Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Pagi menyapa istana Lang dengan sinar yang jujur. Tiada kesibukan berlebihan, tiada wajah pucat yang berteriak. Selir Xu tidak muncul di jamuan sarapan; kabarnya ‘kurang enak badan’. Tak ada penyelidikan, tak ada gelombang. Hanya satu kursi kosong yang terasa ane lebih sunyi dari sebelumnya.
Yun Sia duduk di antara Kaisar dan Permaisuri, menyantap bubur hangat sambil menggerakkan rusa kayunya di atas meja seperti ia tengah mengajaknya berjalan. A-yang duduk beberapa bangku dari mereka, memperhatikan dari jauh dengan mata yang hanya tampak santai. Mochen berada dekat pilar, juga tampak santai. Liyan menata jadwal, juga tampak santai.
Yun Sia menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya, lalu mengangkat mata pada A-yang dan tersenyum kecil. Senyum itu tidak berkata apa-apa, tetapi A-yang menghela napas lega seperti seseorang yang baru saja memeriksa luka yang tak jadi ada.
Setelah sarapan, Permaisuri mengajak Yun Sia berjalan di taman dalam. Mereka menyusuri kolam ikan koi, membicarakan hal-hal kecil tentang warna favorit, tentang bunga yang dulu sering dipetik, tentang keramik yang pecah dan ditempel ulang. Yun Sia mendengarkan dengan mata penuh, menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil seperti menanam biji di tanah baru.
Di sudut taman, seorang pelayan muda menjatuhkan nampan. Piring beradu, pecah. Ia menangis, ketakutan oleh bayang-bayang hukuman. Yun Sia berjongkok, memungut pecahan keramik, dan tersenyum pada pelayan itu. “Tidak apa-apa. Lain kali pegangi lebih dekat ke dada. Benda yang jatuh karena jauh dari jantung biasanya lebih mudah pecah.”
Pelayan itu terkesiap, mengangguk, dan pergi dengan mata berkilat.
Sore hari, A-yang mengajak Yun Sia menunggang kuda kecil di halaman belakang—bukan resmi, bukan upacara. Hanya angin, rumput, dan langit yang terlalu luas. Yun Sia tertawa setiap kali kudanya melompat kecil, dan A-yang menahan tali kekang dengan tangan yang sudah terbiasa memegang nasib banyak orang, kini memegang sesuatu yang jauh lebih rapuh dan berharga.
“Jangan terlalu kencang,” kata A-yang.
“Kenapa?” tanya Yun Sia
“Karena jatuh sakit rasanya lebih buruk dari jatuh cinta,” jawabnya kering.
Yun Sia tertawa, dan kudanya menurut perlahan, seolah mengerti lelucon manusia.
"Ayang!"
"Hm?"
"Aku tidak mau di tinggal pergi, jika kau pergi aku ikut ya" ujar Yun Sia
"Apa kau tidak suka disini?" tanya A-yang
"Suka jika ada ayang, tapi jika tidak ada. Aku tidak suka" jawab Yun Sia
"A-yang terdiam lalu tersenyum kecil, "Baiklah tuan putri kau akan ikut kemanapun aku pergi"
"Ayang kamu mulai nakal, jika kamu kekamar mandi aku juga harus ikut?" goda Yun Sia dengan wajah polosnya dan itu membuat A-yang memerah malu.
---
Malam kembali turun. Lentera kembali menyala. Dan di sudut yang sama, Selir Xu duduk menatap cermin, pucat yang tak bisa disembunyikan bedak. Ia mengingat kata-kata yang tak seharusnya terdengar semalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ditatap oleh sesuatu yang lebih tua dari permusuhan.
Ia tidak tahu bahwa rasa pahit di lidahnya telah berpindah tempat. Ia tidak tahu bahwa keheningan di istana adalah tangan yang lebih kuat dari jerat. Ia hanya tahu satu hal, siapa pun gadis itu, ia bukan mangsa.
Di kamar kecilnya, Yun Sia meletakkan rusa kayu di meja, menepuk kepalanya seolah berterima kasih. Ia mengganti pakaian, duduk di tepi ranjang, dan untuk sesaat, membiarkan bahunya jatuh lelah yang jujur.
A-yang mengetuk pintu dan masuk dengan segelas teh hangat. “Minum.”
Yun Sia menerima dan menyesap. “Manis.”
“Karena malam tidak perlu pahit,” jawab A-yang ringan.
Yun Sia tersenyum. Ia menaruh cangkir, berdiri, dan tanpa kata, menyusup memeluk lengan A-yang dengan cara yang sangat kekanak-kanakan.
“Capek?” tanyanya lembut.
Yun Sia mengangguk, pipinya menyentuh kain jubah. Lalu ia mendongak, mata bening bening yang menyimpan langit, petir, dan hujan dalam satu lingkar.
“Aku baik-baik saja,” katanya.
A-yang menepuk punggung tangannya. “Aku tahu.”
Di luar jendela, angin bergerak seperti bisik-bisik. Di dalam kamar, dunia mengecil dengan cara yang indah dua manusia dan sebuah rusa kayu yang menjadi saksi bahwa kekuatan tidak selalu berbunyi, dan kemenangan tidak selalu meninggalkan bekas.
Malam merayap, tetapi tidak mencakar. Ia hanya menutup, seperti selimut tipis.
Dan untuk saat itu hanya untuk saat itu Yun Sia membiarkan dirinya menjadi gadis kecil yang pulang, bukan putri yang harus berdiri.
Bersambung