NovelToon NovelToon
ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."

Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.

Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!

Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.

Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 : Belenggu Pernikahan Darah

Hari yang paling ditakuti oleh Risa Permata akhirnya tiba. Langit di atas Desa Makmur tertutup mendung tebal, seolah-olah alam pun turut berduka menyaksikan keadilan yang sedang dikubur hidup-hidup. Hari ini bukan hanya hari pernikahannya dengan Doni Wijaya, melainkan hari di mana seluruh jerih payah ayahnya, Baskoro, akan berpindah tangan secara resmi kepada para pengkhianat melalui sebuah ikatan suci yang dikotori oleh kelicikan.

Risa berdiri di depan cermin besar di dalam kamarnya yang lama kamar yang kini terasa seperti sel penjara yang dihias bunga-bunga palsu. Ia mengenakan kebaya pengantin putih yang sangat indah, namun baginya, kain sutra itu terasa sekasar ampelas yang menggores kulitnya yang rapuh. Wajahnya yang pucat pasi ditutupi oleh riasan tebal hasil kerja perias suruhan Tante Dina. Riasan itu sengaja dibuat mencolok untuk menutupi lebam keunguan di leher dan pipinya yang didapat dari cengkeraman kasar Doni kemarin.

"Jangan berani-berani menunjukkan wajah murungmu di depan penghulu, Risa," Tante Dina masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, mengenakan kebaya mewah yang dibeli menggunakan uang tabungan darurat Risa yang ia curi. "Ingat kesepakatan kita. Satu tetes air mata salah di depan publik, atau satu kata penolakan saja, maka makam Ayahmu akan diratakan dengan tanah malam ini juga. Pamanmu tidak main-main."

Risa tidak menjawab. Matanya yang kosong menatap bayangannya sendiri di cermin yang retak di sudutnya. Ia merasa seperti mayat hidup yang sedang didandani untuk sebuah upacara pengorbanan. Harapan yang kemarin sempat ia miliki untuk kabur telah padam sepenuhnya setelah ia tahu bahwa seluruh akses keluar dari desa ini telah dijaga ketat oleh preman-preman bayaran Pak Surya.

"Ayo, turun sekarang. Doni sudah menunggumu. Jangan buat keluarga Wijaya menunggu terlalu lama," Tante Dina menarik paksa lengan Risa, menyeretnya menuju ruang tamu utama yang telah disulap menjadi tempat akad nikah sederhana namun dihadiri oleh orang-orang penting di desa yang sudah disuap.

Di sana, Doni berdiri dengan setelan jas hitam, tampak gagah namun memuakkan. Di sampingnya, Pak Surya dan Paman Hari sedang tertawa kecil sambil merokok cerutu mahal peninggalan Baskoro, seolah-olah mereka sedang menunggu pembagian harta karun yang sudah lama mereka incar.

Prosesi akad nikah berlangsung seperti mimpi buruk dalam gerakan lambat. Risa duduk di samping Doni di hadapan meja akad, merasakan hawa panas dan aroma alkohol samar yang memancar dari pria itu. Setiap kata yang diucapkan penghulu terasa seperti paku panas yang menghujam jantungnya. Saat tiba waktunya Risa untuk mengucap kabul, tenggorokannya tercekat hebat. Ia melihat ke arah Paman Hari yang duduk di barisan depan. Pamannya itu memberikan tatapan dingin sambil memegang sebuah pemantik api emas isyarat nyata bahwa ia siap membakar apa pun yang berharga bagi Risa, termasuk rumah ini, jika Risa berani mengacau.

"Saya terima nikah dan kawinnya Risa Permata binti Baskoro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" suara Doni terdengar lantang, bergema di seluruh ruangan dengan nada kemenangan yang tak tertahankan.

Dengan satu kata "Sah" dari para saksi yang merupakan kaki tangan Pak Surya, Risa resmi menjadi milik Doni Wijaya. Secara hukum dan agama, ia kini terikat pada monster yang ikut andil dalam membunuh ayahnya. Namun, sandiwara ini baru saja memasuki babak yang paling krusial.

Segera setelah ijab kabul selesai dan para tamu dipersilakan menikmati hidangan di halaman, Paman Hari dan Pak Surya langsung menggiring Risa dan Doni ke sebuah ruang kerja tertutup di bagian belakang rumah. Di atas meja jati ayahnya yang masih menyisakan aroma kayu yang khas, sudah tersedia tumpukan map merah tebal yang sangat Risa kenal isinya.

"Selamat atas pernikahan kalian yang sah," ujar Pak Surya dengan senyum sinis yang menjijikkan. "Sekarang, mari kita selesaikan urusan yang paling penting agar keluarga ini tetap stabil. Sebagai bentuk 'hadiah' pernikahan dan bukti baktimu pada suami, kau harus menandatangani berkas-berkas ini sekarang juga, Risa."

Risa melihat dokumen pertama dengan mata yang mulai mengabur oleh air mata : Surat Pemindahan Hak Guna Usaha Hutan Jati.

Dokumen kedua : Surat Kuasa Penuh Pengelolaan Aset PT Permata Rimba.

Dokumen ketiga : Akta Jual Beli Tanah Kediaman Permata kepada Doni Wijaya.

"Kalian gila..." bisik Risa, tangannya gemetar hebat hingga sulit untuk menggenggam jari-jarinya sendiri. "Kalian merampas semuanya dariku bahkan sebelum Ayah genap tujuh hari di bawah tanah. Ini bukan pernikahan, ini penjarahan!"

"Bukan merampas, Risa. Kami justru sedang menyelamatkan namamu," sahut Paman Hari sambil menyodorkan pena emas milik almarhum Baskoro ke tangan Risa. "Kau tidak punya otak untuk mengelola ini semua. Kau hanya akan bangkrut dalam sebulan. Dengan menandatangani ini, Doni akan menjagamu dan seluruh hutang fiktif—maksudku, hutang ayahmu akan dianggap lunas seketika."

"Aku tidak akan pernah tanda tangan! Bunuh saja aku!" Risa melempar pena itu ke lantai, membuat tinta hitamnya menodai marmer.

Doni, yang sejak tadi diam dengan ekspresi bosan, tiba-tiba bergerak dengan kecepatan yang menakutkan. Ia mencengkeram rambut Risa dari belakang, menariknya dengan sentakan kuat hingga kepala Risa terdongak paksa ke arah langit-langit. Risa memekik kesakitan yang luar biasa saat kulit kepalanya terasa seperti akan terkelupas dari tengkoraknya.

"Dengar, Istriku tersayang," desis Doni tepat di depan wajah Risa, napasnya berbau tembakau dan kebencian. "Statusmu sekarang adalah istriku. Di bawah hukum desa ini, kau harus patuh padaku atau kau akan dicap sebagai pembangkang. Jika kau tidak menandatangani ini dengan sukarela, aku akan mengambil jempolmu dan menempelkannya ke kertas ini setelah aku mematahkan jari-jarimu satu per satu agar kau tidak bisa melawan. Kau mau cara yang mana?"

"Paman, tolong aku... Paman adik Ayah..." Risa menatap Paman Hari dengan penuh harap, mencari sisa-sisa kemanusiaan dan cinta masa kecil di sana.

Namun Paman Hari justru memalingkan wajah, pura-pura sibuk melihat keluar jendela sambil menyesap cerutunya dalam-dalam. "Tanda tangan saja, Risa. Jangan membuat Doni marah. Ini demi kebaikanmu sendiri agar kau tetap punya tempat berteduh."

Risa menangis sejadi-jadinya. Suara tangisnya memecah kesunyian ruang kerja yang dulunya adalah tempat paling aman baginya. Ia merasa sangat terhina. Di rumahnya sendiri, di bawah foto ayahnya yang masih menatap dengan senyum hangat di dinding, ia dipaksa menyerahkan seluruh sejarah hidup dan harga dirinya kepada para perampok berseragam jas ini.

Dengan tangan yang gemetar hebat dan air mata yang jatuh membasahi kertas-kertas dokumen, Risa akhirnya membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Satu per satu, lembar demi lembar. Setiap goresan tinta itu terasa seperti sayatan pisau di hatinya, memotong habis harapan masa depannya. Ia baru saja melepaskan benteng pertahanan terakhirnya. Ia tidak lagi memiliki rumah, tidak lagi memiliki bisnis, dan kini, ia bahkan tidak lagi memiliki hak atas tubuhnya sendiri.

"Bagus. Anak pintar. Ternyata kau cukup cerdas untuk tahu mana yang menyakitkan dan mana yang tidak," Pak Surya segera mengambil dokumen-dokumen itu dengan mata yang berbinar penuh keserakahan. "Hari ini, sejarah baru bagi keluarga Wijaya dimulai. Desa ini sekarang ada di genggaman kita. Dan kau, Hari, komisi pertamamu akan segera mendarat di rekeningmu besok pagi."

Paman Hari tersenyum puas, sebuah senyum yang akan Risa ingat sampai napas terakhirnya. "Terima kasih, Pak Surya. Senang bekerja sama dengan orang yang visioner seperti Anda."

Risa menatap kedua pria itu dengan kebencian yang mendalam, sebuah api yang mulai membakar jiwanya. "Kalian akan membalas ini semua. Ayahku tidak akan tenang di alam sana melihat pengkhianatan ini. Suatu saat, kalian akan merasakan apa yang aku rasakan."

Doni melepaskan cengkeraman rambutnya dengan kasar, membuat kepala Risa terbentur cukup keras ke permukaan meja jati. "Ayahmu sudah jadi tanah, Risa. Dia tidak bisa menolongmu lagi. Dan kau? Kau sebaiknya belajar bagaimana caranya melayani suamimu dengan benar jika tidak ingin lebam di wajahmu bertambah."

Malam harinya, setelah tamu-tamu undangan yang munafik itu pulang, suasana rumah yang dulu penuh kehangatan berubah menjadi sangat mencekam dan sunyi. Paman Hari dan Tante Dina sudah berkemas terburu-buru untuk pindah ke rumah baru yang mereka beli dari hasil pengkhianatan ini, seolah-olah mereka tidak sabar untuk meninggalkan Risa sendirian di dalam sarang serigala.

Risa dikurung di kamar utama kamar yang dulu milik orang tuanya, namun kini telah dirusak auranya. Pintu kamar digembok dari luar oleh anak buah Doni. Risa duduk di pojok ruangan, masih mengenakan kebaya pengantin yang kini tampak seperti kain lusuh yang membungkus luka-lukanya.

Tiba-tiba, suara kunci pintu yang diputar dengan kasar terdengar nyaring. Doni masuk dengan botol minuman keras di tangannya yang sudah setengah kosong. Wajahnya merah padam dan matanya tampak liar, memancarkan nafsu dan kekejaman. Ia melempar botol itu ke atas sofa dan menatap Risa dengan senyum merendahkan yang sangat menusuk.

"Kenapa masih memakai baju itu? Kau pikir kau masih putri bangsawan?" perintah Doni dengan suara serak.

"Doni, tolong... aku benar-benar lelah secara fisik dan batin. Bisakah kita bicara besok pagi?" pinta Risa dengan suara yang hampir menghilang karena kelelahan.

Doni berjalan mendekat dengan langkah berat, mencengkeram bahu Risa dan menariknya berdiri dengan satu gerakan kasar. "Bicara? Untuk apa? Aku tidak membayar mahal pamanmu hanya untuk mendengarmu mengoceh tentang kelelahan. Kau sekarang adalah milikku sepenuhnya. Seluruh tubuhmu, setiap jengkal kulitmu, adalah properti milik Doni Wijaya!"

Doni mulai menarik paksa kebaya Risa. Suara kain sutra yang robek terdengar mengerikan di ruangan yang sunyi itu. Kancing-kancing mutiaranya terlepas dan beterbangan ke lantai marmer. Risa mencoba melawan, ia mendorong dada Doni dan mencoba lari ke arah pintu yang terkunci, namun Doni jauh lebih kuat. Pria itu menjambak rambut Risa kembali dan menyeretnya ke tengah ruangan seperti menyeret binatang buruan.

"Berani kau melawanku setelah semua yang kuberikan untuk 'menyelamatkan' keluargamu?!" teriak Doni. Ia melayangkan tamparan keras ke wajah Risa, membuat gadis itu jatuh tersungkur dan kepalanya menghantam kaki tempat tidur.

Risa merasakan telinganya berdenging dan cairan hangat mulai mengalir dari hidungnya. Ia menatap Doni dengan tatapan ngeri yang tak terlukiskan. Inilah wajah asli dari pria yang dianggap "penyelamat" oleh dunia luar.

"Aku sudah bersabar menunggumu selama berminggu-minggu sejak ayahmu mati, Risa. Aku sudah bersikap manis dan sopan di depan kamera wartawan tadi pagi. Sekarang, tidak ada lagi kamera. Tidak ada lagi saksi yang akan membelamu," Doni mulai membuka ikat pinggang kulitnya dengan gerakan yang lambat dan mengancam. "Aku akan mengajarimu dengan cara keras bagaimana caranya menjadi istri yang patuh dan tahu diri."

Risa mencoba berteriak meminta tolong, namun suaranya diredam oleh guntur yang kembali menggelegar dahsyat di luar jendela. Di rumah yang begitu besar ini, tidak ada satu pun orang yang akan menolongnya. Para pelayan lama ayahnya sudah dipecat secara sepihak dan diganti oleh anak buah Doni yang hanya setia pada kekerasan dan uang.

Malam itu, di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, Risa Permata merasakan kehancuran yang total sebagai manusia. Bukan hanya hartanya yang dirampas secara legal, tapi juga kehormatan dan martabatnya sebagai wanita diinjak-injak tanpa ampun. Siksaan fisik dan batin yang ia terima malam itu hanyalah babak pembuka dari neraka panjang yang akan ia jalani selama dua tahun ke depan di kehidupan pertamanya ini.

Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, Risa menatap ke arah jendela yang terus-menerus dibasahi air hujan. Di kejauhan, di antara kilatan petir, ia seolah melihat bayangan ayahnya yang menatapnya dengan duka yang tak terhingga.

Ayah... maafkan aku... aku telah gagal menjaga segalanya... aku telah kehilangan duniaku...

Dendam yang ia rasakan malam itu tumbuh menjadi sebuah entitas hitam yang pekat di dalam dadanya. Namun di kehidupan pertama ini, Risa hanya bisa menangis dalam diam di lantai yang dingin, membiarkan dirinya dihancurkan oleh badai kekejaman yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Ia belum tahu bahwa setiap tetes air matanya malam ini akan menjadi bahan bakar yang sangat panas bagi api pembalasan dendam yang akan meledak di masa depan.

Beberapa jam kemudian, Doni akhirnya tertidur di atas ranjang dengan dengkuran keras yang memuakkan, meninggalkan Risa yang meringkuk di lantai dalam keadaan hancur dan pakaian yang sobek. Saat Risa mencoba merangkak dengan sisa tenaganya menuju kamar mandi untuk membersihkan darah di wajahnya, ia melihat sebuah dokumen terjatuh dari saku jas Doni yang dilemparkan sembarangan di lantai.

Dengan tangan yang masih gemetar dan jari yang terasa patah, ia membuka dokumen itu perlahan di bawah cahaya remang. Ternyata itu adalah Polis Asuransi Jiwa atas nama Risa Permata, dengan nilai klaim triliunan rupiah, di mana penerima manfaat tunggalnya adalah Doni Wijaya.

Risa menyadari kengerian yang baru saja ia mulai: Doni tidak hanya menginginkan hartanya hari ini. Doni telah merencanakan kematian Risa bahkan sejak hari pertama mereka bertemu. Pernikahan ini bukanlah akhir dari penderitaannya, melainkan persiapan sistematis untuk sebuah pembunuhan legal lainnya yang akan membuat Doni kaya raya tanpa ada yang bisa menyentuhnya secara hukum.

1
Andira Rahmawati
hadir thor.. kerenn ...walau jln ceritanya agsk rumit sih👍👍👍
Ayu Nur Indah Kusumastuti: bener banget kak, tapi mungkin ini gaya authornya kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!