Setelah menyandang gelar sebagai seorang istri. Rima memutuskan berhenti berkarir agar bisa fokus mengurus suami dan anaknya. Dengan sepenuh hati Rima menyayangi mertua seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Namun, bukannya kasih sayang dan kebahagiaan yang Rima dapatkan tetapi pengkhianatan dari kedua orang tersebut.
Dengan perasaan hancur, Rima berusaha bangkit dan membalas pengkhianatan suaminya. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan diri lebih baik dari para pengkhianat. Hingga perlahan Rima bangkit dari keterpurukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon violla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpisah
19
Aku hampir menganga mendengarnya. Pantas saja Dimas pergi pagi-pagi sekali. Ternyata ada masalah yang melilit perusahaan. Dan itu disebabkan oleh bang Rama dan Citra. Tidak kusangka dunia ini begitu sempit hingga karma bisa langsung mengenai target. Ya, jika terbukti selama ini mereka sudah korupsi maka terkuaknya kebusukan mereka merupakan karma atas perbuatan jahat yang telah mereka lakukan.
"Rima, kamu bisa menghendle masalah ini 'kan?" Pertanyaan Dimas mengembalikan kesadaranku. Pria itu menggiring aku ke tempat duduk bang Rama dan Citra. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat wajah mereka pucat dan menegang.
"Jadi... kantor ini punya bapak juga?"
"Hem, kamu nggak keberatan 'kan kalau aku tempatkan di sini?" Dimas bertanya sembari melirik bang Rama. Menatap penuh selidik seperti sedang menimbang sesuatu. Aku jadi was-was jangan-jangan Dimas tahu kalau bang Rama adalah suamiku.
"Saya siap ditempatkan di mana aja, Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin." Bang Rama dan Citra serempak melihatku. Tentu aku tersenyum sinis kepada mereka yang tampak tidak berkutik. Biarlah, kali ini aku menjadi orang jahat.
"Mulai hari ini Rima akan menjadi atasan kalian. Selama aku tidak ada di sini dia yang akan menggantikan posisiku. Jadi, semua urusan termasuk memantau kalian aku percayakan padanya! Rima akan mengaudit keuangan dan menghandle kantor ini."
Dimas bicara masih berdiri dan bersedekap dada di sampingku. Ucapannya berhasil membuat aku terkejut setengah mati. Kenapa aku ditempatkan di posisi itu? Sebelum aku protes handpone Dimas berdering. Tanpa bicara pria itu ke luar ruangan untuk menjawab teleponnya.
"Apa-apaain ini? Kamu pikir kamu bisa mengintimidasi kami?" Citra langsung menyembur ketika tinggal kami bertiga di ruangan ini. Dia berdiri dengan ponggahnya. "Ngapain, sih kamu terima dipindahkan ke sini? Aku nggak mau tahu dan nggak perduli kamu kerja di mana dam sebagai apa, tapi kenapa harus di sini?" sinisnya padaku.
"Apa kurang jelas? Aku di sini untuk mengawasi kalian berdua!" Aku berdicih dan menggelengkan kepala melihat bang Rama yang sedari tadi hanya diam menatapku. "Jadi, apa selama ini kamu memanjakan suami dan ibu mertuaku dengan uang hasil korupsi?"
"Mulutmu dijaga, Rima. Jangan sembarangan bicara!" seru Citra tidak terima.
"Kalau kamu nggak salah nggak mungkin takut, lagipula bukannya kamu udah biasa melakukan kesalahan besar? Jadi, aku yakin merugikan perusahaan pun udah menjadi kebiasaanmu. Aku memegang kartu mu dan aku masih menahan diri
untuk tidak membongkar skandal kalian, jadi bersikap baiklah padaku atau kamu dan suamiku itu tidak akan punya muka lagi!"
Aku sengaja menekankan kata suami agar bang Rama tahu kalau istrinya tidak bisa diremehkan. Raut wajah bang Rama tampak memelas. Sementara Citra sudah kembali diam dan membuang muka.
Bang Rama beranjak sepertinya untuk menengahi. "Rima abang harap kamu tidak mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Abang nggak tahu kalau kamu bekerja di perusahaan pusat. Kenapa kamu nggak cerita sama abang?" tanya bang Rama sembari memindai penampilanku dari ujung kaku sampai ujung rambut. "Kamu tampak cantik dan baik-baik saja," imbuhnya setelah terdiam beberapa saat.
"Pertanyaan itu udah terlambat. Dan aku nggak berkewajiban ceritakan apapun sekarang. Apa abang kecewa melihatku baik-baik aja setelah apa yang kalian lakukan padaku? Tenang, sebaiknya siapkan diri kalian agar bisa menyaksikan betapa bahagianya aku bisa bebas dari rumah itu!"
"Abang nggak bermaksud begitu. Abang tahu kamu butuh waktu untuk menenangkan diri. Abang cuma nggak nyangka kamu bisa bekerja di perusahaan sebesar ini dan menjadi tangan kanan pak Dimas." Pria itu tampak kagum padaku. "Jadi, kapan kamu pulang ke rumah?" tanyanya lagi.
"Maksudnya apa, sih tanya seperti itu, Mas?" Citra tidak terima, wajahnya tampak marah.
"Sampai detik ini Rima masih menjadi istriku. Dan selama itu dia berhak pulanc ke rumah," ucap bang Rama tanpa melihat Citra. Pandangannya masih terfokus padaku.
"Istri?" Aku tertawa mendengarnya. "Apa abang lupa ingatan? Nggak masalah biar aku ingatkan. Aku sudah menghubungi pengcara untuk mengurus perceraian kita!" ucapku dengan sekali tarikan nafas, berusaha kuat agar bisa melawan orang jahat ini.
Wajah bang Rama semakin menegang saja. "Nggak! Kita nggak boleh berpisah."
