NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Luar Garis Logika

Pukul 17.30. Langit di luar jendela mulai berubah menjadi ungu gelap. Sekolah seharusnya sudah sunyi, menyisakan hanya petugas kebersihan dan hantu-hantu legenda sekolah.

Namun, bagi Tsukishima Marika, hari belum berakhir. Sebagai Ketua OSIS, dia memiliki ritual patroli terakhir untuk memastikan semua lampu dimatikan dan pintu dikunci.

Dia berjalan menyusuri koridor menuju Gedung Olahraga. Langkah kakinya bergema teratur di lantai. Tak. Tak. Tak.

Namun, ritme langkahnya terganggu oleh suara lain.

DUM... DUM... DUM... CIT!

Suara pantulan bola basket yang berat dan decitan sepatu karet yang menyakitkan telinga.

Alis Marika berkerut. Jadwal penggunaan GOR untuk hari ini seharusnya berakhir pukul 17.00. Siapapun yang ada di dalam sana sedang melanggar aturan durasi penggunaan fasilitas sekolah.

Marika mendorong pintu ganda GOR.

Angin hangat berbau karet dan keringat langsung menerpa wajahnya. Di tengah lapangan yang luas dan remang-remang (hanya separuh lampu yang dinyalakan), seorang gadis sedang berlari sendirian.

Takae Yumi.

Dia bergerak seperti kilat, mendribble bola dengan kecepatan tinggi dari ujung ke ujung, melakukan lay-up, menangkap bola pantulannya sendiri, lalu lari lagi. Dia basah kuyup oleh keringat, napasnya memburu kasar, tapi matanya menyala liar.

Marika berdiri di pinggir lapangan, memperhatikan sejenak. Dia harus mengakui, secara objektif, gerakan Takae memiliki efisiensi kinetik yang luar biasa. Tapi aturan tetap aturan.

"Takae-san," panggil Marika. Suaranya tidak keras, tapi memotong gema pantulan bola dengan tajam.

Takae berhenti mendadak. Dia menangkap bola dengan satu tangan, lalu menoleh. Saat melihat Marika berdiri tegak dengan papan jalan di tangan, Takae mendengus. Dia menyeka keringat di dahinya dengan jersey-nya.

"Apa? Mau nagih uang kebersihan lagi?" tanya Takae sinis, napasnya masih terengah.

"Waktu penggunaan GOR habis 30 menit yang lalu," kata Marika, berjalan mendekat tapi berhenti di luar garis lapangan. "Pak Satpam mau mengunci gerbang. Kamu menghambat prosedur penutupan sekolah."

"Cih. Prosedur, prosedur," Takae memutar bola di jarinya. "Gue lagi on fire nih. Tembakan gue lagi enak. Kalo berhenti sekarang, feel-nya ilang. Lo nggak bakal ngerti."

"Saya tidak perlu mengerti 'feel'," balas Marika dingin. "Saya hanya perlu menegakkan jadwal. Pulanglah. Istirahat juga bagian dari latihan yang efisien."

Takae tertawa pendek. Dia mendribble bola pelan, berjalan mendekati Marika.

"Lo tuh bener-bener kaku ya, Ketua," kata Takae. "Hidup lo isinya cuma jam, aturan, sama garis lurus. Nggak bosen?"

"Keteraturan menciptakan hasil yang maksimal," jawab Marika otomatis.

"Maksimal apanya?" Takae berhenti dua langkah di depan Marika. Tingginya yang menjulang membuat Marika harus sedikit mendongak. "Lo bikin semua orang jadi robot. Termasuk si Sato itu."

Mata Marika menyipit sedikit mendengar nama itu.

"Sato-kun adalah pengurus OSIS sekarang. Dia menjalankan tugasnya dengan baik," kata Marika defensif.

"Dia jadi ngebosenin," potong Takae lugas. "Kemarin pas di sini, pas dia nantang gue rebutan bola... matanya beda. Ada nyali di situ. Ada api. Dia nekat, dia licik, dia hidup."

Takae menatap Marika tajam.

"Tapi sejak lo seret dia masuk ke 'benteng birokrasi' lo itu, gue liat dia di kantin tadi siang... jalannya nunduk, mukanya kusut mikirin kertas. Lo matiin apinya, Tsukishima."

Marika mencengkeram papan jalannya lebih erat. Tuduhan itu tidak berdasar. Dia menyelamatkan Ren dari ketidakefisiensian! Dia memberinya tujuan!

"Sato-kun memiliki potensi manajerial yang tinggi," balas Marika, suaranya sedikit meninggi. "Di OSIS, dia belajar tanggung jawab. Di sini? Bersamamu? Dia hanya akan belajar menjadi barbar yang tidak memikirkan masa depan."

"Masa depan?" Takae mendengus. "Masa depan itu nggak ada yang tau, Bu Ketua. Lo bisa ngerencanain semuanya rapi-rapi, tapi satu kali foul, satu kali cedera, semuanya bubar."

Takae melempar bola basket ke arah Marika.

Refleks, Marika menangkapnya. Bola itu berat, kasar, dan sedikit lengket oleh keringat.

"Coba lo shoot," tantang Takae.

"Apa?"

"Tembak. Ring ada di sana," Takae menunjuk ring. "Lo selalu ngatur dari pinggir lapangan. Sekali-kali cobain rasanya ada di dalem gema permainan. Cobain rasanya meleset. Cobain rasanya nggak sempurna."

Marika menatap bola oranye di tangannya. Dia menatap ring yang terasa sangat jauh.

Logikanya berkata: Ini bodoh. Ini buang waktu. Rok seragamku terlalu sempit untuk melompat.

Tapi kata-kata Takae mengganggunya. Lo matiin apinya. Lo kaku.

Marika mengangkat bola itu. Posturnya kaku. Dia melemparnya.

Bola itu melambung... dan jatuh satu meter di depan ring. Airball. Tidak kena sama sekali.

Takae tidak tertawa. Dia hanya menatap Marika dengan tatapan aneh. Bukan mengejek, tapi... kasihan?

"Tuh kan," kata Takae pelan, mengambil bolanya yang menggelinding kembali. "Lo takut salah. Lo nahan tenaga lo. Lo terlalu mikir."

"Saya bukan atlet," kata Marika, wajahnya memanas karena malu. "Itu tidak membuktikan apa-apa."

"Itu membuktikan kenapa Sato lebih cocok main sama gue daripada ngurusin kertas sama lo," gumam Takae, lebih pada dirinya sendiri.

"Ini bukan soal Sato-kun!" seru Marika, kehilangan ketenangannya. "Ini soal kedisiplinan sekolah! Berhenti membawa-bawa nama dia!"

Takae menatap Marika dalam-dalam. Dia menyadari sesuatu. Ketegangan di bahu Marika. Cara dia langsung defensif saat nama Ren disebut.

Takae menyeringai tipis. Seringai predator yang menemukan kelemahan mangsa.

"Oh..." Takae mengangguk-angguk. "Gue ngerti sekarang. Lo bukan mau ngelindungin dia dari gue. Lo mau nyimpen dia buat diri lo sendiri biar dia nggak 'liar'."

"Itu tidak logis!" bantah Marika cepat.

"Terserah lo deh," Takae memutar bola di jarinya lagi, lalu berbalik memunggungi Marika. "Tapi inget ya, Ketua. Api itu butuh udara. Kalau lo kurung dia terus di ruang ber-AC lo itu... dia bakal mati pelan-pelan. Atau dia bakal meledak."

Suara langkah kaki tergesa terdengar dari pintu GOR.

"Ketua! Takae-san!"

Kedua gadis itu menoleh.

Renjiro Sato berdiri di pintu, napasnya sedikit ngos-ngosan. Dia memakai badge OSIS di lengannya dan memegang sekantong kunci.

"Pak Satpam nyariin," kata Ren, melihat ketegangan di antara kedua perempuan itu. Dia merasakan atmosfer yang tidak enak, tapi otaknya terlalu lelah untuk menganalisisnya. "Dia mau ngunci gerbang depan. Kalau kita nggak keluar 5 menit lagi, kita bakal kekunci di dalem."

Marika langsung merapikan blazernya, kembali ke mode robot.

"Saya sudah memperingatkan dia, Sekretaris Sato," kata Marika tanpa menatap Takae. "Ayo. Kita kembali ke ruang OSIS untuk ambil tas."

Marika berjalan cepat melewati Ren, langkahnya tegas seolah ingin melarikan diri dari percakapan tadi.

Ren menatap Takae yang masih berdiri di tengah lapangan.

"Lo nggak balik?" tanya Ren.

Takae menatap Ren. Dia melihat badge OSIS di lengan Ren. Lalu dia tersenyum miring.

"Balik kok," kata Takae. Dia mendribble bola sekali, keras. DUM.

"Eh, Sato," panggil Takae saat Ren hendak berbalik.

"Ya?"

"Jangan terlalu lama di dalem ruangan," kata Takae, matanya serius. "Sekali-kali, main keluar. Lantai lapangan udah bersih, kan?"

Ren bingung, tapi dia mengangguk. "Iya. Kan gue yang bersihin."

"Bagus."

Takae melemparkan bolanya ke keranjang bola dengan tembakan three-point yang sempurna—masuk tanpa menyentuh ring. Swish.

Dia berjalan melewati Ren, menepuk bahu Ren pelan.

"Sampe ketemu besok. Gue masih nagih janji traktir lo," bisik Takae, lalu berlari kecil mendahului Marika keluar dari GOR.

Ren ditinggalkan sendirian di GOR yang mendadak sunyi. Dia menatap ring basket, lalu menatap pintu keluar di mana Marika menghilang.

"Kenapa sih semua orang hari ini aneh banget?" gumam Ren.

Dia mematikan lampu GOR. Kegelapan menyelimuti lapangan.

Di koridor, Marika berjalan di depan, Takae berjalan jauh di depan lagi. Ren berjalan paling belakang.

Marika tidak menoleh ke belakang. Tapi di kepalanya, kata-kata Takae berputar seperti kaset rusak.

Lo matiin apinya.

Dia bakal mati pelan-pelan.

Tangan Marika mengepal. Dia tidak mematikan apinya. Dia menjaganya agar tidak terbakar habis. Takae tidak tahu apa-apa soal bahaya. Takae tidak tahu apa-apa soal masa depan.

Tapi... lemparan airball tadi masih menghantuinya. Rasa ketidakmampuan untuk mencapai target. Rasa takut gagal yang membuatnya menahan tenaga.

Marika melirik ke belakang sekilas, memastikan Ren masih mengikuti mereka. Saat melihat Ren berjalan dengan langkah santai sambil menguap, bahu Marika sedikit rileks.

Dia aman, batin Marika. Selama dia di jangkauanku, dia aman.

Tapi untuk pertama kalinya, Marika merasa bahwa Takae Yumi bukan sekadar gangguan. Dia adalah ancaman bagi filosofinya.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!