"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kita Pernah Bersama
...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...
Tangan Maisie mencengkeram pergelangan tanganku, sampai rasanya seperti ingin mengelupas kulitku dengan kukunya.
Lavinia berdiri diam di depan pintu penginapan.
Maisie adalah saudara tiriku, sekaligus pemilik tempat ini. Tadi, waktu aku tiba di sini, dia langsung keluar dan menyuruhku pulang.
Baru saja aku mengantarkan Naomi pulang ke rumahnya. Dan dia jelas-jelas memberi sinyal agar aku menginap di tempatnya. Tapi, aku cuma mengantar Naomi sampai depan pintu, mengucapkan selamat malam, lalu pergi.
Niat awalnya sih, mau langsung pulang. Tapi entah kenapa, mobilku malah membelok sendiri ke arah penginapan ini.
"Eh, Lavinia," ujar Maisie sambil masih menggenggam tanganku kuat-kuat. "Kamu butuh apa?"
Lavinia mengangguk pelan. Mata kami saling bertemu di bawah cahaya remang-remang lampu parkiran.
"Enggak. Aku cuma mau nenangin kepala."
"Mama kamu mana?" tanya Maisie.
"Udah mau tidur," jawab Lavinia sambil merapatkan jaket dan mengatur posisi berdirinya.
"Ernest, kamu bisa ngobrol sebentar?" Suaranya bergetar, pelan banget sampai aku hampir enggak mengenalinya.
Aku melepaskan tanganku dari cengkeraman Maisie, lalu melangkah ke arah Lavinia.
"Ayo."
"Ernest!!!" ketus Maisie.
Tapi aku cuma mengangkat tangan dan berkata santai, "Hidup-hidup aku, kok."
Maisie diam saja. Lavinia menoleh dan tersenyum sedikit ke arahnya, teman dekatnya dulu. Maisie hanya satu tahun lebih tua dari kami. Dulu waktu aku dan Lavinia pacaran semasa SMA, kami berempat sering nongkrong bareng di basement rumah orang tuaku. Aku jadi berpikir, Lavinia masih ingat enggak ya, masa-masa itu?
"Tolong jangan bikin aku harus bentuk tim SAR. Jangan kabur, kalian, ya?" kata Maisie begitu kami mulai berjalan.
"Santai. Aku balikin dia sejam lagi," jawabku.
"SEJAM?!" teriak Maisie.
Tapi aku sudah enggak terlalu peduli. Fokusku sekarang ini adalah, aku sedang berjalan ke arah dermaga, dengan Lavinia di sampingku. Aneh. Sudah lama enggak bertemu, tapi rasanya seperti biasa saja. Tapi ... ya tetap saja aneh.
Lavinia menatap sekitar, menikmati suasana malam yang mulai sepi. Besok hari pertama libur panjang. Jadi Palomino, kota kecil kami, pasti bakal ramai. Tapi daerah dekat penginapan ini cukup tenang. Sepertinya orang-orang pada berkumpul di alun-alun, karena ada festival malam.
Kami menemukan tempat duduk di batu-batu besar di pinggir pantai, lalu duduk bersama. Aku mengambil batu kecil dan melemparkannya ke laut, agar tangan ini ada kerjaan. Daripada nanti nekat meraba-raba dia.
Aku enggak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya aku asal ceplos, "Kalau besok aku mati, fix Mama kamu yang bunuh aku."
"Emang Mama aku sebenci itu, ya sama kamu?" Lavinia duduk di sampingku, ikut melempar batu ke air.
Aku menengadah cahaya bulan yang jatuh ke wajahnya. Mengingatkanku pada malam-malam camping kita waktu di gunung dulu, saat kami menatap bintang sambil bercumbu mesra.
Aku pejamkan mata sebentar. Semua itu tinggallah kenangan. Kami bukan lagi pasangan lebay yang percaya cinta bisa mengalahkan segalanya. Sekarang aku sadar, semua itu cuma dongeng.
"Kamu ingat apa aja?" tanyaku pelan.
Aku enggak benar-benar paham soal amnesia, kecuali dari film. Seperti drakor yang pernah dia tunjukan, yang ceweknya koma, lalu terbangun dan diberi tahu kalau dia sudah punya tunangan. Tapi ternyata si cewek malah jatuh cinta sama kakaknya sendiri.
Gila, sih.
"Awalnya aku enggak ingat apa-apa. Nama sendiri aja lupa. Tapi pas lihat Papa dan Mama, aku mulai ingat mereka siapa. Mereka pikir ingatanku bakal kembali pelan-pelan. Tapi nyatanya, enggak ada perubahan!"
"Jadi kamu lupa sama aku, dong?"
"Kayaknya, sih gitu," ucapnya pelan. "Aku ingat mereka orang tuaku, tapi sisanya ... kosong. Baru waktu lihat kamu, aku sedikit ingat, kamu suamiku."
"Mantan suami!!" ketusku, sampai-sampai bahunya langsung merosot.
"Boleh aku tahu, kita kenapa? Kita putus karena kamu selingkuh, ya?"
Aku tertawa, terbahak.
Iya, kan?
Pasti aku yang disalahkan. Sakit, sih. Tapi aku sudah terbiasa.
"Aku enggak pernah selingkuh, Lavinia. Kamu aja yang ninggalin aku."
"Kenapa?" Keningnya berkerut, bingung. "Kenapa aku ninggalin kamu? Apa aku sejahat itu?"
Dalam hati aku mengumpat, “Kenapa sih aku harus melewati drama ini lagi? Saat aku sudah mulai pulih, aku malah harus mengorek luka lama lagi.”
Aku menatap laut, memandangi kapal-kapal nelayan di kejauhan. Kadang aku ingin menceburkan diri ke sana, menghilang, lalu ikut berlayar sampai lupa daratan.
Aku angkat bahu, sok santai padahal hatiku hancur. "Kamu bilang kamu mau hidup sendiri. Kamu bilang kalau kamu udah enggak bahagia lagi."
"Ohhh," paraunya, terdengar lelah sekali.
Ada bagian dari diriku yang ingin menenangkannya, padahal aku tahu, itu bukan tugasku lagi. Itu tugas seorang suami. Dan aku bukan suaminya lagi. Aku kesal pada diriku sendiri karena masih peduli.
Mama awalnya memang enggak begitu setuju dengan ide ini. Sekarang aku mulai mengerti alasannya. Sebenarnya aku juga malas membicarakan orang tuanya sekarang. Bukan tugasku lagi untuk menjelaskan semuanya. Membantunya mungkin hal yang benar, tapi itu bukan tanggung jawabku lagi. Sudah bukan tanggung jawabku lagi.
“Kenapa, sih?”
“Mama bilang dia enggak datang ke pernikahan kita, ya?” tanya Lavinia.
Aku menghela napas keras. Bahkan saat Lavinia sedang sakit seperti ini, Rosina masih saja berusaha menjauhkan dia dari kami, dari aku.
“Kenapa bisa kayak gitu ... sebenarnya ada apa?” imbuhnya, bingung.
Aku menyandarkan kepala ke belakang. “Itu tugas Mama kamu yang cerita, bukan aku.”
“Serius?”
Nada suaranya meninggi, dan aku sempat terkejut. Ya ampun, kami memang sering berdebat, tapi Lavinia itu jarang sekali kehilangan kesabaran, apalagi berbicara dengan suara keras. Dia manusia paling sabar yang pernah kukenal.
“Kamu tahu gimana rasanya jadi orang yang enggak tahu apa-apa?” Dia berdiri dari batu tempat dia duduk, lalu berjalan kembali ke penginapan. “Aku kira kita saling terbuka. Kamu seharusnya cerita. Kamu, kan suamiku.”
“DULU!” teriakku. “Aku dulu suamimu, sebelum kamu ninggalin aku. Kamu tahu enggak, apa yang aku alami setahun terakhir? Perempuan yang paling aku cintai pergi cuma ninggalin kalimat, ‘Kamu udah enggak bikin aku bahagia lagi'."
Bahunya langsung turun. Perlahan dia berbalik menatapku. “Aku benaran enggak ingat semua itu.”
“Cuma karena kamu enggak ingat, bukan berarti itu enggak pernah terjadi, Livinia!”
Dia berjongkok, menutupi wajah dengan tangannya. “Kamu benci aku, ya?”
Sial.
Rahangku menegang, tanganku mengepal. “Aku enggak benci kamu. Aku—”
“Laviniaaaaa!” Rosina tiba-tiba berteriak dari balkon penginapan, lalu berlari menuruni tangga ke arah kami.
“Ya ampun,” gerutuku pelan.
Lavinia menengadah, “Jadi kamu benci dia juga?”
Aku mengangguk pelan. Aku enggak mau menjelaskan betapa berat hidupnya karena orang tuanya. Dia hanya mengingat dirinya di versi masa kecilnya yang indah. Dan aku yakin, aku bukan satu-satunya orang yang bisa membantunya mengingat semua itu.
“Kamu enggak bisa asal bawa dia gitu aja,” kata Rosina, tersengal saat sudah dekat dengan kami.
Di belakangnya ada Maisie dan kakaknya, Leo. Sekaligus kakak tiriku. Leo melirikku dengan ekspresi mengejek. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati, "Sialan!"
“Orang aku enggak bawa dia,” bentakku.
“Oh ya? Mau aku percaya gitu aja? Kamu udah punya pacar baru, Ernest! Kenapa enggak move on aja?”
Lavinia berdiri, dan Mamanya langsung merangkai lengannya di bahu Lavinia.
“Tante Rosina enggak adil,” kata Maisie. “Aku tadi ada di sana. Lavinia emang pingin ketemu Ernest.”
“Iya, Ma!” geram Lavinia, menambahkan.
Aku menghela napas berat, menyapu rambut ke belakang, mencoba menenangkan leher yang terasa tegang.
Rosina mengabaikan ucapan Lavinia. “Ayo, Sayang. Kita masuk, yuk!”
“Dia itu bukan anak kecil lagi,” kataku.
Leo hanya mengeluh pelan. Maisie juga menghela napas panjang.
Rosina berhenti, lalu menoleh. “Kebencianmu sama aku enggak akan membantu dia."
"Ucapan dari dokter mungkin lebih berguna daripada ucapan Mama sekarang!” balasku.
“Sudahlah, Bro.” Leo merangkul bahuku.
“Dengar, Ernest. Kita ketemu besok pagi.” Rosina pergi, dan mata Lavinia masih penuh tanda tanya, menatapku.
Setelah mereka pergi, aku duduk, bersandar sambil menatap langit. Dalam hati aku bertanya, "Kenapa sih aku harus ada di situasi seperti ini?"
Leo duduk di sampingku. Maisie pun ikut duduk. Mereka enggak bicara apa-apa. Enggak memberi nasihat, enggak menyuruhku melakukan apa pun. Hanya duduk menemani. Membiarkan aku menata kepalaku sendiri.
Kadang aku berpikir, bagaimana mungkin Rosina bisa menganggap keluargaku sehina itu?
Padahal, kami selalu mendukung keluarganya. Jauh lebih baik dibandingkan apa yang dia lakukan sekarang.
lanjut kak