Eclipse, organisasi dunia bawah yang bergerak di bidang farmasi gelap. Sering kali melakukan uji coba demi mendapatkan obat atau vaksin terbaik versi mereka.
Pada awal tahun 2025, pimpinan Eclipse mulai menggila. Dia menargetkan vaksin yang bisa menolak penuaan dan kematian. Sialnya, vaksin yang ditargetkan justru gagal dan menjadi virus mematikan. Sedikit saja bisa membunuh jutaan manusia dalam sekejap.
Hubungan internal Eclipse pun makin memanas. Sebagian anggota serakah dan berniat menjual virus tersebut. Sebagian lain memilih melumpuhkan dengan alasan kemanusiaan. Waktu mereka hanya lima puluh hari sebelum virus itu berevolusi.
Reyver Brox, salah satu anggota Eclipse yang melawan keserakahan tim. Rela bertaruh nyawa demi keselamatan banyak manusia. Namun, di titik akhir perjuangan, ia justru dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Tak lama setelah Reyver beranjak untuk mempersiapkan makan siang mereka, Martha yang tadi pura-pura beristirahat langsung bangkit dari ranjang. Dengan langkah pelan dan hati-hati dia berjalan menuju laboratorium tempat Reyver menyimpan virus Eclipse.
Tatapan Martha bergerak liar memindai seluruh ruangan tersebut, mencari dan menerka di bagian mana kiranya virus itu berada.
Lantas, Martha memutuskan untuk membuka lemari penyimpanan pertama. Ia teliti satu per satu botol kaca yang ada di sana. Namun, tak menemukan apa yang dia cari. Martha masih ingat benar bagaimana bentuk dan warna virus tersebut, dan itu tak ada di lemari penyimpanan pertama.
Dengan ambisi yang menggebu, Martha meneruskan pencariannya. Dengan sesekali kepalanya menoleh ke arah pintu, takut jika tiba-tiba Reyver datang dan memergoki aksinya.
"Ahh ...."
Tatapan Martha berbinar saat melihat botol virus yang sangat familier, ia temukan di lemari penyimpanan ketiga, menjadi satu-satunya barang yang ada di sana.
"Tidak salah lagi, inilah yang kucari," gumam Martha.
Garis wajahnya menunjukkan kepuasan karena berhasil mendapatkan barang berharga tersebut. Lalu tanpa membuang waktu, Martha pun menyimpan virus itu di balik blazer yang ia kenakan.
Seringai licik menghiasi paras cantiknya, mengiringi langkah kaki yang membawanya keluar dari laboratorium.
Seakan hilang ingatan dengan kenangan dan cinta antara dirinya dengan Reyver, Martha melangkah pasti menuju dapur. Hampir tidak ada sisi kemanusiaan lagi, dalam dirinya hanya diselimuti ambisi. Harta, kekuasaan, serta hal-hal duniawi lainnya yang telah dijanjikan oleh Carlo, membutakan mata Martha atas cinta dan ketulusan.
"Aku sudah pernah memberimu kesempatan untuk kembali ke sisi Tuan Carlo, tapi kamu yang angkuh dan menolaknya, Reyver. Sekarang jangan salahkan aku jika akhir hidupmu malah di tanganku. Kamu menolak menjadi penguasa bersamaku, maka aku juga akan menolak menderita bersamamu," batin Martha sambil mengeluarkan pistol yang ia dapat dari salah satu penjaga di Eclipse semalam.
Detik berganti, menit berlalu, kini Martha sudah jauh meninggalkan ruang laboratorium. Selangkah demi selangkah dia mendekati dapur sempit di mana Reyver masih berkutat dengan daging dan sayur-sayurannya.
"Maaf, Rey, sepertinya aku akan menjadi orang yang paling membuatmu kecewa," batin Martha setelah matanya menangkap punggung Reyver.
Dalam balutan baju putih dan celana pendek abu-abu, postur tubuh Reyver menggambarkan perawakan yang sempurna. Tangan kekarnya yang dipenuhi bulu-bulu halus, terlihat lincah saat memasak.
Seharusnya dia menjadi lelaki yang sangat ideal untuk dijadikan pasangan, karena wajahnya pun sangat rupawan. Mata legam khas orang Asia, hidung mancung, bibir tipis, dan rahang yang kokoh. Perpaduan yang sempurna. Namun sayang, keras kepala dan keangkuhannya membuat Martha tak sanggup bertahan dan memilih berpaling.
"Demi masa depanmu, Martha, lupakan semua kenangan yang berkaitan dengan lelaki ini." Martha kembali membatin, menegaskan pada diri sendiri untuk tetap teguh pada pilihan yang telah ia tentukan.
Kini tak ragu lagi, Martha mengayunkan kakinya dengan pelan. Melangkah maju dan lebih mendekati Reyver tanpa mengeluarkan suara. Bahkan, deru napas pun ia tahan agar tidak menyadarkan lelaki di hadapannya.
Jarak makin dekat, tinggal beberapa langkah lagi. Reyver masih sibuk memasukkan sayur ke dalam panci, sedangkan Martha mulai menghentikan langkahnya. Ia sudah mendapatkan titik yang sempurna untuk melakukan aksi gilanya.
Perlahan tapi pasti, Martha mengangkat tangan, mengacungkan ujung pistol ke arah kepala Reyver, tepat di bagian batang otak. Sebuah organ vital yang bisa membunuh seseorang dalam sekali tembak.
"Selamat tinggal, Rey," batin Martha sambil menyeringai licik, bersamaan dengan telunjuknya yang tanpa ragu menarik pelatuk pistol.
Ledakan pun terdengar, mengalahkan suara air mendidih yang sebelumnya menjadi irama utama di ruangan tersebut.
Bersambung...
