Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelaku Penyekapan
Esok paginya sikap Satya terlihat biasa saja, dia kembali mengingatkan Hanin dengan buku maupun barang-barang yang harus dia bawa ke sekolah, karena selain gadis yang tak terlalu pintar Hanin juga gadis yang ceroboh dan tak teliti.
“Pastikan dulu semua persiapan untuk hari ini sudah kau bawa semua! Kakak tidak mau kembali lagi hanya untuk mengambil barang yang tertinggal.” Satya mengingatkan ketika dirinya sudah siap di atas motor.
Hanin terpaksa membuka kembali tas ranselnya untuk meneliti isinya. Berpikir dan mengingat apa yang mungkin tertinggal. Satya yang pada akhirnya menyebutkan jadwal pelajaran dan kegiatan hari itu dari A sampai Z. Juga perlengkapan lainnya. Hanin hanya senyum-senyum mengakui daya ingat Satya yang tokcer.
“Bagaimana?”
“Apanya?”
“Hani ...!”
“Iya, Kak, sudah semuanya,” jawab Hanin, tapi bukannya bergegas naik motor, Hanin malah ingin pergi lagi. Satya mencekal ransel milik Hanin mencegahnya pergi.
“Mau ke mana lagi?”
“Masih ada yang ketinggalan, Kak.”
“Apa?”
“Ikat rambut.”
Satya menghembus nafas kasar.
“Kalau kau masuk, kakak tinggal. Kakak sedang tidak mood untuk mendapatkan hukuman karena terlambat. Kau tahu kan ini hari apa?”
Hanin mengangguk tentu saja dia tahu hari itu hari Senin, siapa pun yang terlambat tak akan luput dari hukuman.
“Kalau begitu segeralah naik dan pegangan yang kuat!”
“Pakaikan dulu!” Hanin menyodorkan helm ke arah Satya, baru setelah memakai helm dia duduk membonceng Satya.
Sebenarnya Hanin masih sedikit trauma saat naik motor. Namun, dia belajar untuk menyingkirkan ketakutannya itu. Dia memeluk Satya sangat erat dan percaya Satya mampu membawa motornya dengan baik. Kecelakaan yang pernah terjadi karena kesalahan pengendara lain yang melanggar aturan lalu lintas bukan kesalahan Satya.
Udara di pagi hari masih sangat segar. Burung-burung kecil beterbangan dari satu ranting ke ranting lainnya dengan lincah, bersama kicauannya saling bersahutan. Angin yang berembus Masih terasa dingin, beruntung Satya dan Hanin mengenakan jaket cukup menghangatkan tubuh mereka.
Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan. Hanin pun tak berani membuka pembicaraan berpikir mungkin Satya masih marah dengan kejadian semalam. Baru setelah mereka tiba di tempat parkir sekolah Hanin menyinggung masalah itu di koridor menuju kelas. Hanin menahan langkah Satya yang panjang dengan meraih tangannya.
“Soal kelakuan Hani semalam Kakak tidak marah kan? Hani spontan saja, Kak,” kata Hanin tanpa menghentikan langkah mereka. Mungkin karena sebentar lagi bel masuk berdenting dan mereka harus berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Melewati murid-murid yang berjalan di depan mereka.
“Tidak perlu dibahas, lupakan!” sahut Satya, tapi Hanin tak cukup puas dengan jawaban seperti itu, masih membuat perasaannya tak tenang.
Mereka akhirnya tiba di depan kelas, di mana teman-teman mereka berkumpul menunggu waktu upacara. Di dalam ruangan ada Dirga, Zaki dan Rio seperti tengah menunggu kedatangan mereka. Begitu melihat Hanin dan Satya sedang berbicara cukup serius sampai tak menyapa, ketiganya meninggalkan ruang kelas bergabung dengan murid lainnya.
“Kak jawab dong ...,” rengek Hanin menarik-narik lengan Satya.
“Apa yang perlu kakak jawab?”
“Kakak marah, kan?”
“Mengenai apa?” Satya bertanya seolah apa yang terjadi semalam sama sekali tak berpengaruh, tapi Hanin tahu seperti apa saat Satya tengah marah, kecewa, kesal dan perhatian, dan sikap Satya hari itu pasti masih ada hubungannya dengan kejadian semalam.
“Kejadian semalam saat makan.”
“Kau maunya kakak menjawab apa? kau barusan menjelaskan kalau semua itu spontan, ya sudah tak perlu dibahas lagi, oke?”
“Benaran kakak tidak mempermasalahkan hal itu? Sebenarnya Hani yang malu, Kak, makanan itu terlalu lezat jadi sampai Hani lupa segalanya.”
“Stop! Jangan dilanjutkan.” Satya Menghentikan ocehan Hanin sambil menunjuk dengan jari. “Kita pergi ke lapangan!” lanjutnya, kemudian berlalu meninggalkan Hanin yang masih berdiri mematung.
Mereka meninggalkan ruangan bersama yang lain turun ke lapangan. Upacara bendera berlangsung hikmat dan lancar, mungkin karena cuaca pagi itu sedikit mendung.
Dalam upacara itu Kepala sekolah mengumumkan sesuatu yang penting, tentang penyekapan yang terjadi pada Hanin beberapa hari yang lalu. Kepala sekolah mengatakan sudah menemukan siapa siswa yang melakukan hal tak terpuji itu, dan pihak sekolah telah menghukum anak tersebut selama beberapa hari dan memberikan peringatan.
Semua orang bertanya-tanya siapa siswa itu, tapi Kepala sekolah tak menyebutkan namanya. Membuat semua penasaran termasuk Satya. Kepala sekolah berpesan pada semua siswa kejadian seperti itu tidak terulang kembali karena dia tidak akan segan untuk mengeluarkan anak yang melanggar aturan sekolah apalagi melanggar hukum.
Di jam istirahat Satya dan ketiga temannya menemui Kepala sekolah di ruangannya. Pria itu mengizinkan mereka masuk, tentu saja Dirga yang mengawali menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Kami ingin tahu siapa pelakunya, Pak, Satya dia kakak dari Hanin yang menjadi korban itu,” kata Dirga.
“Aku sudah tahu,” kata pria berusia sekitar 50 tahunan itu, dibalik kaca mata bacanya dia menatap mereka satu persatu.
“Jadi siapa anaknya, Pak?” tanya Zaki tak sabaran.
“Namanya Ferdyan, siswa kelas 11.”
“Ferdyan?” ketiga remaja itu saling berpandangan seakan tak percaya jika Ferdyan remaja kutu buku itu yang melakukannya.
“Itu tidak mungkin, Pak, Ferdyan itu pendiam dan hobinya belajar. Tidak mungkin dia pelakunya,” ujar Zaki.
“Mau bagaimana lagi, dia sudah mengakuinya,” kata kepala sekolah.
“Hanya pengakuan saja itu tidak cukup, Pak,” ujar Rio. “Apa alasannya dia melakukan itu pada Hanin?”
“Dia bilang dia menyukai Hanin, dan dia kecewa karena Hanin mengabaikannya, lalu terpikirkan akan Hal itu.”
Satya menggelengkan Kepala tak percaya. Dia bahkan belum pernah melihat Ferdyan mendekati Hanin, bagaimana bisa Ferdyan menjadi kecewa. Satya merasa ada sesuatu dibalik pengakuan Ferdyan yang aneh.
“Lagi pula untuk apa dia melakukan pengakuan itu yang bisa merusak nama baiknya sendiri?” Rio tanda tanya.
“Percayalah, Pak, Ferdyan tidak mungkin pelakunya. Apa bapak juga rela anak pintar seperti dia menjadi rusak nama baiknya. Sebaiknya pihak sekolah melakukan penyelidikan ulang, siapa tahu Ferdyan melakukan itu karena paksaan.” Ucapan Dirga kali ini cukup membuat Kepala sekolah tertegun. Melepas kaca matanya dan berpikir serius.
Pada saat itu dari balik pintu Hanin mendengar pembicaraan mereka. Rupanya dia mengikuti Satya dan teman-temannya diam-diam. Setelah mendengar nama Ferdyan sebagai pelakunya Hanin seketika meninggalkan tempat itu.
Hanin lebih dulu kembali ke kelas sebelum Satya dan teman-temannya. Dia terus saja melamun memikirkannya, mengingat saat dirinya tiba-tiba ditarik masuk ruang laboratorium lalu mulutnya ditutup kain. Meskipun tak melihat mereka, tapi ada sesuatu yang membuat Hanin mengenalinya, aroma parfum yang mereka gunakan jelas aroma parfum perempuan.
“Sedang melamun apa?” Satya datang, mencolek hidung Hanin sampai gadis itu terkejut.
“Dia jelas bukan Ferdyan, aroma parfum mereka jelas parfum perempuan,” ucap Hanin.
“Kau yakin?”
“Sangat yakin, Kak.”
“Bagaimana kalau ternyata Ferdyan menyuruh anak perempuan?” celetuk Rio, memberikan kesimpulan lainnya, membuat semuanya kembali pusing tujuh keliling.
“Yang perlu kita tahu alasan Ferdyan melakukan pengakuan itu, itu saja. Aku pikir sangat mustahil dia melakukan itu pada Hanin.” Dirga memberikan solusinya.
“Ya sudah, kita selidiki saja,” kata Rio langsung tanggap dengan apa yang sedang mereka bicarakan.