Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Demi Rasa Kemanusiaan
"Halo, ada apa lagi Mas?"
Dengan rasa malas Rania mengangkat telepon dari suaminya.
"Maaf Bu, apa benar ini istri dari pemilik ponsel ini?" tanya seorang pria di seberang.
"Iya benar Pak, kok ponsel suami saya ada di Bapak?" tanya Rania heran.
"Suami ibu tadi kecelakaan, sekarang sedang di rawat di rumah sakit Mitra. Apa Ibu bisa kesini sekarang?" tanya pria itu.
"Apa? Baik Pak, saya kesana sekarang,"
Rania segera membawa anaknya pergi, sebenarnya ia ingin menitipkan keduanya di rumah kakaknya namun pasti Bintang akan menangis, jadi terpaksa ia bawa.
Rumah sakit itu lumayan jauh dari rumah mereka, butuh waktu 45 menit untuk sampai kesana. Ia segera menuju ruangan yang pria tadi infokan kepadanya.
"Pak, bagaimana keadaan suami saya ya?" tanya Rania.
"Saya kurang tahu Mbak, coba tanya sama dokter langsung ya. Saya hanya mau mengembalikan barang-barang suaminya yang saya amankan, karena Mbak sudah di sini saya pamit pulang duluan ya,"
Pria itu memberikan semua barang suaminya, Rania sangat berterima kasih dan memberikan sedikit uang namun di tolak oleh pria tersebut.
"Jangan Mbak, saya tulus kok membantu. Lagian Mbak pasti lebih butuh uang untuk perawatan suaminya, saya permisi dulu ya,"
"Terima kasih sekali ya Pak, semoga Allah membalas kebaikan Bapak,"
Setelah pria itu pergi, Rania segera menemui dokter dan mengurus administrasi. Menurut dokter luka suaminya cukup parah, butuh sekitar 3 hari untuk membaik. Rania menghela napas, demi rasa kemanusiaan dia harus merawat suaminya. Ia harus mengesampingkan egonya, bagaimanapun Alif adalah ayah dari kedua anaknya.
"Bu, ayah kenapa? Kenapa ayah di perban, Bu?" tanya Alisa dengan polosnya.
"Ayah kecelakaan Nak, doakan agar cepat sembuh ya," jawab Rania.
"Iya Bu, kasihan ayah ya. Kenapa ayah tidur terus, apa parah ya Bu?" tanya gadis itu lagi.
Rania membawa keduanya mendekat ke tempat suaminya berbaring, ada rasa tidak tega memisahkan anak dan ayahnya. Haruskah iya mengalah kembali demi keutuhan rumah tangganya? Ah tidak, dia sudah tidak lagi punya rasa cinta untuk pria itu.
"Ayah sudah minum obat, jadi sedang istirahat sebentar. Ibu lupa membawa bekal karena terburu-buru, kita cari makan dulu yuk," ajak Rania.
Mereka segera ke kantin rumah sakit, Alisa makan sendiri sedangkan Bintang masih Rania suapi. Tiba-tiba ada seseorang menyapanya.
"Kamu Rania kan istrinya Alif, menantunya bu Nani?" tanya wanita itu.
"Iya Bu, benar," jawab Rania.
"Kamu kenapa masih bertahan dengan keluarga seperti itu, ibu mertua mu itu selalu menjelek-jelekkan diri mu kepada siapapun. Coba saja lihat postingan dan statusnya di wa dan sosial media. Ia juga suka bergunjing tentang diri mu kepada tetangga-tetangga sekitar,"
"Memangnya beliau berkata apa, Bu?"
Rania menanggapi cerita wanita itu, ia ingin tahu sejauh mana mertuanya menghinanya.
"Banyak sekali Nia. Dia bilang kamu beruntung mendapatkan putranya sehingga bisa berjualan online, padahal kamu hanya lahir dari keluarga miskin. Katanya kamu sudah main guna-guna sehingga Alif lebih tunduk kepada mu daripada ibunya. Terus Dia juga bilang katanya kamu menantu pemalas yang sukanya menghambur-hamburkan uang suami tanpa mau bekerja,"
Astagfirullah, Rania tidak menyangka ibu mertuanya bisa sekejam itu kepada dirinya. Perasaan selama ini dia tidak pernah mengusik hidup ibu mertuanya, bahkan tidak sekalipun ia menjauhkan suaminya dari ibunya itu. Setiap suaminya berpamitan untuk mengantar ibunya kemanapun dia tidak pernah melarang, walaupun di saat yang sama sebenarnya ia juga sangat membutuhkan bantuan suaminya.
Selama ini ia tidak pernah mendengar ibu kandungnya menghina para menantunya, baik secara langsung ataupun tanpa sengaja. Ia sangat shock mendapatkan ibu mertua seperti itu. Padahal selama ini dia selalu berusaha bersikap baik, walaupun ibu mertuanya itu sudah menunjukkan rasa tidak sukanya kepada dirinya, ia tetap menghormatinya sebagai orang tua.
"Biarkan saja Bu, saya tidak ingin menanggapinya. Mungkin karena sudah tua jadi berkata seperti itu,"
"Ah sepertinya tidak, mertua ku baik kok. Memang dasar bu Naninya saja yang begitu. Sejak dulu tidak ada seorangpun yang luput dari hinaannya, makanya adik ipar mu itu sampai menikah berkali-kali, itu karena suaminya tidak ada yang tahan punya ibu mertua seperti bu Nani,"
Oh Tuhan, dia baru tahu tentang ini. Pantas saja adik iparnya sampai berkali-kali cerai, ternyata karena perangai ibu mertuanya yang tidak baik. Berarti dirinya sangat kuat hingga mampu bertahan menikah dengan Alif sampai 11 tahun ini. Rania hanya tersenyum menanggapi cerita wanita itu, ia tak ingin terlalu ikut campur.
"Eh ngomong-ngomong kenapa kamu ada di sini? Siapa yang sedang sakit?" tanyanya.
"Mas Alif kecelakaan, tadi ada yang membawanya kesini," jawab Rania.
"Oh astaga, bagaimana keadaannya? Apa ibu mertua mu tahu?"
"Belum Bu, saya juga baru datang. Tadi saya kuatir sehingga tidak menyiapkan bekal, makanya anak-anak saya bawa makan di sini. Kata dokter cukup parah, sekitar 3 hari kemungkinan baru membaik,"
"Oh ya sudah, biar nanti aku yang memberi tahu, semoga Alif cepat sembuh. Aku duluan ya,"
"Iya Bu, terima kasih,"
Rania melanjutkan menyuapi Bintang, setelah anaknya merasa kenyang barulah dia yang makan. Sebenarnya ia enggan memberi tahu mertuanya, karena takut membuat keributan di sana. Apalagi keadaan Alif masih belum pulih, ia takut kehadiran mertuanya akan memperburuk kondisi Alif.
"Bu, ayo kita kembali ke kamar ayah. Kasihan ayah sendirian, Bu," ajak Alisa.
"Iya Sayang, ini juga sudah selesai. Ayo kita kembali,"
Rania membuka pintu perlahan, ruangan itu sebenarnya berisi dua ranjang, namun satunya sedang kosong sehingga mereka lebih mudah untuk keluar masuk. Ternyata Alif sudah sadar dan menyadari kehadiran mereka.
"Rania," panggil Alif.
"Ya, aku di sini," Rania segera mendekat.
"Aku senang kalian semua ada di sini, aku senang kalian masih peduli dengan ku,"
Alif merasa terharu, sudut matanya mulai berair. Sorot kebahagiaan begitu terpancar dari kedua matanya.
"Jangan banyak bicara dan bergerak dulu, kamu harus banyak istirahat," cegah Rania ketika Alif berusaha untuk bangkit.
"Aku rela terluka, asal kalian selalu bersama ku," ucap Alif.
"Kamu tidak boleh seperti ini, kita harus menyikapi masalah secara dewasa. Sekarang fokuslah kepada kesembuhan mu, jangan memikirkan hal lainnya dulu,"
Alif merasa senang, berarti Rania tidak akan membahas masalah perceraian selama ia sakit. Rasanya ia tidak ingin sembuh jika dengan sakit membuatnya selalu bersama mereka. Hatinya tersenyum, ternyata istrinya masih peduli kepadanya.
"Alif... Alif, di mana kamu Nak?"
Terdengar teriakan dari luar, sepertinya suara bu Nani mertuanya Rania.
Pintu di buka dengan keras, tampak sosok ibu yang sedang mencemaskan keadaan putranya. Rania memilih diam untuk memberi kesempatan kepada mereka.
"Ini semua karena kamu, dasar wanita pembawa sial," tunjuknya kepada Rania.