NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:255
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mendapat Pekerjaan

"Masa makan siang di rumah sakit. Gak enak banget," jawabnya.

Aku terkekeh mendengarnya, "kan sama aja, tetep makan siang namanya."

"Gak mau, tetep beda walaupun makan siangnya tetep sama kamu," ucapnya.

"Ya udah kalau gitu sana pergi!! Aku mau makan siang dulu," usirku bergurau.

Hanif menekuk wajahnya, "kamu ngusir? Oh gituuuu!"

Laki-laki itu beranjak dari ranjang, sontak aku tertawa karena kelakuannya.

"Abisnya diajak makan siang bareng malah gak mau," ucapku.

Hanif berbalik padaku, "ya udah boleh. Tapi lain kali ajak makan siangnya jangan di rumah sakit lagi ya?"

"Emang siapa yang mau ajakin makan siang lagi?" gurauku membuat laki-laki itu mendelik kali ini.

Aku lagi-lagi terkekeh melihat ekspresinya, "iya lain kali aku ajakin makan siang di luar rumah sakit."

Hanif terkekeh mendengarnya—ia pamit untuk mengambil bekal makan siangnya di ruangan kerja lalu akan kembali ke ruang perawatanku untuk makan bersama.

Tidak butuh waktu lama, Hanif sudah kembali dengan kotak bekalnya. Ada nasi semangkuk kecil, ditambah kacang panjang dan tempe kecap—ikan kembung goreng ditambah sambal ditempat terpisah.

"Mau gak ikannya?" tawarnya membuatku menggelengkan kepala.

Sebenarnya, makanan dari rumah sakit juga memang membuatku kenyang jika dihabiskan. Tapi tidak dengan rasa mual yang kerap muncul ketika melihat nasi yang cukup lembek.

"Kenapa kayak yang gak nafsu gitu makannya?" tanyanya.

Aku kembali menggelengkan kepala, "bukan gak nafsu, tapi benyek aja makanan aku. Kayaknya kalaupun gak dikunyah bakal langsung nyampe usus."

Hanif terkekeh mendengarnya, "ya sabar dulu. Kan emang lagi masa penyembuhan, lambungnya masih belum kuat mencerna yang keras."

"Lagian suruh siapa sih pake makan mie pedes pake pangsit juga," ucap Hanif.

Aku mendelik padanya. Laki-laki itu terkekeh pelan sembari menaruh buah yang ia bawa, "harusnya labrak aja kemarin pas di tempat makan itu. Terus tanyain, kan gak bakal kayak begini."

"Jadi salah aku nih?" tanyaku dengan wajah yang ditekuk.

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya sembari menahan senyuman, "salah aku yang batalin makan siang gitu aja. Padahal kamu juga udah siap dan dandan cantik."

"Aa....." protesku membuat laki-laki itu terkekeh sepenuhnya.

Setelah makan siang selesai, Hanif melirik jam di tangannya. Laki-laki itu harus kembali bekerja karena jam istirahat sudah selesai.

Ia pamit dengan kotak bekalnya. Begitupun dengan teteh sepupu yang baru saja masuk setelah menghilang meminta seprei diganti tadi.

Aku menoleh padanya lalu bertanya, "teteh abis darimana?"

"Tadi abis minta ganti seprei, abis itu pergi ke taman sambil telepon anak teteh. Gak berasa udah waktunya makan siang, pas liat ke ruangan lagi ada yang apel. Makanya pergi ke kantin aja buat makan siang," jelasnya.

Aku mendecak mendengarnya, "apel apa sih teh? Kita cuman—"

"Udah jelas-jelas pada saling suka, masih mau berdalih," selanya membuatku terdiam dengan senyuman.

Beberapa Hari Setelahnya,

Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Bapak juga mamah sudah datang menjemput, tidak lupa dengan abang yang sudah datang lebih dulu karena memang dari rumahnya yang tidak jauh dari rumah sakit.

"Kamu gak mau tinggal sementara di rumah abang aja?" tanya abang membuatku menggelengkan kepala.

"Katanya kemarin mau cari kerja. Bapak juga udah bicara sama abang, mending tinggal aja dulu di rumah abang sementara," ucapnya.

Aku mendelik padanya, "adiknya baru aja dibolehin pulang setelah dirawat bang. Kamu malah nyuruh cari kerja aja."

"Ya kan siapa tau mau coba kerja buru-buru. Soalnya kemarin abang denger kalau PAUD di deket abang itu lagi butuh guru," jawabnya.

Aku menoleh padanya, "emangnya iya bang? Boleh gak ya kalau bukan lulusan S1."

"Kayaknya bisa deh. Kenapa gak kamu coba aja dulu, kan lumayan juga," ucap abang membuatku mengangguk.

Aku memilih kembali ke rumah abang. Masa bodoh dengan perkataan teteh ipar yang kadang buat kesal, tapi setidaknya aku bisa mendapatkan pekerjaan dan juga izin dari orangtua juga abang.

Kebetulan abang juga mengenal orang yang mengelola PAUD itu. Abang juga yang mengantarku ke rumahnya untuk melamar pekerjaan yang dibutuhkannya kemarin.

Alhamdulillah-nya, mungkin memang sudah rejeki. Aku diterima bekerja, sekalipun gajinya memang tidak akan sama dengan guru lain. Aku setuju untuk menerima pekerjaannya, tidak apa-apa—toh sudah bersyukur aku diterima kerja dengan jalan yang cukup mudah.

Hari senin nanti, aku mulai bekerja menjadi guru PAUD di daerah rumah abang. Rasanya tidak percaya jika aku akan memulai begitu cepat.

Sekalipun untuk pertama kalinya merasa berat meninggalkan rumah, tapi orangtuaku juga mendukungnya. Jarak rumah abang dan rumah orangtua juga tidak terlalu jauh. Hanya dengan perjalanan 1 jam saja sudah bisa sampai.

Singkat cerita, Aku memilih kembali ke rumah orangtua pada akhirnya—setelah memastikan pekerjaan tadi.

Aku mulai mengemas beberapa pakaian dan juga mempersiapkan semua yang aku butuhkan untuk bekerja nanti. Tidak lupa dengan kebutuhan selama menginap di rumah abang.

Hari Minggu Sore,

Aku sempat membeli sepatu dan juga beberapa peralatan lainnya untuk mengajar. Lalu pulang ke rumah abang dengan barang-barang yang dibawakan oleh bapak.

Abang menggelengkan kepalanya, "kamu mau pindah berapa tahun?" tanyanya, "bawaannya banyak banget begitu."

"Namanya juga anak perempuan bang," ucap bapak membuat abang mengangguk dengan kekehannya.

Ia membantu bapak untuk membawa beberapa barang yang kubawa. Lalu menaruhnya di kamar tamu.

"Beresin sendiri ah!!! Abang mau pergi main voli dulu di lapangan komplek ya," izinnya lalu pamit setelah bapak kembali juga.

Teteh ipar terlihat belum pulang, bahkan saat aku sudah selesai membereskan pakaian dan juga barang lainnya.

Teteh emang suka pulang malem ya?

Bukannya kerja di pabrik 3 shift?

Kok kerjanya seharian?

Terus juga dia gak inget sama suami apa gimana?

Masakan gak ada, malahan kayaknya gak disediain.

Aku memilih memasak nasi lebih dulu, lalu pergi ke lapangan voli yang dimaksud abang untuk melihat permainannya.

Memang bukan perlombaan, hanya main dengan beberapa kawan sekampungnya seperti biasa. Hanya untuk hobi dan berolahraga saja.

"Loh kamu lagi ada di sini Ri?" tanya seseorang membuatku menoleh lalu tersenyum.

"Iya, mulai hari ini tinggal di rumah abang," jawabku.

Hanif mengangguk paham, "bosen di rumah orangtua terus?"

Aku terkekeh mendengarnya, "cari kegiatan baru aja a. lumayan bosen juga kalau sendirian di rumah terus."

"Ohhh gituuu!!!"

"Aa lagi voli juga?" tanyaku.

Hanif mengangguk, "kan barusan main sama abang kamu," jawabnya.

Abang menghampiri kita berdua, "kalian saling kenal?"

Aku menoleh lalu mengangguk menjawabnya.

"Jangan-jangan yang kata Teteh—"

Aku langsung menariknya untuk pulang.

"A, aku pulang dulu yaa!" pamit ku.

"Neng kamu kenapa sih? Kok main tarik abang begitu?" tanya abang heran.

"Dia kan yang dimaksud sama teteh? Kan dia kerja di rumah sakit juga," tanyanya lagi.

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!