NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Artha sempat menahan napas ketika wajah Naira begitu dekat dengannya. Embusan napas hangat dari bibir yang sedikit terbuka itu menerpa ringan wajahnya. Saat dia hendak mengangkat kepala Naira, berusaha sepelan mungkin memindahkan tangannya, suara gadis itu mengurungkan niatnya.

"Jangan pergi!" kata Naira lirih. Mulutnya bicara, tetapi mata masih dalam kondisi memejam.

Artha termenung dengan posisi yang sama, membiarkan kepala Naira tidur miring dengan lengannya dijadikan bantalan. Dia mendadak tak tega jika harus membangunkan tidur lelap gadis itu.

"Kumohon! Jangan tingglin aku Arthan...." Lagi, Artha mendengar Naira bergumam lirih. Dari alam bawah sadar, Naira bahkan takut sendiri.

"Mama," imbuhnya lagi.

Artha turut naik ke atas ranjang, menjulurkan kedua kaki ke depan, bersisian dengan kaki Naira. Gadis itu semakin merapat, seakan-akan mencari kehangatan pada tubuh yang sedang berbaring miring di depannya.

"Sssssshhh!" Bibir Artha mendesis ringan ketika wajah Naira bertabrakan dengan dadanya. Lengannya sudah tak lagi menjadi tumpuan kepala Naira, tetapi ada hal lain yang malah membuatnya tak bisa banyak bergerak.

"Nai!" bisiknya lirih. Bukannya Artha keberatan kalau harus berdekatan seperti ini. Namun, mengingat Naira selalu berpikiran buruk tentangnya, dia takut posisi mereka yang seperti ini malah disalah artikan oleh gadis itu.

Namun, tampaknya Naira sudah teramat lelah. Bisikan lirih di telinga tak mampu menembus alam bawah sadarnya.

Saat melihat kuncir rambut masih terpasang pada rambut panjang Naira, tangan Artha melepaskannya, membebaskan rambut hitam itu agar lebih menyamankan tidur si pemiliknya. Setiap helaian rambut yang menerpa permukaan telapak tangan terasa lembut dan halus. Tanpa sadar Artha menyisir rambut itu perlahan menggunakan jemarinya dengan gerakan teratur berulang kali. Aroma sampo pada rambut Naira yang juga sempat dipakai olehnya tadi pagi terasa lebih wangi ketika terendus oleh indra penciuman.

Aneh. Dia menyukainya. Menyukai posisi seperti ini, seakan-akan membawa seseorang dalam perlindungannya tanpa terkecuali. Padahal antara dirinya dan Naira tidak ada perasaan apa pun. Sayangnya berada di posisi seperi ini lebih lama membuat Artha malah tak bisa tidur. Bukan dirinya merasa tak nyaman, melainkan ini terlalu berbahaya jika diteruskan.

Okey. Usia Artha memang masih delapan belas tahun, tetapi bukan berarti dirinya masih anak-anak. Siapa yang akan tahan tidur seranjang dengan seorang wanita. Apalagi tidak dapat dipungkiri jika paras Naira juga termasuk lumayan. Bentuk tubuhnya juga body goal. Seorang mantan atlet voli, pastilah lebih berisi dan terawat. Dan itu bisa dirasakan Artha ketika gadis itu merapatkan tubuh ke arahnya.

"Gue bisa gila lama-lama!" gumam Artha, menghentikan gerakan tangannya mengusap rambut Naira.

Begitu hati-hati dirinya beranjak dari pembaringan, menarik selimut untuk ditutupkan pada tubuh gadis itu yang tampak meringkuk mencari kehangatan.

"Good night!" bisik Artha di telinga Naira, mengusap pelan kepala gadis itu yang matanya terpejam rapat. Lampu tidur dinyalakan, sementara lampu utama dimatikan. Artha gegas keluar dari ruangan itu sebelum akhirnya menutup pintu.

Kini, matanya tertuju pada meja belajar Naira. Mereka satu kelas, tetapi Artha tak ingat jika ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sehingga membuatnya tertarik dengan apa yang baru saja dikerjakan oleh Naira.

Menarik kursi untuk diduduki, Artha memperhatikan buku tugas Naira. Banyak coretan-coretan kecil yang sengaja ditujukan untuknya. Artha hanya terkekeh kecil. Tampaknya, hari ini Naira benar-benar kesal terhadapnya.

Hanya dalam hitungan sepuluh menit, soal yang sejak tadi menguras otak Naira selesai dikerjakan Artha. Dia mengeliatkan badan. Rasa kantuk juga turut menyerang. Matanya menengadah, menatap jam kecil yang bertengger di atas dinding. Sudah hampir pukul satu dini hari. Masih ada waktu untuk beristirahat sebelum pagi menjelang.

****

Azan Subuh berkumandang membangunkan tidur lelap Naira. Tangan membuka selimut yang membalut tubuhnya. Matanya mengerjap, memandang langit-langit kamar yang masih tampak remang-remang karena terbiasa dengan cahaya kecil pada lampu tidur. Saat itu juga mata Naira membulat penuh begitu menyadari apa yang terjadi semalam. Bukannya dia ketiduran di meja belajar? Astaga! PR-nya belum selesai dikerjakan!

Segera dia membuang selimut, beranjak dari duduk. Namun, raga yang belum sepenuhnya terkumpul justru membuatnya menabarak pintu kamar.

"Auhh!" keluhnya sembari mengusap jidat yang terbentur. Dengan hati dongkol, Naira membuka pintu, lantas keluar kamar demi memeriksa PR yang sempat ditinggalkannya.

Lampu ruang tamu dinyalakan, melihat meja belajar sudah rapi dengan semua buku dalam kondisi tertutup. Peralatan tulis pun juga sudah dibereskan. Aneh sekali. Pandangannya tertuju pada sosok yang sedang tidur di kasur lantai berselimutkan jaket.

"Artha! Dia udah balik? Atau jangan-jangan ...."

Naira mendekat pada Artha, berlutut di sana, mengguncang bahu lelaki itu untuk membangunkannya.

"Ta, lo kapan balik?" tanya Naira dengan beberapa kali mengguncang bahu lelaki itu.

Artha tak menjawab. Matanya masih memejam, seakan-akan sangat berat untuk sekadar membuka.

"Ta, lo denger gue nggak, sih?"

Naira mengembuskan napas. Tampaknya Artha tak kunjung bangun sehinga dia berakhir menyerah.

"Lo nyebelin banget, sih!"

Naira hanya penasaran, apakah semalam yang memindahkan dirinya ke kamar adalah ... Artha? Wajahnya seketika bersemu, tampak malu jika itu semua benar terjadi.

Mengabaikan Artha yang masih lelap dalam mimpi, Naira masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap melakukan salat Subuh. Dinginnya udara pagi tak menyurutkan niatnya menjalani rutinitas sesuai didikan kedua orang tua. Sekitar sepuluh menit berada di kamar mandi sekaligus buang hajat, Naira keluar dengan tubuh yang sudah bersih. Mengambil wudhu setelahnya. Namun, baru saja dia berbalik, seseorang yang tiba-tiba berada di belakang mengejutkannya.

"Artha!" sentak Naira begitu terkejut.

Artha terkekeh. Dia kemudian memukul lengan Naira yang basah karena air wudhu.

"Ta, gue baru wudhu. Lo ngeselin amat!" teriak Naira saat hendak membalas Artha dengan pukulan. Namun, lelaki itu keburu masuk ke dalam kamar mandi.

“Tinggal wudhu lagi, Nai! Gak usah marah-marah."

Naira tampaknya sudah termat kesal. Dia menggebrak pintu kamar mandi, menciptakan suara berisik di dalamnya.

"Lo beneran nyari perkara, ya!"

"Udah, Nai. Jangan marah-marah. Tar darah tinggi lo kumat." Semakin menyebebalkan jawaban Artha.

“Cih!" Satu pukulan di pintu mengakhiri semuanya. Naira memilih untuk mengulangi wudhu-nya daripada berdebat dengan Artha. Nyatanya lelaki itu lebih pandai bicara daripada dirinya yang perempuan.

"Harusnya lo jadi cewek. Pinter banget ngeles!" kata Naira sengaja menyindir.

Bukannnya marah, Artha malah melanjutkan perdebatan.

"Gue jadi cewek, banyak pangeran ngantri, Nai!"

Sungguh, Artha terlampau narsis menurut Naira. Tak ingin membuang tenaga dengan berulang kali berdebat dengan Artha, Naira menjauh dari sana, berniat salat Subuh sebelum melanjutkan rutinitas membuat sarapan.

Baru saja Naira menggelar sajadah, Artha sudah keluar dari kamar mandi.

"Nai, barengan, yuk!"

Naira menatap wajah basah yang sedang menatapnya. Dia awalnya ragu menyetujui, tetapi kemudian kepalanya mengangguk.

"Buruan! Gue belum masak," kata Naira kemudian.

"Iya, lo nafsu banget ngajak buru-buru!" Artha berlalu mengambil wudhu setelah mengatakannya.

Menyebalkan sekali, bukan? Naira bahkan tak sempat membela diri dengan tuduhan Artha. Kini kedua remaja yang sudah sah menjadi pasangan suami istri telah berada pada di ruang tamu sembari menggelar sajadah. Artha menjadi imam, sementara Naira berdiri di belakangnya sebagai makmum. Suasana menjadi hikmat ketika Artha mulai membacakan ayat-ayat suci. Rupanya selama ini Naira salah sangka. Artha bukanlah cowok nakal yang hanya mengerti tawuran dan balapan, selalu membuat masalah bagi kedua orang tua. Artha yang berada di depannya tampak berbeda. Suaranya cukup merdu. Bacaannya pun lumayan fasih. Sungguh, jika dihadapkan dengan sosok Artha yang sekarang, Naira merasa tidak percaya jika ini benar-benar Artha yang biasa bertengkar dengannya.

Sampai gerakan terakhir, yaitu salam. Naira mendadak tidak fokus dengan bacaannya. Pikirannya hanya bingung dengan perubahan Artha. Mengapa dalam sekejap lelaki itu berubah menjadi malaikat? Padahal beberapa menit lalu, dia masih seperti setan pengganggu kedamaian umat manusia. Termasuk membuat Naira mengulang wudhu-nya.

"Lo nggak sakit, kan, Ta?" tanya Naira setelah melipat mukena.

"Kepala lo semalem nggak habis kejedot, kan?"

Artha berbalik, menatap Naira yang masih duduk di belakangnya. Matanya tertuju pada kening kemerahan Naira.

"Lo ngatain diri lo sendiri?"

"Hah?"

"Jidat lo kenapa? Perasaan semalam nggak gitu?" tanya Artha sembari memencet kening merah Naira.

"Auuh!" Naira segera menepis telunjuk Artha.

"Sakit tahu!" Dia mengusap-usap pelan keningnya.

"Kebentur pas buka pintu." kata Naira menjelaskan.

"Dasar ceroboh! Lo sama sekali nggak bisa jaga diri, ya, Nai! Semalam kalau gue nggak ke sini, pintu lo nggak terkunci. Gimana kalau ada maling masuk, terus lo diapa-apain? Lo nggak takut apa kalau tiba-tiba rumah lo kemalingan?" Artha menggeleng pelan. Matanya menatap lurus nan tajam, seperti seorang ayah yang sedang memarahi anaknya.

"Apanya yang mau dicuri? Gue enggak punya duit."

Artha mengembuskan napas kasar. Sebenarnya perkataan Naira yang teramat jujur ingin membuatnya tertawa. Namun, jelas saja dia berusaha menahannya. Gengsi kan kalau marah sambil tertawa?

"Kalau lo diperkosa, gimana? Lo tahu di luaran sana banyak orang jahat. Gue bisa kena amuk Nyokap kalau lo kenapa-kenapa."

Naira memiringkan kepala, meletakan mukena yang sudah dilipat di atas pangkuan.

"Lo semalem nggendong gue?" tanya Naira tiba-tiba.

"Apa?"

"Ya ... gue hanya nanya. Lo yang mindahin gue dari meja belajar ke kamar?" Artha terdiam. Bibirnya urung mengatakan sepatah kata. Mana mungkin dia mengaku hal yang akan membuat Naira besar kepala?

"Gue? Ngegendong lo? Mustahil lah. Kalau nyeret lo, sih, mungkin," katanya tanpa perasaan.

Bukanya marah seperti biasanya, Naira malah memperjelas kalimat Artha.

"Sungguh? Bukan lo yang mindahin gue?" Naira menatap lekat wajah Artha. Ditatap seperti itu membuat Artha menjadi salah tingkah.

Tunggu! Seorang Artha bisa salah tingkah di depan Naira? Ini keajaiban.

"Bukanlah! Jangan Ge-Er! Mungkin jidat lo terlalu keras tadi kebenturnya, makanya ngigau gini." Artha beranjak dari sajadah, membereskan benda persegi panjang itu untuk kemudian dilipat.

"Ta!" Panggilan Naira menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar mencari udara segar. Dia berbalik, menghadap gadis yang masih duduk di atas sajadah.

"Thanks buat yang semalem."

Artha mematung di tempat, seakan-akan kakinya tertancap pada lantai berubin putih itu, tak mampu beranjak.

Jangan sampai Naira menyadari apa yang dirinya lakukan semalam, membelai-belai rambut gadis itu, dan sesekali mengendus aroma sampo yang terasa harum menyenangkan.

Melihat perubahan ekspresi Artha, Naira tergelak. Dia tertawa terbahak tanpa sadar.

"Gue bercanda. Nggak mungkin juga lo ngegendong gue, kan? Itu mustahil." Kepalanya menggeleng pelan.

"Tapi ... masak gue tidur sambil jalan, sih?" Tangannya menggaruk kepala yang mendadak gatal tanpa sebab.

"Gue jadi bingung," kata Naira melanjutkan.

"Udah, nggak usah dipikirin. Buruan, masak sana! Keburu siang." Artha mengingatkan.

"Gue mau lanjut jogging!"

Naira mengangguk, tak lagi mempermasalahkan apa yang sudah terjadi semalam.

****

Seperti biasanya, Artha berangkat bersama Naira. Tentu hal itu tak luput dari perhatian banyak siswa. Terutama siswa perempuan. Banyak sekali yang menyayangkan kedekatan Artha dan Naira, menganggap gadis itu bagai punguk merindukan bulan. Naira hanya sedang mujur saja karena Artha berbaik hati memberi tumpangan. Sebab setiap ada yang menanyakan ke mana motornya berada, Naira beralasan sedang diperbaiki. Itu pun atas usulan Artha.

"Alesan aja kan lo supaya Artha mau ngasih lo tumpangan," celetuk salah seorang temannya yang iri akan keberuntungan Naira.

Naira hanya menanggapi dengan helaan napas berat. Dia sendiri sebenarnya ingin motornya kembali. Dia merasa lebih leluasa bila membawa motor sendiri dari pada ke mana-mana diantar oleh Artha.

Namun, ada enaknya juga saat Artha bersamanya, Naira jauh lebih hemat, terutama soal pengeluaran biaya makan serta uang bensin karena Artha sering kali mentraktirnya.

Hari ini waktunya pelajaran olahraga. Pak Taufik, pria berusia sekitar empat puluhan menjadi guru pembimbing pelajaran tersebut. Semua siswa melakukan pemanasan yang kemudian akan dilanjutkan dengan pelajaran inti sesuai materi. Semua anak berkumpul membentuk satu barisan usai menyelesaikan pemanasan. Sementara itu, Pak Taufik memberi arahan untuk pelajaran selanjutnya.

"Baiklah, bulan depan ada pertandingan voli antar sekolah. Bapak hari ini akan memilih peserta yang akan mewakili tim voli kita."

"Wuuuh!" Terdengar tepukan tangan oleh para siswa laki-laki.

"Tenang dulu! Untuk mengetahui kemampuan setiap siswa, Bapak akan mengadakan pertandingan. Kita bagi tim pria dan wanita menjadi empat regu. Semua siswa kebagian. Tanpa terkecuali."

"Tapi, Pak, murid sekelas itu jumlahnya ganjil. Jadi tidak mungkin jika semua bisa kebagian." Thalita mengangkat tangan sambil mengutarakan pendapat.

"Bapak yang mengatur. Bukan kamu!"

"Huuuuuu!" Anak laki-laki bersorak pada Thalita, yang langsung ditanggapi dengan bibir cemberut.

"Okey, persiapkan barisan. Karena jumlah murid laki-lak dan perempuan tidak berimbang, jadi untuk kelompoknya bebas," kata Pak Taufik menjelaskan.

Wajah semua anak mendadak cerah. Ada seorang yang menjadi sasaran utama, yaitu Artha. Sebelum ada yang mengajak Artha bergabung, tentu Thalita mendahului. Begitu Pak Taufik memerintahkan berbaris sesuai kelompok, buru-buru Thalita berdiri di samping Artha.

"Kita setim lagi," kata Thalita seraya menunjukkan senyum ceria pada Artha.

"Sangat kebetulan, ya?" Artha sengaja bicara sarkas, padahal lelaki itu tahu benar jika Thalita memang sudah mengincarnya sejak awal.

"Mungkin jodoh!" Thalita menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Tampaknya sindiran pun tak mempan dibuatnya. Dia malah membanggakan diri. Benar-benar urat malu sudah putus.

Kelompok selesai dibuat. Kebetulan juga Naira tidak segrup dengan Artha. Bahkan, tim Naira justru akan berseberangan, melawan tim Artha.

"Okey, pertandingan dimulai!" Suara peluit ditiup kencang setelah ditentukan siapa pemilik serve pertama. Tim Naira mendapat keberuntungan itu, melakukan serve ke arah lawan.

"Gue aja yang serve!" Sinta, teman sebangku Thalita mendahului Naira. Dia kebetulan sekali menjadi lawan Thalita, justru satu tim dengan Naira.

"Lo di depan!" katanya memerintah.

Melihat Naira yang biasanya terabaikan di bidang apa pun, Sinta mempunyai pemikiran untuk mengerjai gadis itu. Bukan mudah menjadi seorang Spinker, yaitu berada di garis depan untuk menghadang smash dari lawan, juga sebagai pengeksekusi. Andai Naira tak mampu melakukannya dengan baik, dia akan tertawa cukup puas demi mempermalukan gadis itu. Pasti Thalita akan berterima kasih kepadanya.

Naira hanya mengangguk mengiakan, tak ingin banyak berdebat. Di mana pun posisinya, dia dengan senang hati menerima.

Sinta mulai melakukan serve. Lumayan kencang serve yang dilakukan, tetapi cukup tanggung. Bola dengan mudah diblock oleh tim lawan sehingga menghasilkan satu poin.

"Lo gimana, sih? Bisa becus nggak main?" kata Sinta memperingatkan Naira karena tak mampu menghadang smash dari lawan.

"Harusnya gue yang nngomong gitu. Lo bisa serve enggak, sih!" Naira tak diam begitu saja dimarahi. Dia cukup berani membalas perkataan Sinta. Namun, Dimas yang menjadi Libero menengahi perdebatan tersebut.

"Udah, cukup! Kita bisa kalah jika sesama tim saja tidak bisa kompak."

“Dia yang mulai!" Sinta melotot kesal. Naira hanya menggeleng pelan, berusaha tetap waras karena memiliki tim yang tidak menyukainya.

"Kalau tim ini kalah, itu artinya lo yang nggak becus main!" ucap Sinta memperingatkan.

Pertandingan dimulai kembali. Kini Thalita yang melakukan serve. Ternyata gadis itu memang pandai dalam segala hal. Buktinya serve yang dilakukan cukup baik sehingga menghasilkan rally-rally panjang, sangat sulit dieksekusi untuk menghasilkan smash. Beberapa kali mencoba melakukan pukulan agar tim Naira tak bisa menyentuh, tetapi tak bisa dilakukan.

Pak Taufik mencatat setiap gerakan para sidwa yang mengerjakan tugas dan posisinya dengan baik. Satu per satu poin diperoleh. Pukulan Artha beberapa kali menghasilkan poin, dan tentu hal itu tidak berlangsung lama karena tim Naira pun tak mau kalah.

Saat pukulan yang dilakukan oleh Thalita menukik, itulah giliran Naira menunjukkan kebolehannya. Naira melompat, menggerakkan tangan ke atas. Dengan sangat indah dan lincah, bahkan membuat semua orang tercengang, gadis itu bisa melakukan gerakan jumping smash, mencetak satu angka dengan sangat sempurna.

"Wuuuuuh!" Suara sorakan dan tepuk tangan membahana. Banyak yang terkejut dan terpukau. Seorang Naira yang biasanya tak pernah terlihat kemampuannnya bisa melakukan gerakan seindah itu. Bahkan, Thalita yang dianggap bisa menaklukkan segala hal tak sanggup mengimbangi Naira di depan net.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!