Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin pulang terus
Udara AC terasa dingin di kulit, tapi rasa dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding sikap Arjuna semalam. Anehnya, hal pertama yang Naya sadari saat bangun bukanlah dingin.
Tapi hangat.
Ada sesuatu yang hangat dan berat memeluk pinggangnya. Bukan sekadar melingkar, tapi memeluk erat, seolah Naya adalah guling.
Naya membuka matanya pelan-pelan. Wangi tubuh Arjuna—wangi musk yang semalam begitu pekat—kini menempel di mana-mana. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik lengan kokoh yang memeluknya. Tubuh telanjang mereka masih bersentuhan di balik selimut.
Naya menahan napas. Seluruh tubuhnya kaku, tidak berani bergerak sedikit pun. Ini... terlalu intim. Terlalu aneh. Sangat berbeda dengan pria yang memunggunginya dengan dingin tadi malam.
Di belakangnya, dia merasakan gerakan kecil. Pria itu bangun.
Arjuna membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah punggung Naya yang polos. Rambut panjang wanita itu menggelitik hidungnya.
Seketika, dia sadar sepenuhnya.
Dia sedang memeluk Naya. Erat sekali.
Dia tidak ingat kapan persisnya dia menarik Naya ke pelukannya. Yang dia ingat, semalam dia tidur membelakangi wanita itu, berusaha menenangkan sesuatu. Rasa bersalah? Kaget? Puas?
Dia sedikit kaget pada dirinya sendiri yang bertindak tanpa sadar, bahkan saat tidur. Tapi saat dia merasakan kelembutan kulit Naya di dadanya, sebuah senyuman yang sangat tipis—dan sangat jarang—muncul di bibirnya.
Dia harus akui, dia tidak menyangka malam tadi akan seperti itu. Begitu memuaskan. Jauh lebih dari yang dia bayangkan. Reaksi polos Naya, rasa sakitnya yang jujur, dan puncaknya yang meledak-ledak... semua itu membangunkan sesuatu dalam dirinya.
Masih enggan melepaskan, Arjuna menunduk. Dia mencium bahu Naya yang polos, lalu tengkuknya.
Naya tetap diam, tubuhnya kaku. Ciuman-ciuman ringan itu membuatnya bingung. Ini Arjuna yang sama?
Naya memberanikan diri bergerak sedikit agar bisa menatap wajah pria itu. "Mas..." suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Arjuna tidak menjawab. Dia hanya membenamkan wajahnya sejenak di leher Naya, menghirup wangi wanita itu dalam-dalam.
Akhirnya, dia bersuara, suaranya berat khas bangun tidur. "Selamat pagi."
Naya hanya mengangguk kecil, masih bingung harus bagaimana. Dia refleks menarik selimut lebih tinggi untuk menutupi dadanya.
Arjuna melihat gerakan itu. "Tidur lagi saja," katanya. "Kamu masih cuti sakit, 'kan? Istirahat."
Naya mengangguk lagi.
Perlahan, Arjuna melepaskan pelukannya. Naya langsung merasakan dingin di tempat lengan pria itu tadi berada. Arjuna bangkit dari tempat tidur, tubuh telanjangnya yang atletis terlihat jelas di cahaya pagi. Dia cuek saja, seolah menegaskan siapa dirinya.
Dia langsung masuk ke kamar mandi, dan tak lama, Naya mendengar suara pancuran air.
Naya berbaring di sana, bingung setengah mati. Apa yang baru saja terjadi? Arjuna memeluknya? Menciuminya? Sikapnya... Sangat lembut.
Saat Arjuna keluar dari kamar mandi—hanya berbalut handuk di pinggang—dia melihat Naya sudah memejamkan mata, napasnya teratur.
'Sudah tidur lagi,' pikirnya. 'Atau pura-pura tidur.'
Dia terdiam sejenak, memandangi wajah Naya yang terlihat damai. Ada perasaan aneh menjalari dadanya. Perasaan ingin melindungi.
Arjuna menggeleng pelan, mengusir pikiran itu. 'Jangan lupa,' batinnya mengingatkan. 'Dia cuma taruhan.'
Dia berdecak, lalu mulai bersiap ke kantor. Dia berpakaian, memakai dasi, dan menyambar tas kerjanya. Sebelum pergi, dia melirik Naya sekali lagi.
Di dapur, Arjuna biasanya hanya minum kopi hitam. Tapi pagi ini, tangannya otomatis bergerak. Dia mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas dan membuat dua porsi nasi goreng sederhana.
Dia meletakkan satu porsi di meja makan, menutupinya dengan tudung saji. Dia mencari kertas memo dan pena.
Naya, sarapan sudah siap. Habiskan. Aku ke kantor.
– A
Ya, ini cukup. Dia menaruh catatan itu di meja, menenggak kopinya, lalu pergi.
Di kantor, Arjuna tidak bisa fokus sama sekali. Pikirannya terus melayang kembali ke rumah. Bayangan Naya yang tidur di ranjangnya. Rasa kulit Naya. Desahannya.
Dia membanting pena di tengah rapat. Sial. Ini tidak benar.
Jam dua belas siang, dia menyerah. Dia membatalkan janji makannya dan menyetir pulang.
Naya sendiri menghabiskan pagi dengan linglung. Dia bangun satu jam setelah Arjuna pergi, menemukan sarapan dan catatan kecil itu. Hatinya menghangat sedikit. Arjuna membuatkannya sarapan.
Dia makan sedikit, lalu mandi air hangat untuk meredakan rasa pegal di tubuhnya. Selebihnya, dia hanya duduk di sofa, menonton TV tapi tidak memperhatikan.
Ketika bel pintu berbunyi, Naya kaget. Siapa?
Dia membuka pintu dan... Arjuna berdiri di sana, menenteng kantong kertas dari restoran.
"Mas? Kok... pulang?" Naya bingung.
Arjuna masuk melewatinya, seolah itu hal biasa. "Sudah jam makan siang," katanya datar. Dia berjalan ke meja makan dan mengeluarkan kotak makanan. "Aku bawa makanan. Ayo makan."
Naya mengikutinya seperti kerbau dicocok hidung. "Tapi... Mas 'kan biasanya makan di kantor?"
Arjuna berhenti, lalu menatapnya. "Hari ini aku ingin makan di rumah." Dia memandang Naya dari atas ke bawah. Wanita itu masih memakai piyama satin longgar. "Duduk."
Mereka makan dalam diam. Suasananya canggung. Arjuna makan dengan cepat, tapi Naya hanya mengaduk-aduk makanannya.
"Kenapa Mas pulang?" Naya tidak tahan untuk tidak bertanya.
Arjuna menatapnya. "Sudah kubilang, aku ingin makan siang di rumah."
"Bukan itu," Naya memotong. Suaranya sedikit bergetar. "Kenapa... kenapa pagi ini Mas... memelukku?"
Arjuna tahu maksudnya. Rahangnya mengeras. Dia tidak mau mengakui perasaan aneh yang muncul untuk wanita ini. Wanita yang dia nikahi hanya karena taruhan. Dia tidak seharusnya peduli.
"Itu tidak berarti apa-apa," jawab Arjuna dingin, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Hati Naya mencelos. Tentu saja. Bodohnya dia sempat berharap.
Dia meletakkan sendoknya. Nafsu makannya hilang seketika.
Tapi ada satu hal yang harus dia katakan. Sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak dia bangun tadi.
"Mas," Naya memanggil pelan.
Arjuna menatapnya, kesal karena keheningan mereka terganggu lagi.
"Soal semalam..." Naya meremas tangannya di pangkuan. "Aku... aku lagi nggak pakai pengaman. Aku tidak pakai kontrasepsi."
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin