulu. Tindakan itu dimaksudkan sebagai sikap jaga-jaga kalau sampai ada sesuatu yang membahayakan dirinya, Dapat segera ditangkal oleh tuak sakti yang baru saja di minum nya itu.
"Oh, ternyata bias cahaya ini semakin terang jika aku membelok ke kiri?!" Gumam hati si murid sinting Gila Tuak itu.
Maka ia pun melangkah menyusuri lorong yang ujungnya membelok ke kiri . Semakin dalam, bias cahaya yang ada semakin lebih terang lagi. Akhirnya pemuda berhidung Bangir dengan kulit warna sawo matang itu tiba di sebuah ruangan yang terang. Ruangan itu ternyata ujung dari lorong gua. Tak ada lorong lagi di sekitar ruangan lebar berlangit-langit tinggi itu.
Langkah yang terhenti ternyata di barengi oleh sepasang mata yang membelalak lebar. Pendekar mabuk terperangah saat pertama kali temukan ruangan lebar tersebut. Ternyata ruangan itu mempunyai puluhan lilin yang dipasang di sana-sini, terutama pada ujung-ujung bebatuan yang makin merapat ke dinding semakin berbentuk tinggi menyerupai pilar.
Bau lilin panas tidak seperti bau lilin terbakar biasanya. Bau lilin itu menyebarkan aroma yang aneh, semacam rempah-rempah yang lembut sedikit berbau kayu Cendana. Lilin itu berwarna merah besarnya seukuran dengan besar cangkir teh. Tingginya satu jengkal, tapi mungkin sebelum meleleh mempunyai ketinggian lebih dari satu jengkal,karena bagian dasar tiap lilin penuh dengan gumpalan lilin yang meleleh, jumlah lilin tersebut lebih dari dua puluh batang. Nyala apinya tampak tenang, tidak terganggu hembusan angin.
Hal yang membuat Suto Sinting terperangah lebih lebar lagi adalah sosok Tua yang duduk di atas batu di kelilingi oleh lilin-lilin tersebut. Sosok lelaki tua itu duduk bersila dengan mata terpejam. Ia mengenakan kain putih yang menyelubungi tubuh kurusnya.
"Siapa kakek yang duduk di sana itu?" Tanya hati sang pendekar mabuk. Ia belum berani melangkah karena takut terkena jebakan. Matanya memandang sekeliling sebentar, memeriksa tempat itu demi keselamatan jiwanya.
Kakek berpakaian putih itu mempunyai rambut tipis warna putih, bahkan berkesan botak karena rambut nya bisa di hitung. Suto memperkirakan rambut itu hanya delapan belas lembar. Tetapi kumis dan jenggotnya lebat, juga berwarna putih rata. Dalam perkiraan Suto,kakek itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Bahkan bisa lebih dari delapan puluh tahun.
Dilihat dari sikapnya duduk bersila nya yang memejamkan mata dan kedua tangannya ada di dada saling merapatkan telapak tangan, Suto Sinting yakin si kakek tua itu pasti sedang bertapa. Oleh sebab itu, Suto Sinting tak berani menganggunya, Tengkuk Kepala yang merinding seperti ditiup perawan itu membuat Pendekar mabuk segera undurkan langkah. Ia bermaksud keluar dari gua tersebut dengan mata masih pandangi si Petapa tua itu.
Tetapi ketika ia Balikan badan untuk melanjutkan langkah keluar gua, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang berseru kepadanya dengan nada datar. Suara itu tak lain adalah suara si Petapa tua.
"Jangan pergi dulu, anak muda!"
Pendekar mabuk kaget. Lalu berpaling pelan-pelan dan menatap si Petapa tua itu. Hatinya seperti ditendang seekor kuda saat itu merasa terkejut melihat si Petapa tua membuka mata. Ternyata bola mata si petapa tua itu berwarna putih seluruh nya. Tak mempunyai manik hitam di tengah Masing-masing bola matanya.
"Apakah dia buta?!" tanya Suto dalam hati, Karena ia sering jumpai orang buta yang bisa membuka kelopak mata, tapi pada masing-masing bola mata nya tak mempunyai manik hitam seperti manusia normal.
"Dari jauh Kupanggil dirimu, mengapa setelah sampai dirimu akan tinggalkan daku, anak muda?"
Pendekar mabuk ingin tertawa mendengar gaya bahasa yang di gunakan oleh si petapa tua itu. Terdengar janggal, atau berkesan jenaka. Tetapi wajah si Petapa tua itu tidak punya senyum seujung jarum pun. Matanya yang putih menatap lurus ke dinding seberang nya, bukan ke arah Suto. maka hati Pendekar tampan itu bertanya-tanya, akhirnya pertanyaan itu di lontarkan melalui Mulutnya dengan lembut dan sopan.
"Apakah kau bicara denganku. Eyang?"
"Mana mungkin aku bicara dengan batu-batu ini, Anak muda?!"
Suto Sinting hanya tersenyum dalam hati, menertawakan pertanyaan bodohnya. Tentu saja Petapa tua itu bicara dengannya karena di sekitar tempat itu tak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Mendekatlah kemari, Anak muda. Jangan takut, aku tidak akan menggigitmu."
Kali ini si Petapa tua sunggingkan senyum berkesan ramah dan bersahabat. Ketegangan hati Pendekar Mabuk mengendur. Mata putih si Petapa tua itu mengarah kepada Suto. Murid sinting si gila tuak itu merasa dipandang oleh Petapa tua dan benar-benar diharapkan untuk mendekatinya. Maka dengan langkah hati-hati tapi sikap gagahnya masih tampak jelas, Pendekar mabuk pun mendekat. Melewati jajaran lilin-lilin merah yang seperti membentuk pagar sebuah jalan setapak itu.
☺🙏💪
mampir yaaa