Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Ayah
Setelah pertemuan itu, Melodi dan keluarganya sudah sampai di rumah.
“Nak, tunggu dulu. Kamu nggak boleh bicara seperti itu,” ucap ibu pelan sambil menahan napasnya.
“Melodi kesel, Buk… harus nikah mendadak gini sama orang yang Melodi nggak kenal, nggak suka. Ibu kenapa sih nggak ngerti?” suara Melodi meninggi karena emosi.
Mendengar itu, ibu langsung diam. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu air matanya jatuh pelan.
Melodi terkejut melihat ibunya menangis.
“Buk… maaf. Melodi kelewatan marah ya sama ibu. Nggak maksud ngebentak,” katanya sambil menunduk.
Ibu mengusap air matanya.
“Kamu bicara yang sopan, Nak. Bagaimanapun itu calon mertuamu dan calon suamimu. Mereka harus dihormati. Ibu sedih sekali… kenapa anak ibu bisa bicara sekasar itu. Ibu tidak pernah mengajarkan hal yang tidak baik.”
Melodi langsung menggenggam tangan ibunya.
“Iya, Ibu… Melodi nggak akan gitu lagi. Maafin Melodi, ya.”
Melodi segera memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan hati wanita yang sangat ia sayangi itu. Hangatnya pelukan membuat ibu menghela napas pelan.
“Ya sudah… lain kali jangan seperti itu lagi, Nak,” ucap ibu lembut sambil mengusap kepala Melodi. “Jadilah Melodi yang sopan, yang baik… seperti anak Ibu yang Ibu banggakan.”
“Iya, Ibu… maaf ya. Melodi janji akan belajar jadi orang yang lebih baik lagi,” jawab Melodi lirih.
Ibu mengangguk kecil.
“Sekarang kamu istirahat dulu. Besok jangan lupa bilang sama bos kamu, si Dimas, kalau kamu sudah harus resign.”
“Iya, Buk… nanti Melodi pikirkan soal resign itu. Kalau begitu, Melodi masuk kamar dulu, ya.”
“Baik, Nak. Selamat malam. Tidur yang nyenyak,” kata ibu pelan.
“Selamat malam. Selamat istirahat, Ibu…” Melodi mengecup pipi ibunya penuh rasa bersalah dan sayang sebelum akhirnya melangkah menuju kamar.
Malam itu Melodi masih terjaga. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, sementara pikirannya berputar-putar tanpa henti. Nafasnya terasa berat.
“Kenapa harus begini, Yah…” bisiknya lirih, seolah ayahnya masih bisa mendengar.
“Gara-gara ayah… sekarang Melodi yang harus nikah sama anak Om Ruli…”
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Nikah sama orang yang bahkan seumuran sama Mbak Mira… mana mungkin Melodi siap?”
Ia menghela napas panjang, patah dan bingung.
“Melodi nggak mau sebenernya… tapi gimana? Janji ayah, utang ayah… semua jatohnya ke Melodi.”
Dadanya terasa sesak.
“Aghh… bingung, Yah. Kenapa juga harus ada perjodohan? Harusnya dibicarain dulu… harusnya ada kesepakatan.”
Ia berbalik ke sisi tempat tidur, memeluk bantalnya erat.
“Melodi cuma… nggak ngerti kenapa hidup harus serumit ini,” ucapnya pelan—hampir seperti keluhan, hampir seperti doa.
“ Ayah tau nggak… ayah udah nggak ada, tapi semuanya jatuhnya ke Melodi.”
Suara Melodi mulai bergetar. Matanya memerah menahan tangis yang sejak tadi ia tahan.
“Berat banget, Yah… jadi anak cewek tapi dari kecil apa-apa harus bisa sendiri.”
Ia menatap langit-langit, bibirnya bergetar.
“Kenapa ayah ninggalin Melodi waktu Melodi masih kecil? Melodi harus kerja sendiri… kuliah sendiri… berjuang sendiri.”
Air matanya akhirnya jatuh. Ia cepat-cepat mengusapnya, tapi yang lain terus menyusul.
“Dan sekarang… waktu Melodi baru mau ngerasain kerja enak, hidup tenang… malah tiba-tiba ada perjodohan.”
Ia menggeleng pelan, hatinya penuh luka yang selama ini dipendam.
“Ayah kenapa nggak bilang sih… kalau ada perjodohan kayak gini? Ayah nggak sayang sama Melodi ya?”
Kalimat itu pecah, keluar bersama isak kecil yang tak bisa ia tahan.
Semua kekesalan, kecewa, rindu, dan marah yang ia pendam selama bertahun-tahun akhirnya tumpah malam itu. Ia berbicara seolah ayahnya masih di sana—meski ia tahu, hanya dirinya sendiri yang mendengar.
Sampai akhirnya, setelah tangis yang panjang dan rasa sakit yang menekan dadanya, tubuhnya perlahan lelah.
Kelopak matanya berat.
Di tengah air mata yang belum kering, Melodi tertidur—masih membawa seluruh beban itu dalam mimpinya.