Hidup untuk yang kedua kalinya Selena tak akan membiarkan kesempatannya sia-sia. ia akan membalas semua perlakuan buruk adik tirinya dan ibu tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aulia indri yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 31
Dalam keheningan malam yang tenang dan sesekali terdengar suara lembut dari keyboard. Ruangan gelap hanya diterangi cahaya lembut dari komputer menayangkan dokumen pekerjaan.
Dalam keheningan ini terasa berat bagi Wirya. Karena bayangan itu—Ana terus menganggu dirinya—diliputi rasa bersalah dan hampa jika ia sedang sendirian.
Wirya menarik laci meja kecilnya. Melihat bingkai foto mendiang Ana. Perempuan itu memiliki wajah lembut dan senyum menenangkan.
Mata biru Selena diwariskan dari Ana. Penuh cahaya binar seperti langit di musim panas. Selena hanya mewarisi rambut putih milik Wirya.
Tangan Wirya mengelus lembut bingkai foto itu, seolah mengelus kulit Ana yang lembut. "Maafkan aku, semoga kau bahagia di surga Ana." suara Wirya lembut, penuh rasa kehilangan.
Wirya menutup bingkai itu. Menaruh kembali kedalam lagi, mengunci rapat. Tidak ada siapapun yang mengetahuinya—bahkan Evelyn sekalipun.
Jika dia melihat wajah selena—Wirya melihat Ana dalam dirinya, versi Ana yang menantang dan tidak kenal takut. Mengingatkan kejadian yang tak ingin ia pikirkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Flashback...
Saat itu perusahaan Wiranata sedang mengalami kerugian besar—terlalu sulit menutupi kerusakan karena butuh dana yang sangat besar. Terutama saat ini perusahaan Mahendra sedang naik daun, sulit menjangkau para peminat disaat perusahan.
Wirya dijodohkan oleh ayahnya—Wijaya dengan seorang gadis lembut nan anggun. Ana Alberta, pemilik perusahaan tekstil dari Rusia yang kebetulan memiliki cabang di Australia.
Wijaya dan Nathaniel—sang ayah Ana kebetulan teman dekat. Mereka berdua sepakat menikahkan putra dan putrinya untuk membuat perusahan yang akan dibagi menjadi dua itu tampak jaya kembali ke masanya.
Nathaniel yang merasa diuntungkan mengangguk setuju. Lagi pula putrinya sudah besar, sudah saatnya memiliki suami.
Wirya yang mendengar kabar perjodohan itu langsung menolaknya dihadapan wajah sang ayah. "Apa?! Perjodohan?! Dengan gadis itu?!" bentak Wirya tak percaya.
Dia menggeleng kuat menolak perjodohan ini. Hatinya masih milik Evelyn, meski wanita itu pergi bersama pria lain—Wirya masih mencintai Evelyn, sangat. Ia tidak siap menerima wanita lain apalagi menjadi istrinya.
"Lupakan wanita itu, dia miskin. Ana sangat pantas untukmu, hanya dia yang bisa membantu perusahaan kita." suara Wijaya tampak tidak memberi ruang untuk penolakan dari putranya.
Kepala Wirya menggeleng pelan, ia merasa mengkhianati Evelyn jika menikahi wanita lain.
Alis Wijaya mengerut tidak suka, wajahnya yang tua dan penuh tekanan tampak marah. Tangannya melayang, menampar pipi Wirya—tajam dan terasa panas menyengat
Suara tamparan itu menggema di ruang tamu. Bahkan Wirya pun membeku, tidak bergerak—satu-satunya yang ia rasakan hanyalah rasa kecewa karena ayahnya memaksa dirinya dan rasa panas bercampur perih di pipinya akibat tamparan itu.
"Anak tidak berguna! Hanya keluarga Alberta yang bisa membantu kita, dan berkatmu juga perusahaan kita hampir gulung tikar!" suaranya Wirya menggeram kuat, amarahnya memuncak seketika.
Wirya memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa menerima perjodohan ini jika hatinya milik Evelyn seorang.. Namun perusahaan mereka juga penting, ia tidak bisa membantu banyak. Bisa-bisa perusahaan ini hancur dan hanya tersisa nama.
Tapi menikahi seorang Ana Alberta? Gadis pendiam dengan pakaian kekanak-kanakan. Itu menjengkelkan, apalagi keluarga Alberta sangat misterius..
"Ini bukan soal cinta atau tidak. Ini tentang bagaimana perusahaan kita kembali jaya, itu saja." sambung Wijaya meyakinkan putranya—bahwa ini bukan tentang perasaan tapi tentang bisnis.
Dengan enggan Wirya mengangguk, ia menyetujui pernikahan ini. "Baiklah ayah."
pernikahan tidak meriah, hanya diketahui kalangan bisnis dan keluarga terdekat. Singkat tanpa ada adegan dramatis berlebihan karena pernikahan ini hanyalah sebuah perjanjian di atas kertas.
Ana tampak murung. Ia mengharapkan pria yang mencintainya—bukan pria yang menikahinya hanya sebatas sebuah saham.
Pernikahan mereka penuh keributan setiap hari. Tanpa jeda sehari pun bernafas lega. Wirya selalu melontarkan hinaan dan cacian maki. Jarang sekali tidak bermain tangan, selalu memukul atau menampar Ana.
Dua tahun pernikahan penuh kesengsaraan. Ana melahirkan bayi, seorang bayi perempuan—Selena. Bayi yang mewarisi rambut dari Wirya dengan matanya.
Kelahiran Selena terkadang membuat Wirya luluh. Jarang menghina Ana ataupun memukul wanita itu, Selena tampak seperti anugrah di hati Wirya yang menghitam.
Mereka berdua berjanji untuk tetap baik, hangat dan ramah dihadapan Selena. Jika Selena tidur atau bermain di luar, keadaan mereka kembali dingin seperti es.
"Ayah!" suara riang Selena dengan kegembiraan menular pada Wirya. Pria itu tersenyum, menyambut kedatangan Selena.
Selena kecil berjalan cepat ke arah ayahnya. Hampir terjatuh namun Wirya dengan cepat menahannya, memeluknya dengan kehangatan dan penuh cinta.
Ana tersenyum lembut, meski tidak ingin. Jika suaminya tidak bisa mencintainya—maka tidak apa-apa jika ia mencintai Selena. Karena Selena juga bagian dari dirinya—Ana merasa senang sikap Wirya sedikit melunak setelah 2 tahun seperti di neraka dalam balutan pernikahan.
"Selena mau eskrim!" ia menunjuk pada eskrim keliling yang melewati rumah mereka. Wirya tersenyum, mengangguk menyetujuinya.
Ana menghampiri, berdiri ragu disamping suaminya yang sedang menggendong Selena. "Kau mau eskrim juga?" tawar Wirya membuat Ana membeku sejenak karena kebaikan hati Wirya.
Ia mengangguk, pipinya merah tipis. "Ya, aku mau. Rasa vanilla." Wirya mengangguk setuju, memesan pada penjual eskrim sementara Selena sibuk memilih berbagai rasa
Gadis berusia 8 tahun itu menunjuk berbagai rasa dengan kegembiraan dan kepolosan. Membuat Wirya tersenyum geli. "Ambil saja semuanya princess.. Semua barang yang kau tunjuk harus menjadi milikmu, bahkan saat kau besar nanti. Semuanya milikmu."
Senyuman Selena semakin lebar, memeluk leher ayahnya dengan gembira. Mengetahui ayahnya akan selalu memanjakannya, ia merasa beruntung hidup dikeluarga ini.
Tangan Ana terangkat, mengelus rambut Selena dengan lembut. "Ayah mu baik."
Saat tengah malam hanya terdengar gesekan halus kain seprai. dan dengkuran lembut dari Selena. gadis kecil itu tidur dengan nyaman dan aman. Dikelilingi oleh kedua orang tuanya yang mencintainya melebihi apapun.
"Ana.. Kenapa kau tidak pernah meminta sesuatu.. Dariku?" suara Wirya tampak tidak yakin, namun entah kenapa bibirnya mengucapkan pertanyaan itu.
elusan Ana berhenti mengelus rambut Selena. Matanya menatap Wirya, dengan senyuman kecil dan ragu. "Meminta seperti apa?"
Wirya terdiam, ia tak berani menatap Ana. Mengapa jantungnya berdebar dengan sangat menyakitkan?
Benar juga, apa yang ia harapkan dari istrinya yang meminta sesuatu darinya. Apakah itu cinta dan kasih sayang darinya?
"Aku sudah senang kau mencintai Selena dan menyayanginya." suaranya lembut, mengelus rambut Selena kembali.
"Mengapa kau mudah terpuaskan?" tanya Wirya dengan bingung, tubuhnya sepenuhnya miring—agar benar-benar menatap istrinya. Tangannya tanpa sadar memegang tangan Ana.
Ana terdiam sejenak, tangannya kaku dalam genggaman Wirya. Ia menelan ludah, lalu menjawab meski suaranya gemetar. "Karena aku tidak bisa meminta sesuatu yang mustahil.."
karena jika ia meminta cinta dan kasih sayang dari suaminya seperti memindahkan bukit ke atas tanah yang gurun.
Mustahil dan tak pernah mungkin.