Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Tes DNA
Ternyata kehidupan di kota tidak ada bedanya dengan hidup di kampung. Orang kota jahat-jahat, mereka begitu arogan, bahkan kalau dipikir-pikir lebih tenang hidup di desa, tapi sayangnya ~~ Sari tersenyum getir dengan tatapan kosong. "Aku tidak memiliki tempat tinggal lagi. Kakek pernah bilang aku memiliki hak atas tanah yang dimilikinya, tapi nyatanya aku dibuang seperti sampah. Mereka benar-benar kejam padaku, bahkan mereka tega membunuh orang tua kandungnya sendiri. Andai saja aku memiliki kekuatan, aku pasti akan mengungkap kebenarannya, tapi sayangnya tak satupun ada orang yang memihak ku." Helaan nafas lelah terdengar begitu jelas keluar dari rongga hidungnya. Ia benar-benar lelah dengan keadaan. Andai saja ia tak memikirkan calon bayinya mungkin lebih baik menyusul keluarganya ke alam baka.
"Mas Jaka, kupikir dia tipe laki-laki yang setia, ternyata aku tertipu dengan rayuan manisnya. Diam-diam ternyata dia sudah memiliki tunangan dan hendak menikah. Kenapa dulu aku begitu percaya dan mau menjadi istrinya? Pada kenyataannya aku hanya digunakan sebagai pelampiasan semata. Sungguh bodoh aku ini, jika sudah seperti ini siapa yang patut untuk disalahkan?"
Untuk sekedar meneguk air saja terasa begitu berat. Ujian datang bertubi-tubi hingga membuatnya nyaris putus asa. Beban penderitaannya begitu besar, ditambah lagi mendengar rumor mengenai pernikahan suaminya membuat hatinya terkoyak sakit.
"Aku nggak boleh lemah. Aku masih memiliki anak yang nantinya akan menjadi teman baikku. Mungkin saat ini aku kesepian, tapi siapa tahu saja nanti aku akan mendapatkan kebahagiaanku dengan lahirnya anakku. Sekarang aku harus fokus menata diri dengan baik. Lupakan mas Jaka! Dia tak layak untukku!"
***
Di tempat lain tepatnya di kediaman Farhan, Laras mengomel kesal setengah bertemu dengan Sari. Ia pikir bakalan bisa mengusir Sari dari daerahnya, nyatanya gadis itu cukup berani melawannya. Ia mulai berpikir bagaimana bisa melenyapkan wanita itu agar tidak lagi muncul di hadapannya, termasuk di hadapan keluarganya?
"Kamu itu datang langsung marah-marah! Ada apa sih Ras?!"
Hesti sudah sangat hafal dengan sifat anak perempuannya yang memang cukup menjengkelkan. Laras memiliki warisan sifat dari ayahnya, sadis dan juga arogan. Hampir setiap hari berkumpul selalu saja beda pendapat dan berakhir perdebatan. Sebagai ibu ia sudah cukup bersabar menghadapinya, tapi tetap saja semakin ia diam semakin diinjak-injak harga dirinya.
"Enggak ada apa-apa! Cuma lagi kesel aja habis ketemu orang gila!"
Hesti geleng-geleng kepala menatapnya jengkel. Meskipun anak kandungnya sendiri ia tak begitu respect, sangat berbeda dengan Farhan, anak laki-lakinya itu masih dibilang sangat perhatian dan peduli terhadapnya.
"Setiap orang yang kau temui kau anggap gila! Apa kau pikir ucapanmu itu benar? Jangan suka men-judge orang Ras! Seolah-olah dirimu saja yang paling benar."
"Ya kan emang gitu kenyataannya! Di dunia ini nggak ada yang waras selain aku. Mama sama Abang sibuk mikirin orang yang nggak jelas asal-usulnya! Belum tentu juga si Sari itu anak kandungnya Abang! Sampai segitunya dibelain!"
Dari situ Hesti bisa menyimpulkan bahwa kejengkelan anak perempuannya ada kaitannya dengan Sari. Ya, sepertinya Laras kurang menyukai Sari.
"Oh..., jadi itu yang membuatmu jengkel? Kamu nggak seneng kalau tenyata Sari bagian dari keluarga kita? Percaya nggak percaya, dia tetaplah keponakanmu! Seharusnya kamu senang anggota keluarga kita bertambah, bukan malah ngomel-ngomel nggak jelas gitu!"
"Ya bukannya nggak seneng ma! Tapi coba Mama pikirkan baik-baik. Dia itu anak terlantar, belum tentu juga dia anaknya Bang Farhan. Siapa tahu saja Sari sudah bersekongkol dengan warga kampungnya untuk mencari keuntungan dari keluarga ini. Orang miskin itu licik ma! Mereka suka menunjukkan kesedihan buat meraih keuntungan!"
"Cukup Laras! Cukup! Hentikan omong kosongmu itu! Tidak semua orang kampung itu licik! Justru orang yang sok pintar seperti kita itu suka menjadikan orang-orang seperti mereka sebagai budak untuk meraih keuntungan. Jangan keterlaluan kamu! Mau tak mau kamu harus mengakui Sari sebagai keponakanmu!"
Laras menerkam kepalanya sendiri hingga membuat rambutnya acak-acakan. Setiap kali emosi ia selalu melakukan hal-hal di luar nalar. Hendak melakukan pemukulan terhadap ibunya rasanya tak mungkin, bisa jadi Farhan marah dan berakhir menghukumnya.
"Ma, sebenarnya apa hebatnya si Sari di mata kalian. Dia hanya anak kampung yang tidak pernah diakui keberadaannya oleh keluarga ini. Papa saja sangat membenci keluarganya, bahkan tak sudi menganggap ibunya sebagai menantu di rumah ini. Bisa-bisanya Mama terlalu berharap Sari menjadi bagian dari keluarga ini. Apa yang kalian harapkan dari wanita murahan itu. Sudah hamil di luar nikah dan kini sudah hampir melahirkan! Bikin malu saja!"
Alis Hesti tertaut menatap tajam penuh makna. Dia yakin Laras sudah pernah bertemu dengan Sari, tapi dia tidak mau memberitahunya.
"Sekarang jelaskan padaku. Dari mana kau tahu Sari hamil? Bukankah dulu kau hanya bertemu sekali, itupun masih belum ada pernyataan mengenai kehamilannya! Apa kau sudah bertemu dengannya?"
"A—apa sih Ma! Siapa juga yang bertemu dengannya! Aku nggak pernah bertemu dengannya. Aku kan denger sendiri Mama ngobrol dengan bang Farhan mengenai kehamilan Sari," bantah Laras.
Kegugupan Laras membuat Hesti curiga. Ia yakin anak perempuannya itu pernah bertemu dengan Sari.
"Sari! Aku harap kamu jujur! Jangan coba-coba untuk menutup-nutupi apapun dari kami, karena jika sampai abangmu tahu kamu berbohong, kamu bakalan nyesel!"
"Oh ayolah ma! Jangan menatapku seperti itu! Aku ini anakmu! Bukan musuhmu," bantah Laras. "Memangnya apa untungnya aku membohongi kalian? Hanya demi Sari sampai segitunya Mama marah padaku! Kalau memang benar Sari anaknya bang Farhan, suruh saja mereka melakukan tes DNA, jadi tahu kebenarannya! Jangan tiba-tiba mengkliemnya jadi anak, kalau ternyata salah kan nggak lucu!"
"Tanpa kau minta aku sudah melakukannya!"
Kedatangan Farhan dari rumah sakit membuat dua wanita beda usia itu terkejut dan refleks membalikkan badan. Hesti berjalan mendekat pada anak laki-lakinya dan meminta penjelasan.
"Maksud kamu apa sudah melakukannya? Memangnya apa yang sudah kau lakukan, Farhan?!"
Farhan membuka tas kerjanya dan mengeluarkan amplop berwarna coklat. Ia membuka isi amplop tersebut dan menyerahkan pada ibunya.
"Ini apa Farhan?" tanya Hesti dengan tatapannya tertuju pada amplop tersebut.
"Seperti yang dikatakan oleh Laras, aku harus melakukan tes DNA dengan Sari untuk mengetahui kebenarannya. Aku sangat bersyukur karena dia sudah bersedia mengingatkanku, hanya saja agak sedikit terlambat."
Laras tersenyum puas melihat amplop coklat di tangan ibunya. Ia berharap isi amplop itu tak sesuai dengan khayalan mereka.
"Kenapa nggak dibuka? Itu masih bersegel loh ma, ayo buka saja, karena dengan ini tidak ada kesalahpahaman diantara kita."
Dengan perasaannya yang tak tenang, Hesti mulai membuka segel amplop itu. Ia mengeluarkan kertas putih dengan tulisan ketikan komputer dan berstempel asli. Perlahan ia membaca dan menggulirnya hingga ke bawah. Sudut bibir terlukis senyuman yang indah. Dengan lantang ia membaca isi daripada kertas itu.
"Berdasarkan pemeriksaan antara Sari dengan Farhan memiliki banyak kesamaan. Sembilan puluh sembilan persen Sari dinyatakan anak biologis dari dokter Farhan.