"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Bendera Kuning
Nadine cuma menggeleng saja. Ia merasa, situasi kali ini sangat diluar dugaan. Apalagi sejak kedatangan dokter Hans.
"Kita bahas itu ntar aja yah, Hans." ucapnya dengan nada malas.
Hartono justru menimpali ucapan istrinya,
"Jangan-jangan... selama ini mereka berselingkuh di belakangmu, Arka!"
Arka yang masih kebingungan dengan situasi baru itu, ikut arus dan membela kubu Miranda. Walaupun seringkali banyak melongo dan menyaksikan dengan tatapan kosong.
Setelah beberapa saat, Arka menatap tajam ke arah Nadine,
"Kau benar-benar menjijikkan, Nadine!"
Mendengar hal itu terucap langsung dari mulut Arka, Nadine merasa seolah-olah tercabik hatinya. Sakit bukan main yang kini ia rasakan.
Napasnya mulai tidak teratur, karena menahan rasa yang sudah tercampur aduk: Sedih, kesal, dendam, emosi, tidak bisa berbuat banyak, dan sedikit rasa ingin menjaga Arka.
Nadine menatap balik Arka dengan mata berkaca, “Aku tidak pernah selingkuh, Mas. Jangan seenaknya menuduh tanpa bukti! Jangan percaya ucapan kedua orang tuamu!"
"Kalau cuma sebatas teman, kenapa tampak akrab banget? Kayak udah nikah sepuluh tahun lamanya...!" bentak Miranda.
"Mungkin selama ini mereka berkomplot, pura-pura menderita di rumah sakit, padahal pacaran di sana, kak!" tambah Vania.
Kau emang perempuan murahan, Nadine!” teriak Arka. Fokusnya sekarang, dianggap benar-benar anak oleh konglomerat Hartono dan Miranda itu.
Hans mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah.
“Cukup!” teriak Nadine, menghentikan hujan tuduhan.
"Hans tidak pernah menyentuhku, sama sekali! Dia satu-satunya orang yang peduli saat aku sekarat!" ucapan Nadine langsung menggetArkan hati dokter muda itu.
"Hans, kami ikut mobilmu, boleh?" pinta Nadine.
"Tapi, pesanan nya gimana, nyonya? Takutnya udah dalam perjalanan ke sini," tanya Bu Minah kebingungan.
"Cancel aja ya, Bu. Nanti ganti dgn uang kompensasi 20% dari harga asli. Sama bilang minta maaf," kata Nadine.
Akhirnya, Nadine dan Bu Minah masuk ke dalam mobil mewah dokter Hans.
Mobil perlahan meninggalkan kediaman keluarga Arka, meninggalkan segala kenangan, luka, dan penghinaan.
Sementara itu, di rumah mewah yang kini menjadi istana palsu bagi Karin dan Arka, suasana mulai berubah.
Arka termenung di kamar, memandang jendela dengan gelisah.
"Mami… kenapa aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting, ya?" tanyanya pelan, tapi Miranda tak menjawab.
Ia hanya sibuk mengatur dekorasi ulang tahun cucu Vania yang belum lahir.
"Karin… kamu tahu wanita yang bernama Nadine?” tanya Arka tiba-tiba, membuat Karin menoleh panik.
"Nggak usah mikirin dia lagi, Mas. Kamu udah sama aku sekarang," jawab Karin cepat.
"Tapi, kenapa wajah samar-samar muncul terus di mimpi aku, ya? Dia nangis terus-terusan," gumam Arka sambil memejamkan mata.
"Sudahlah, itu cuma perasaan bersalah! Nggak semua mimpi ada keterkaitannya dengan dunia nyata. Kamu harus fokus ke masa depanmu bersamaku,” kata Karin sambil menaruh tangan di bahu Arka.
Mobil alphard hitam milik Hans melaju pelan di jalan desa yang sunyi, hanya suara isak tangis Nadine yang terdengar di dalam mobil tersebut.
Wanita yang menjadi pujaan hati Hans sejak kecil itu sedang menunduk, wajahnya sembab, dadanya begitu terasa sesak mengingat bagaimana Arka menatapnya dingin dan diiringi tatapan kosong, saat menjatuhkan talak tiga pada dirinya.
"Kamu sekarang bukan siapa-siapa lagi bagiku, Nadine!" begitulah kata-kata terakhir Arka yang masih menggema di telinganya.
Bu Minah yang duduk di sampingnya, tak berhenti mengusap punggung Nadine secara pelan.
"Sabar, nyonya. Tuhan pasti akan membalas semua kejahatan!" bisik Bu Minah dengan mata berkaca-kaca.
Nadine tak sanggup membalas atau merespon, hanya tangis tersedu lah satu-satunya jawaban. Hans yang menyetir pun, beberapa kali melirik ke spion, tampak ingin menghibur sang pujaan hati, namun tak tahu harus berkata apa. Hans takut, jika ia coba menghibur dan salah ucap, justru akan semakin menyakiti hati Nadine lebih dalam lagi.
Hans sangat menghindari hal itu. Apalagi sekarang, peluangnya untuk menaklukan hati Nadine semakin tinggi dan dirasa sangat pasti. Tapi Hans tidak terburu-buru.
"Saya masih nggak ngerti, Bu Minah… Kenapa mas Arka tega sekali…," lirih Nadine di sela isak tangisnya.
"Anda perempuan yang penyabar, nyonya. Sangat tabah. Tapi kadang, emang kesabaran harus diuji dulu dengan hal paling menyakitkan. Supaya tau dan bisa ngeliat sendiri dimana letak ketulusan," jawab Bu Minah lembut.
"Tante Miranda juga dalam hidupnya cuma menghina saya, Bu… katanya, saya perempuan murahan yang pantas diceraikan!" tambah Nadine sambil menggigit bibirnya, sebuah usaha agar tidak kembali menangis keras dan mengisak.
"Berapa kali saya bilang, nyonya.. nggak usah percaya kata-kata perempuan keji itu. Tuhan tahu siapa yang benar dan siapa yang zolim. Udah, nyonya tetap ikuti kata hati dan teruslah baik seperti ini." tegas Bu Minah dengan suara tertahan.
"Tapi, saya masih cinta sama mas Arka, Bu… saya nggak bisa bohong! Padahal, jelas-jelas saya ditalak tiga di depan kalian semua," ucap Nadine lagi, kepalanya bersandar di jendela mobil.
"Wajar, nyonya. Sekalipun nyonya punya cinta sebesar gunung, cinta tetap nggak bisa diatur. Tapi jangan biArkan diri nyonya terjebak dalam luka. Biarlah talak tiga ini menjadi bukti, bahwa nyonya pantas mendapat cinta yang lebih suci di kemudian hari." ujar Bu Minah dengan bijak.
Hans hanya menatap jalanan dengan wajah sedikit tersipu malu, merasa seolah Bu Minah kali ini mendukungnya.
------
Mobil Hans pun akhirnya berbelok masuk ke gang sempit, menuju rumah orang tua Nadine yang berada di ujung jalan. Mata Nadine sembab, tapi ia sempatkan untuk mengangkat kepala saat mobil mulai melambat.
Ia tidak mau bertemu dengan kedua orang tuanya dengan wajah sembap dan babak belur seperti ini. Walaupun nanti tetap akan terbongkar mengapa wajahnya kini menjadi setengah mumi.
Ketika melihat dari kejauhan, nampak bendera kuning berkibar di depan rumah pamannya, pakde Rusli, yang juga berdekatan dengan rumah kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, tubuh Nadine merinding dan menegang hebat. Ia khawatir ada sanak saudara yang meninggal.
Mobil berhenti tepat di depan rumah Pakde Rusli, paman Nadine.
Nadine nampak buru-buru membuka pintu mobil, langkahnya gontai, tubuhnya limbung. "Nyonya! Jangan buru-buru!" seru Bu Minah, khawatir dengan keadaan Nadine yang masih belum stabil, sambil ikut turun dari mobil.
Tapi Nadine sudah berlari kecil menuju halaman depan rumah pakde Rusli. Ia lihat sudah banyak warga dan tetangga berpeci dan berpakaian hitam, sedang duduk nyelawat, beberapa melantunkan doa.
Satu hal yang lebih mencuri perhatian para warga maupun tetangga yang sedang nyelawat, justru kehadiran Nadine yang secara mendadak dan tidak diduga.
Seorang dengan perban di hampir seluruh wajah, yang tiba-tiba memaksa masuk dan menyebut nama pakde Rusli.
Bersambung.....