Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
Semenjak Raga absen selama dua minggu penuh, Nadira berusaha keras menenangkan diri. Di balik senyum tipisnya saat meeting pagi, ia terus meyakinkan hati, “Mungkin dia cuma pulang kampung, biasa saja, seperti orang lain.”
Raga memang bukan tipe yang suka ribut—karyawan pendiam asal Koto Tuo itu selalu datang tepat waktu, dengan kopi hitam di tangan dan senyum sopan.
Tapi ketenangan itu rapuh tiga hal kecil yang terus menggerogoti pikiran gadis itu , membuat rasa was-was tak kunjung pudar.
Setiap kali nama Raga disebut di pantry atau obrolan santai, rekan kantor tiba-tiba beralih topik. “Eh, lupa, hari ini makan siang di mana ya?” atau “Proposalnya gimana nih?”—seperti ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari namanya.
Saat ia bertanya dengan HRD, jawabannya selalu singkat: “Tidak ada surat izin atau pemberitahuan apa pun, Mbak. Akunnya sudah nonaktif.”
Dan yang paling aneh, Pak Bram—bos divisi biasanya grasak grusuk sekarang wajahnya tampak pucat, gelisah, dan kerap menatap kosong koridor belakang yang sepi seperti melihat sesuatu yang tak kasat mata.
Malam itu, sepulang kerja Nadira naik Transjakarta dari halte Sudirman. Kota hiruk-pikuk seperti biasanya, klakson bersahutan di bawah, pedagang kaki lima berteriak, lampu neon toko-toko berkelap-kelip menyinari trotoar basah hujan sore. Semua terasa normal—bahkan terlalu normal seakan berpura-pura tidak mengerti.
Ia duduk di bangku pojok, earphone di telinga memutar lagu mellow, sambil scroll timeline Instagram. Hingga tiba-tiba, HP-nya menyala sendiri. Layar terkunci mati mendadak hidup, getarannya terasa di genggaman tangan.
Sebuah notifikasi email muncul di lockscreen. Pengirim: *raga@company.id. Subjek hanya sebuah tanda titik.
Nadira membeku. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang dipukul tak beraturan. Bukankah akun email Raga sudah dinonaktifkan seminggu lalu?
Tim IT sendiri mengatakan saat rapat darurat: “Akses ditutup otomatis setelah empat belas hari absen tanpa kabar, standar prosedur.” Tangannya gemetar saat membuka aplikasi email, jari telunjuknya hampir salah pencet
Pesan itu sederhana, dingin, hanya satu baris kalimat hitam polos:" Lu satu-satunya yang dapat gue percaya dan tidak pergi begitu saja.”
Sebuah lampiran— terbuka, gelap, samar-samar, seakan diambil didalam ruangan tua diterangi cahaya remang dari jendela kecil berdebu.
Ia membuka zoom detail. Di pojok kanan bawah, terlihat sosok duduk membelakangi kamera, kepalanya tertunduk, rambut gondrong diikat rapi, postur bahu sedikit membungkuk—mirip seperti Raga. Jantungnya nyaris berhenti.
Tapi yang benar-benar membuat napasnya tersangkut di tenggorokan bukan sosok itu. Di bagian atas foto, tergantung di dinding retak, tampak rangkaian bunga melati kering—diikat rapi dengan tali merah kusam. Mulut dan matanya melebar, melintas cepat: beberapa bulan lalu, Raga pernah memakai gambar melati sebagai wallpaper ponselnya. “Kenapa melati, Ga?”tanyanya iseng, dia hanya menjawab singkat menghindari kontak: “Cantik saja.”
Gadis itu menatap sekeliling kereta. Jakarta masih ramai di luar jendela, orang berlalu-lalang, motor zig-zag, warung makan menyala terang. Semua biasa, seperti tidak ada yang salah.
Hawa dingin menyelinap masuk menekan tulang sumsumnya, membuat tangannya menggigil. 'Ini bukan prank. Ini terlalu... pribadi.
Dengan cepat, ia menutup email menghapus dari layar. Tapi dalam hitungan detik—pesan itu lenyap sepenuhnya. Tidak ada di kotak masuk, tidak di spam, bahkan tidak di folder sampah. Seolah-olah tidak pernah dikirim sama sekali. Ia merestart HP-nya dua kali, cek cache email, tapi nihil. Hanya sisa gambar mental yang melekat, sosok Raga dan melati kering itu.
Sesampainya di kosan sederhana di Tebet, di bawah langit Jakarta yang mendung, Nadira duduk di pinggir kasur memegang secangkir teh hangat. Hujan gerimis, suara tetesannya terdengar seperti bisikan.
Saat itu baru ia menyadari sepenuhnya, tak bisa lagi menganggap Raga hanya “pergi”. Bukan pindah kerja, bukan mengundurkan diri diam-diam, bukan pula sekadar hilang kontak. Ada sesuatu yang menariknya pulang—ke suatu tempat, atau keadaan, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dari Koto Tuo, mungkin? Kampung halaman Raga yang jarang dibahas, penuh cerita leluhur aneh.
Dan tanpa ia sadari mulai tertarik masuk ke dalam pusaran. Besok pagi, ia berjanji didalam hatinya akan bertanya lebih dalam kepada Pak Bram. Atau mengecek laci meja masih terkunci.
\=\=
Keesokan paginya, Nadira tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukan karena semangat kerja atau deadline mendesak, tapi email misterius semalam—dengan foto samar Raga dan rangkaian melati kering—masih bergema di pikirannya, menolak untuk pudar. Firasat itu terlalu kuat, seperti panggilan tak terucap membawanya kembali ke tempat yang sama.
Pintu lantai ruangan remang-remang, sebagian besar lampu belum menyala, hanya sinar matahari pagi menyusup lewat tirai vertikal, membentuk garis-garis cahaya lembut di lantai marmer.
AC belum sepenuhnya dingin, meninggalkan udara pagi yang lembap dan tenang—terlalu tenang, seolah ruangan ini menahan napas. Langkahnya melambat saat mendekati sudut ruangan, instingnya langsung tertuju pada satu meja: milik Raga.
Meja itu tampak tak berubah sejak dua minggu lalu, seperti kapsul waktu yang tersegel. Laptop terkunci oleh tim IT, layarnya hitam pekat. Mug kopi dengan noda kering masih bertengger di sudut. Buku catatan tipis terselip di bawah tumpukan berkas.
Namun, ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat napasnya tersendat, sehelai kelopak bunga putih tergeletak di atas keyboard, tepat di antara tombol spasi dan enter, bunga Melati.
Ia mengerutkan kening, jantungnya berdegup lebih cepat. Meja ini tak disentuh siapa pun selama dua minggu—bahkan cleaning service dilarang membersihkan area "investigasi HRD".
Dengan berhati-hati, ia mendekat dan memungut kelopak itu, bukan plastik atau hiasan palsu, kelopak asli, lembut di ujung jari, dan anehnya... masih segar, seolah baru jatuh beberapa menit lalu, menyapa hidungnya, halus.
“Uh… Nadira? Kok pagi banget?”
Ia tersentak, kelopak itu nyaris terlepas dari genggamannya. Sinta dari divisi Finance muncul dari pintu masuk, tas selempangnya bergoyang pelan. “Eh… iya, Sin. Mau cari dokumen proyek,” jawabnya santai meski matanya tak lepas dari keyboard.
Sinta melirik ke arah meja, ekspresinya berubah tegang mendekat pelan, suaranya rendah seperti berbisik. “Dir… jangan-jangan lu sentuh meja Raga ya?”
“Kenapa?” firasat buruk sudah merayap dihatinya.
“Semalam cleaning service cerita waktu matiin lampu mendengar suara ‘klik-klik’ orang membuka laptop, padahal colokan udah dicabut semua, dan tercium bau bunga putih melati.”
Nadira menelan ludah, ingatan akan email semalam dan cerita Pak Bram tumpang tindih. Rasa dingin merambat dari tengkuknya, dan tanpa ia sadari menarik meja tidak terkunci, sebuah kertas kuning tua, buku catatan lama. Hanya ada satu kalimat tinta hitam “Jangan biarkan dia membukanya sendirian.”
Ia mematung, paru-parunya sesak, tidak ada tanda tangan, tidak ada konteks—hanya peringatan dingin yang menggantung.
“Dir? Lu kenapa pucat gitu?” Sinta menyentuh lengannya pelan.
Gadis itu melipat kertas kembali, memasukan ke dalam saku.
“Sin… gue harus cari alamat rumah Raga,” katanya mantap mengambil tasnya.
“Serius lu ? Sendirian?” Sinta membelalak.
Ia menatap meja itu sekali lagi, tatapan tak kasat mata. “Dia butuh orang yang bisa di percaya.” Ia berbalik pergi, meninggalkan ruangan sebelum keraguan menang.
Angin pagi kota Jakarta bertiup lembut… membawa wangi melati samar yang tak seharusnya ada di jalanan kota.