Bagaimana jika sahabatmu meminta mu untuk menikah dengan suaminya dalam bentuk wasiat?
Dara dan Yanti adalah sahabat karib sejak SMA sampai kuliah hingga keduanya bekerja sebagai pendidik di sekolah yang berbeda di kota Solo.
Keduanya berpisah ketika Yanti menikah dengan Abimanyu Giandra seorang Presdir perusahaan otomotif dan tinggal di Jakarta, Dara tetap tinggal di Solo.
Hingga Yanti menitipkan suaminya ke Dara dalam bentuk wasiat yang membuat Dara dilema karena dia tidak mencintai Abi pria kaku dan dingin yang membuat Yanti sendiri meragukan cinta suaminya.
Abi pun bersikukuh untuk tetap melaksanakan wasiat Yanti untuk menikahi Dara.
Bagaimana kehidupan rumah tangga Dara dan Abi kedepannya?
Follow Ig ku @hana_reeves_nt
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Reeves, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembacaan Surat Wasiat
Tak terasa sudah seminggu Yanti berpulang dan sesuai dengan permintaan Abi, semua keluarga inti berkumpul di ruang tengah pak Darmanto yang luas. Abi memang meminta hanya suami istri Darmanto, pengacara Joko, dirinya, Antasena dan Jun yang disuruhnya ke Solo serta Dara plus kedua orangtuanya.
Semua orang duduk lesehan diatas karpet tebal dengan posisi membentuk setengah lingkaran dan semuanya menatap pengacara Joko yang berada di tengah-tengah.
"Selamat siang, perkenalkan nama saya adalah Joko Waluyo, saya adalah pengacara pribadi tuan Abimanyu Giandra Hardiyanta sejak dua puluh tahun lalu pada saat almarhum tuan Arya Hardiyanta masih hidup" pengacara Joko berdehem sejenak.
"Kedatangan saya siang ini di kediaman keluarga bapak Darmanto adalah permintaan dari almarhum nyonya Yanti dan juga permintaan tuan Abi yang meminta pembacaan wasiat nyonya Yanti dilaksanakan seusai acara tahlilan tujuh hari. Surat wasiat nyonya Yanti sudah ditandatangani oleh pihak notaris yaitu Notaris Dan Samuel serta saksi adalah saya sendiri."
Pengacara Joko membuka koper kerjanya dan mengeluarkan tiga buah amplop. Dua bewarna putih yang Abi dan Antasena sudah pernah melihat serta satu buah amplop coklat ukuran sedang.
"Almarhum nyonya Yanti meninggalkan ketiga surat ini pada saya tepat pada hari Kamis sebelum beliau meninggal dunia pada hari Jumat." Pengacara Joko menghentikan ucapannya menunggu Bu Darmanto mengusap isaknya.
"Maaf nyonya Darmanto jika saya membuat anda bersedih" simpati pengacara Joko.
"Tidak apa-apa pak pengacara. Saya masih berusaha untuk ikhlas" bisik Bu Darmanto yang mendapat usapan lembut dari Bu Haryono.
"Baik saya lanjutkan. Dua amplop putih ini di dalamnya ada surat wasiat yang sudah dibubuhi tanda tangan nyonya Yanti diatas meterai. Saya sendiri tidak tahu apa isi surat ini karena pada saat nyonya Yanti menyerahkan, beliau hanya memperlihatkan bagian bawah surat saja."
Pengacara Joko memperlihatkan tulisan di masing-masing amplop putih itu.
Semua keluarga disana kecuali Abi dan Antasena terkesiap membaca tulisan di amplopnya. Dara sendiri memandang Abi dengan wajah bingung sedangkan yang dipandang hanya menatap lurus tanpa ekspresi.
"Kenapa ada nama Dara disana pak?" tanya pak Darmanto.
"Itu keputusan almarhum nyonya Yanti, tuan Darmanto. Dan yang berhak membuka dan membaca hanya nona Adara dan tuan Abi sendiri. Jadi saya serahkan surat ini kepada anda berdua."
Pengacara Joko menyerahkan masing-masing amplop putih yang bersegel rapih itu kepada Dara dan Abi.
Dara menerima amplop itu dengan tangan bergetar.
Apa yang kau tulis disini Yan? Bahkan saat kau pergi pun tetap saja sukanya durjana! umpat Dara dalam hati walau geli.
Abi menerima surat itu dengan muka dingin.
Pengacara Joko kemudian melanjutkan bicaranya.
"Kalau yang amplop coklat ini, saya sudah membacanya karena surat wasiat ini dibuat bersama dengan almarhum nyonya Yanti dua Minggu sebelum kecelakaan."
Pengacara Joko membalikkan tutup amplop itu yang masih tersegel.
"Anda sekalian lihat, amplop ini masih tersegel dan tidak rusak. Saya minta ijin kalian semua untuk membukanya?"
"Monggo"
"Silahkan"
Semua hadirin yang ada di ruang tengah mempersilahkan pengacara Joko untuk membukanya. Dengan bantuan cutter, pengacara Joko mengambil lembaran kertas dari dalam amplop.
"Saya bacakan ya tuan-tuan dan nyonya-nyonya dan nona".
Pengacara Joko berdehem sedikit.
"Jakarta, 20 November tahun XXXX.
Saya yang bernama Damayanti Darmanto dengan secara sadar sehat jasmani rohani membuat surat wasiat ini untuk menyerahkan semua harta benda saya jika saya sudah meninggal dunia.
Untuk kedua orangtuaku, papa Darmanto dan mama Yuni Darmanto, aku serahkan semua perhiasan yang aku miliki untuk kalian dan sebidang tanah seluas 200 meter di daerah Banyuanyar. Sertifikat ada di notaris Dan Samuel. Untuk biaya balik nama, sudah aku titipkan pada pengacara Joko Waluyo.
Untuk suamiku Abimanyu Giandra Hardiyanta, aku titipkan cincin kawin dan cincin tunangan yang kau berikan. Aku minta kedua cincin itu dijual dan uangnya berikan pada yayasan sosial yang sudah aku tunjuk. Jangan sekali-kali kamu melanggarnya mas, atau aku akan ganggu kamu nanti."
Abi terisak mendengar surat wasiat yang dibacakan oleh pengacara Joko.
Rasanya seperti mendengar suara Yanti.
"Untuk baju-baju milikku, tolong sumbangkan pada panti jompo, panti asuhan semuanya dan aku sudah memberikan daftarnya. Sepatuku, semuanya diberikan pada mama Yuni Darmanto dan mama Tina Haryono karena ukuran kaki kami sama. Tenang kedua mamaku, aku sudah menulis nya di masing-masing kotak."
Kedua wanita paruh baya itu semakin menangis mendengarnya. Yanti benar-benar sudah mempersiapkan semuanya.
"Papa Darmanto, aku serahkan beberapa buku tabungan milikku dan nomor pin di masing-masing kartu debit sudah aku tuliskan. Semoga cukup untuk pensiun papa."
Pak Darmanto mengusap air matanya.
"Untuk sahabatku Adara Utari Haryono, semua tas koleksiku aku berikan untukmu. Dan jika suatu saat aku memberikan surat tersendiri untukmu, itulah warisan ku yang paling berharga dan kuserahkan padamu."
Dara hanya menatap nanar ke pengancara Joko.
"Untuk dik Antasena Harsaya, mbak titip mas Abi ya. Jangan sampai kelelahan bekerja. Terimakasih atas semua sikap jenakamu selama ini dan membuat hidup mbak bewarna."
Antasena menangis dalam diam.
"Aku harap wasiat ini dilaksanakan secepatnya. Proses dan prosedur nya sudah aku serahkan semua pada pengacara Joko Waluyo dan notaris Dan Samuel."
Pengacara Joko memandang semua hadirin yang duduk sambil menangis. Bahkan dirinya sendiri melepas kacamatanya dan mengusap matanya yang basah.
"Semua harta yang disebutkan oleh almarhum nyonya Yanti sudah kami, maksud saya, saya dan notaris Dan Samuel urus tinggal proses penyerahan. Bahkan ibu Mirna sebagai kepala pelayan rumah tuan Abimanyu sudah mempersiapkan semuanya."
"Ya ampun Yanti, sampai meninggal pun masih seperti itu, memikirkan banyak orang" Isak Bu Darmanto.
"Nak Abi, soal tabungan Yanti..." Pak Darmanto menatap menantunya.
"Itu hak bapak sesuai dengan permintaan Yanti" jawab Abi bergetar menahan sedih mengingat isi wasiat istrinya.
Bahkan cincin nikah dan tunanganku pun kau minta jual Yan? Demi apa? Agar aku bisa move on? For God sake, Yan, apa aku tidak boleh menyimpannya?
Antasena memperhatikan Dara yang masih menatap kosong amplop yang diletakkan di pahanya. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Ingin rasanya Antasena memeluk tubuh langsing itu.
"Anta" suara Abi mengangetkan Antasena.
"Iya mas"
"Surat wasiat Yanti itu benar-benar khas dirinya ya" ucap Abi pelan.
"Iya mas". Antasena sendiri bingung hendak menjawab apa.
"Kenapa Yanti tidak pernah bercerita kalau dia bertemu dengan pengacara Joko dan notaris Dan Samuel ya?" kali ini Abi seperti bermonolog.
"Mbak Yanti selalu penuh kejutan" senyum Antasena.
"Iya dan ternyata aku sendiri tidak paham jalan pikirannya" gumam Abi.
***