“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 20
“Tahan sedikit, Sim. Ini memang sedikit perih,” ujar Sulastri, pelan.
“Apa dia tidak punya tangan untuk mengobati lukanya sendiri?!” Petter menatap tajam, badannya bersandar di pilar teras. kedua tangannya bersedekap di depan dada. Memperhatikan Sulastri yang dengan telaten mengompres wajah Dasim.
Sulastri tertegun sejenak, matanya melirik singkat. “Apa sampean tidak lihat tangannya juga babak-belur? Centeng itu harus diperingatkan biar tidak asal menghajar orang,” sahutnya ketus.
“Sudah aku peringatkan. Salah siapa dia tidak bertanya, malah celingak-celinguk di balik tembok pagar?!” ucap Petter, berbalik menyalahkan Dasim yang meringis kesakitan.
Sulastri mendengus pelan. “Huh, malah berbalik menyalahkan, dasar—”
“Biar Anderson yang mengobati, sepertinya Anne juga menangis di kamar,” sela Petter saat melihat kehadiran Anderson di halaman rumah.
Anderson yang baru saja turun dari mobilnya menatap penasaran pemuda bonyok yang ada di hadapan Sulastri. “Kenapa dia?”
“Di hajar Parli,” sahut Petter singkat.
Anderson menoleh ke arah Petter, matanya seketika berbinar, sudut bibirnya tersungging tipis. Wajah seputih susu itu tertekuk dengan alis mengkerut tajam. Dokter tua itu kemudian berdehem kecil.
“Ehm, biar saya saja yang mengobati, Nyonya. Pemuda itu sepertinya tidak butuh tangan lembut dan hangat untuk lukanya,” sindirnya, pelan. “Lebih baik anda menyiapkan ember air untuk memadamkan api sebelum semakin besar,” lanjut Anderson sembari mengambil bundelan batu es di tangan Sulastri.
Sulastri mengernyitkan dahinya— tidak mengerti maksud ucapan Anderson.
Dari dalam rumah, suara Mbok Sum terdengar samar. “Nduk … Noni cilik haus sepertinya?”
Sulastri kemudian beranjak dari duduknya, mencuci tangan di kran air yang ada di sudut teras. “Saya tinggal sebentar, ya, Sim?” pamitnya.
“N-ngeh, Den.” Dasim menjawab pelan sembari meringis, saat tangannya mulai di obati Anderson.
Petter yang masih berdiri di tempatnya menatap penuh curiga. Matanya menelisik Dasim, dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kenapa kau datang kemari, bukankah kau bekerja di punjer?!” tanyanya dingin.
“S-saya dipecat sepulang mengantar Den ayu malam itu, Tuan,” jawab Dasim, suaranya bergetar menahan perih di sekujur tubuhnya.
”Dipecat?”
“I-iya, Tuan. Den Kartijo menuduh saya menyembunyikan Den ayu saat tau beliau tidak pulang ke rumah orang tuanya.”
Petter berjalan pelan, mengambil cerutu di kantongnya lalu menyulutnya. “Darimana kau tau Sulastri ada di sini?”
Dasim mendesis kecil, alisnya mengkerut manahan sakit. “Pagi tadi saat mengantar juragan saya yang baru ke pasaran kliwon, saya mendengar para pedagang sedang membicarakan Den ayu. Saya kemudian pamit dari rumah juragan baru dan pergi kemari.”
Petter menghela napas kasar, satu tangannya merapihkan rambut gondrongnya yang tertiup angin. “Sudah selesai mengobatinya?!” tanya Petter pada Anderson yang nampak sudah menyelesaikan pekerjaannya.
“Aku hanya membersihkannya, suruh dia mandi dulu setelahnya akan aku berikan salep untuk lukanya,” sahut Anderson.
Petter menghisap cerutunya dalam, asap tipis mengepul, menguarkan aroma tembakau Deli yang khas. “Bersihkan dirimu di belakang, Mbok Sum akan menyiapkan kebutuhanmu.”
Laki-laki itu kemudian memanggil Mbok Sum, wanita sepuh itu dengan tergopoh berjalan keluar dari dalam kamar Sulastri.
“Sampean manggil saya, Meneer?” tanyanya.
“Bantu dia membersihkan diri, siapkan pakaian dan beri makan,” perintah Petter.
Mbok Sum tersenyum hangat, lalu menatap pemuda hitam manis yang masih meringis sembari memegang wajahnya yang sedikit bengkak.
“Mari ikut saya, Cah bagus?” ajaknya.
Dasim mengikuti dengan tertatih, badannya terasa remuk dan perih.
“Selesai mandi panggil Anderson terlebih dahulu, sepertinya ada banyak luka juga di badannya,” sela Petter saat Mbok Sum dan Dasim sudah melangkah pergi.
Mbok Sum tak menjawab, hanya mengangguk kecil tanda mengerti.
Anderson turut mengambil satu batang cerutu yang tergeletak di meja. Menghisapnya dalam, dahinya mengernyit kecil. “Kau membantu pribumi lagi?!”
Petter mengetuk ujung cerutu dengan jari, tatapannya datar. “Dia saksi kunci untuk persidangan Sulastri.”
Anderson mengangguk paham, bibir bawahnya mencebik samar. “Pantas saja kau begitu mengkhawatirkannya, rupanya dia kunci untuk masa depanmu?” sindirnya.
Petter melirik tajam, rahangnya mengetat. “Akhir-akhir ini kau sering melantur saat bicara? Apa ada yang salah dengan kesehatanmu?!” sungutnya sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Anderson terbahak seketika, satu tangannya menunjuk Petter yang sudah menghilang di balik pintu. “Bocah keras kepala itu, gengsinya masih besar saja,” gumamnya. Laki-laki itu kemudian berjalan pulang ke paviliunnya.
Bulan menggantung di balik awan mendung, suara burung hantu terdengar sendu di dahan pohon randu.
Di teras samping, Dasim terus-terusan mengaduh saat Anderson selesai mengoleskan salep obat luka membuat sekujur badannya bak disayat-sayat perihnya.
“Setelah ini minum obatmu biar tidak infeksi,” ujar Anderson sembari membereskan peralatannya.
Dasim mengangguk pelan, mulutnya masih mendesiskan kesakitan.
Dari dalam rumah, Sulastri keluar membawa teh hangat dan rebusan ketela. Sore tadi Pak No membawa dua batang ketela klenteng yang terkenal pulen dan emprul untuk cemilan malam.
“Minum tehnya dulu, Dokter?” tawar Sulastri.
Anderson tersenyum hangat. “Tidak usah, Nyonya. Istri saya tadi sudah menyiapkan juga di rumah, sampean minum saja, atau berikan pada si keras kepala.”
Sulastri tertawa kecil, lalu meletakkan nampan di meja. “Dokter ini seperti musuh bebuyutan dengan Meneer,” celetuknya.
“Suruh siapa dia tidak menurut dengan orang tua.” Anderson menyahut cepat, kemudian terkekeh singkat. “Ya sudah, saya pamit dulu, jangan lupa habiskan obatnya dan olesi salep tiap habis mandi, Jul.”
Dasim yang namanya berganti Bajul kembali mengangguk.
Sulastri tersenyum hangat, lalu mendudukkan bokongnya di kursi rotan. “Maaf, Sim. Gara-gara saya kamu jadi babak belur begini.”
Dasim mengambil teh hangat, menyeruputnya sedikit lalu menyomot sepotong ketela. “Saya yang salah, Den, harusnya tidak ngintip-ngintip di rumah orang,” sahutnya sembari meniup ketela di tangannya.
“Kenapa kau sampai keluar dari punjer, Sim?”
“Wanita ular itu menghasut Den Kartijo, saya sudah menjelaskan tapi tetap saja dia tidak percaya. Tapi tak apa … saya memang berniat keluar dari rumah itu,” jelas Dasim.
“Kenapa begitu?” tanya Sulastri, matanya menyipit—penasaran.
Dasim menghela napas pelan, lalu menggigit sepotong ketela. “Ya tidak apa-apa, sudah tidak betah saja. Den ayu sendiri, bagaimana bisa berada di rumah ini, bukankah malam itu Den ayu naik angkutan desa?”
Sulastri menyesap teh hangatnya, sudut bibirnya terangkat tipis. “Pickup yang terparkir malam itu ternyata bukan angkutan desa, tapi milik Meneer. Dia juga yang membantuku dan menyelamatkan nyawa anakku.”
Dasim terbelalak, alisnya mengkerut tajam. “Ndoro cilik ….”
“Dia baik-baik saja, andai malam itu tidak bertemu Meneer mungkin ceritanya berbeda,” ujar Sulastri sedikit berkaca-kaca.
Dasim mengusap dadanya sembari menghembuskan napas—lega. “Maaf, Den, malam itu saya benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Saya—”
Sulastri menepuk pelan pundak Dasim. “Kamu sudah membantu banyak, Sim,” ujarnya lembut.
Dasim menunduk layu, seolah beban yang mengganggu pikirannya selama ini jatuh dari bahunya. Laki-laki itu kemudian menegakkan badannya, gurat amarah tergaris di wajahnya.
“Tapi orang-orang itu terlalu jahat, bahkan mereka menebar fitnah mengenai Den ayu dan Meneer.”
Sulastri tersenyum lembut. “Orang-orang itu tidak jahat, mereka bicara kenyataan,” ucapnya dengan suara tenang namun ada kegetiran di dalamnya.
Dasim mendengus kasar, matanya menatap tajam. “Mereka salah, Den—”
“Salah ataupun benar, mereka tidak akan perduli, Sim. Apa yang terlihat itu yang mereka nilai,” sergah Sulastri cepat.
Ia kembali menyesap teh hangatnya. “Sekarang kau lihat, saya ada di sini, tinggal bersama laki-laki lain, bagaimana mungkin orang diluaran sana tidak berpikir macam-macam?”
“Tapi—”
“Awalnya saya juga tidak terima dengan yang mereka gunjingkan, tapi lambat laun saya berpikir, kenapa saya harus perduli? Toh, mereka tidak mencukupi bahkan tidak membantu hidup saya.”
Dasim menyurai rambut ikalnya, tatapannya melembut. Rasa malu terselip di senyum getirnya, kesabaran Sulastri seolah menyadarkannya perlahan.
“Ya sudah, Sim, besok kita bicara lagi, sekarang istirahatlah dulu,” ujar Sulastri sembari beranjak dari duduknya. “Jangan lupa minum obatmu,” lanjutnya, kembali mengingatkan pesan Dokter Anderson.
“Nggeh, Den,” sahut Dasim pelan.
Semetara itu, Petter yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka dari balik jendela, tersenyum tipis. ‘Wanita itu bisa berpikir rasional juga ternyata,’ batinnya dengan wajah merona.
Bersambung.
Cie cieee Petter ... 🤭
Komen tolong komennn ...
Amatir ini butuh amunisiii 🔥