"Jadilah kuat untuk segala hal yang membuat mu patah."
_Zia
"Aku mencintai segala kekurangan mu, kecuali kepergian mu."
_Darren
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIRGA DAN ANHAR
...RINTIK HUJAN...
Plashback on
Darren meninggalkan rumahnya untuk bertemu dengan David, masih ingat David? Dia adalah orang yang dipercaya Darren untuk mencari keberadaan Melinda.
Seperti biasa, mereka bertemu di cafe queen. Darren berjalan kemeja pojok sisi kanan, disana sudah ada David yang menunggunya.
“Pak Darren, silahkan duduk.” Ujar David.
Darren duduk, lalu menatap serius pada David. “Yang kau katakan itu benar?”
David mengangguk. “Tentu saja pak.”
David menyerahkan beberapa lembar foto kedepan Darren. Darren menerimanya, matanya memanas dan dadanya bergemuruh.
“I-ini b-benar?”
“Benar pak, anak buah saya berhasil mengambil gambar itu, dan alamatnya pun kami sudah dapatkan. Namun saat kami mendatangi alamat itu, dia sudah pindah lebih dulu sebelum kami tiba.”
“Apa lagi yang kau dapatkan?”
“Dan selama ini, dia menetap dibandung dan bekerja sebagai model. Sedikit sulit untuk mendapatkan alamatnya saat ini.”
“Ada lagi?”
“Maaf pak, hanya itu saja yang kami bisa dapatkan.”
Darren masih menatap beberapa foto itu, semua gambar itu menunjukkan keseharian Melinda. Tinggal Bandung disalah satu apartement ternama.
Tunggu saya Melinda, sedikit lagi. Batin Darren.
Plashback off
Darren menatap kembali beberapa lembar foto yang diterimanya dari David, jika dilihat Melinda sungguh semakin cantik.
“Tunggu saya Melinda.”
“Jadi selama ini kau tinggal dibandung? Dan kau bekerja sebagai seorang model?”
“Kau semakin cantik.”
Darren melupakan seorang perempuan yang terus menantinya untuk sekedar menerimanya dalam hidupnya, mengakuinya pada dunia dan menjadikannya pelabuhan terakhirnya. Darren melupakan tujuannya untuk menerima Zia, untuk mencintai Zia dan untuk menjadi sosok imam yang bisa membawa kelurganya sampai kejannah-Nya.
Manusia memang lah dinamis, begitu juga dengan cinta. Berubah dalam sekejap kedipan mata.
Tok
Tok
“Masuk.” Ujar Darren. Menyimpan foto-foto itu di laci meja kerjanya, lalu bersikap santai saat Zia masuk kedalam ruangan kerjanya.
Zia berjalan mendekat, meletakkan secangkir kopi yang dia buat untuk Darren. Tadi Darren yang meminta untuk dibuatkan.
“Ini kopinya mas.” Ujar Zia. Meletakkan kopi panas itu dengan hati-hati.
“Hm.” Hanya itu yang diucapkan Darren.
“Mmm, mas. Aku mau izin keluar untuk belanja bulanan, boleh?” Tanya Zia. Bahan didapur sudah menipis, jadi dari pada tak melakukan kegiatan dirumah. Lebih baik dia belaja kebutuhan dapur.
“Hm, pergilah.” Jawab Darren.
Zia sedikit kaget dengan ucapan dingin dan cuek suaminya, apakah dia melakukan kesalahan? Atau suaminya ini kelelahan bekerja?
Zia mengangguk, mencium punggung tangan suminya. Zia tak bohong, sangat ingin mengajak Darren berbelanja bersama. Atau tidak paling Darren yang menawarkan diri untuk mengantarnya.
Astaga sadar Zia.
“Aku pamit mas, assalamu’alaikum.”
Bahkan Darren hanya mengangguk. Zia tentu saja ingin bertanya mengapa suminya dingin dan cuek? Tapi dia tak memiliki keberanian yang cukup sebeb dari raut wajah Darren saja sudah membuat nyalinya ciut.
Darren menatap pintu yang sudah tertutup rapat, lalu kembali menatap majalah didepannya.
Kembali ke Zia. Perempuan cantik itu kini berada dalam taxi yang dipesannya, tujuannya tentu saja berbelanja bulanan ditempat biasanya. Besok adalah hari prom night dan dia belum meminta izin pada Darren, mungkin besok saja atau tidak malam nanti.
“Mbak sudah sampai.” Celetuk supir itu. Melihat penumpangnya yang sepertinya melamun, hingga tak sadar sudah tiba di tempat tujuannya.
Zia tersadar. “Astagfirullah hal adzim , maaf ya Pak.” Ucap Zia tak enak. Bisa-bisanya dia tak sadar dan malah melamun.
Pak supir itu hanya mengangguk dan tersenyum, sudah biasa bertemu dengan penumpang seperti itu.
“Taka apa-apa mbak.”
Zia segera turun. “Sekali lagi maaf ya pak, dan terimakasih.”
Supir itu tersenyum lagi, mengagumi sifat lembut dan baik wanita ini. Lalu segera menjalankan kendaraannya.
Zia mulai masuk kedalam pusat perbelanjaan, mengambil keranjang belanja lalu berjalan kearah bahan dapur. Mengambil ikan, lalu danging ayam dan beberapa sayuran serta buah-buahan.
Saat sedang asik memilih-milih cemilan.
“Loh Zia, lo belanja disini juga?” Celetuk dari arah belakang Zia.
Zia menoleh dengan cepat, lalu segera mengalihkan pandangannya kemanapun asal tak menatap seorang didepannya ini.
Plak
“Bodoh, sudah jelas dia belanja disini. Kenapa bertanya lagi?” Susul seorang lagi. Lalu. “Woww! Kau Zia istrinya Darren? Dunia memang sempit yah.” Lanjutnya.
Zia menunduk, kenapa juga ada dua anak manusia yang sangat dia hindari.
“Maksud abang? Istri?” Tanya pemuda yang seumuran dengan Zia. Dia Anhar dan Dirga tentunya.
“Maaf, saya permisi.” Ujar Zia. Tak tahan dengan mereka. Zia sudah tau siapa Dirga dari suminya beberapa hari yang lalu, dan Anhar manusia yang paling Zia hindari.
Dirga dengan spontan menghalangi jalan Zia. “Tunggu dulu, kenapa buru-buru? Dimana suamimu? Apakah dia tak mengantar mu?” Cecar Dirga. Bukankah Zia adalah alatnya untuk menghancurkan Darren?
Anhar masih diam, masih berusaha mencerna ucapan Dirga.
Perempuan yang selama ini dia kejar sudah menikah? Perempuan yang berhasil membuatnya tak berpaling ke wanita mana pun sudah memiliki suami? Perempuan yang selalu menghindarinya ini benar-benar sudah memiliki pendamping?
Dia kalah, astaga Anhar.
“Maaf, saya harus segera pergi.” Ujar Zia. Walau banyak pengunjung yang lalu lalang, tetap saja seorang istri mengobrol dengan dua pria asing. Rasanya tak pantas. Anhar tentu bukan pria asing lagi, hanya saja Zia muak dan rishi.
“Ayolah.”
“Abang cukup, dia risih. Biarkan dia pergi.” Sela Anhar. Matanya tak bohong, menatap penuh kecewa pada Zia. Rasanya benar-benar sakit.
“Zia, pergi lah.” Lanjutnya memberi jalan pada Zia.
Zia pergi, tak mengucapkan apapun lagi. Tujuannya
berjalan ke kasir lalu segera pergi dari, meninggalkan Dirga yang terus mengoceh dan Anhar yang menatap Zia penuh luka dan rasa benci mungkin.
“Kau kenapa? Kenapa mata mu merah?” Tanya Dirga. Menatap keponakannya yang sepertinya hendak mengeluarkan air matanya.
Anhar mengusap kasar wajahnya. “Ngak! Siapa juga yang nangis.” Bantahnya.
“Benar? Tapi mata mu merah, berarti ingin menangis bukan?”
“Gue ngak nangis, bukan lo yang cengeng.”
“Heh! Ngak sopan, jangan-jangan kamu gamon yah? Gamon ke Zia?”
“Bang.”
“Jadi cewek itu yang bikin kamu nolak semua cewek yang abang jomblangin ke kamu?”
“Bang udah! Buruan belanja.”
“Jawab dulu!”
“Ckkk, iya. Zia yang gue maksud tuh dia, terus lo dari mana kenala Zia?”
“Hahah! Jelas Zia nolak kamu, dia itu Ma Sya Allah banget buat kamu yang Na Uzu Billa gini Anhar.”
Anhar diam, meninggalkan saudara sepupu dari ayahnya itu. Kenapa juga kalau dia menyukai Zia?
Lebih baik dia nongkrong bersama teman-temannya, meladeni Dirga membuat kupingnya terasa panas dan mungkin bisa sedikit melupakan fakta beberapa menit lalu.
***
Zia menenteng belanjaannya dalam tempat yang sering dia bawah ketika berbelanja. Dia tidak langsung pulang, malah mampir ketaman yang tak jauh dari sekolahnya. Disini dia memandangi danau yang luas, melihat orang-orang yang bercanda gurau, anak-anak yang berlarian.
“Mas Darren kenapa sikapnya tadi dingin yah? Jangan aku buat salah? Tapi salah aku dimananya?”
Zia menerawang jauh, terkadang hidup tak sejalan dengan keinginan atau kemauan kita. Begitu juga dengan perjalanan Zia, menikah diumur masih tergolong mudah ini mengajarkannya banyak hal.
Tawakkal dan ikhtiar adalah solusinya. Sabar menghadapi setiap masalah yang datang, serta bersyukur setiap harinya.
Zia mengartikan, bahagia adalah ketika kita mampu mensyukuri setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari. Nikmat yang diberikan tuhan kepada kita, bahagia adalah bagaimana kita bersyukur untuk hari ini.
“Udah satu bulan ajah menikah, perasaan mas Darren gimana yah ke aku? Gimana juga yah rasanya dicintai secara ugal-ugalan? Pengen deh kaya mereka.”
Zia terus duduk dibangku itu hingga dia merasa lelah dan memutuskan untuk pulang kerumah, bisa-bisa suaminya marah karena dirinya yang terlambat pulang.
Darren?
Pria itu sedang menghubungi seseorang, sebelum mengakhiri panggilannya.
“Kosongkan jadwal saya seminggu kedepan.” Ujaranya kepada yang diseberang telepon.
Darren berdiri dibalkon kamarnya, dapat melihat Zia keluar dari dalam taxi sembari menenteng belanjaannya.
“Urus perjalanan saya kebandung.” Lanjut Darren lagi.
Sorot mata tajamnya mengawasi Zia yang kesulitan membawa belanjaannya, hingga Zia hilang dari pandangannya.
“Hm.”
Darren menutup panggilan itu, lalu menatap kelangit yang hampir mulai gelap. Waktu begitu cepat berlalu.
“Tunggu saya sebentar lagi.”
***
Darren menuruni tangga satu-persatu. Dia perlahan mulai sholat dan melakukan hal yang bermanfaat, tapi untuk minum-minum sejauh ini dia bisa menahannya. Tak tau hari esok.
“Mas Darren, ayok makan.” Ajak Zia. Menatap hasil masakannya.
Darren mengangguk. “Baiklah.”
“Mas mau yang mana? Biar aku ambilkan.” Ucap Zia. Mulai mengambilkan nasi untuk suaminya.
Darren menatap semua sajian itu, semuanya seperti enak.
“Ayam kecap dan sambel tahunya.” Ujar Darren.
Zia mengangguk. “Baik mas.” Zia mengambilkan ayam kecap dan sambel tahu untuk Darren. “Ini mas.”
“Hm.”
Zia ikut mengambil untuk dirinya sendiri, lalu makan dalam keadaan hening. Zia tak tau membuka obrolan ringan dengan Darren, jadi dia lebih memilih diam dan menghabiskan makananya.
“Kapan acara perpisahan mu?” Tanya Darren diselah-selah makannya. Tetap fokus makan, tanpa menatap Zia.
Zia menatap Darren. “Besok malam mas.” Jawab Zia. “Aku izin ikut acaranya boleh?” Tanya Zia. Dia tetap haru izin kepada suaminya.
Darren menghentikan aktifitasnya, lalu mengambil minum. Kemudian menatap Zia.
“Tentu saja, pergilah.” Kata Darren. Dia juga memiliki urusan besok dibandung.
Zia tersenyum. “Terimakasih mas.”
“Jangan dekat dengan Anhar, jaga jarak.” Lanjut Darren. Kembali melanjutkan acara makannya.
Bolehkah Zia mengartikan ucapan Darren, bahwa Darren mulai posesif padanya. Tak salahkan?
“Baik mas.”
Setelah makan bersama. Darren masuk kedalam kamarnya, lalu Zia juga masuk kemarnya. Mereka masih tidur terpisah, tapi Zia bersyukur karena sifat kejam Darren mulai hilang. Walau sedikit dibumbui oleh sifat dingin dan cueknya yang secara tiba-tiba.
Zia menatap langit-langit kamarnya. Darren tak seperti dulu lagi, tapi mengapa dia merasa Darren semakin jauh saja. Semakin sulit rasanya untuk digapai.
Darren memang benar-benar merubah perilaku buruknya, tapi Zia tetap saja merasa Darren semakin sulit dia gapai. Masih ada tembok kokoh yang menghalanginya.
“Huffttt, aku penasaran dengan wanita itu. Bagaimana parasnya, hingga mas Darren selalu menyebut namanya?”
di lanjut Thor,,, penasaran 🤔
moga Darren cepat menyadari nya🤔🤭🤲
lanjut Thor. ku ingin si Darren hancur,, udah menyia yia kan berlian
yakinlah Lo bakalan nyesel Darren,,,
bikin tuan arogan bertekuk lutut 💪👍🏻😍