Hidup untuk yang kedua kalinya Selena tak akan membiarkan kesempatannya sia-sia. ia akan membalas semua perlakuan buruk adik tirinya dan ibu tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aulia indri yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 17
pagi yang cerah bagi Selena—nilai diperbaiki dan juga nama baiknya kembali bersinar setelah guru itu menjelaskan bahwa ada yang bermain curang.
Selena tak menyangka bahwa orang yang menukar kertas ujian nya adalah Sofia. Gadis manis tak pernah sekalipun memiliki interaksi dengan dirinya.
Arsa—nama pria itu pertama kali muncul dibenaknya. Selena tahu arsa-lah yang melakukan ini—membersihkan nama baiknya agar ia balas budi padanya.
Davin mendekat dengan senyuman tulus dan hati-hati nya. "Hey aku senang masalah terselesaikan... ternyata nilai yang sebenarnya sangat bagus." pujinya.
Selena meliriknya sesaat sebelum kembali membaca buku. "Ya, aku tahu. Orang tidak bersalah selalu mendapatkan keadilan."
Davin mengangguk ringan—ia berharap Selena memberinya senyuman atau sekedar memberi reaksi antusias.
"Aku senang.. Nanti pulang sekolah aku ingin mengajakmu." suara Davin kembali senang—teringat rencananya.
"Kemana?"
"Beli cincin pertunangan kita." jawab Davin dengan pipi merah—menahan malu dan antusias yang berlebihan.
namun Selena hanya menyahutinya dengan anggukan pelan dengan dengungan lembut. "Baiklah."
"Baiklah, aku tunggu didepan gerbang nanti ya? aku pergi ke kelas Karina dulu. Kakinya sedang sakit sekarang." ia berpamitan, mencium pipi Selena dengan berani.
Selena menegang karena aksi Davin yang sangat berani. Namun jantungnya tidak berdebar mendapatkan ciuman itu, hanya perasaan hampa dan jijik.
Tangannya terangkat untuk menghapus jejak ciuman di pipinya—selena melenguh jijik hampir tidak tertahankan.
"Bibir ini mencium pipiku, bibir bekas bibir Karina. menjijikan."
Ia berdiri dari kursi berjalan keluar dari kelas untuk menuju dari kamar mandi.
Sesampai ditempat kamar mandi wanita. Selena mengaca, wajahnya yang tampak tenang dan terkendali.
Ia tersenyum—terlihat kaku dan tegang. Namun selana tetap tersenyum, melatih senyumannya agar semakin semakin baik.
suara pintu terbuka dari kamar mandi dibelakang selena—seorang pria, dia terkekeh pelan namun Selena hanya merespon dengan senyuman tipis.
"Senyumanmu manis.." kata Arsa, langkahnya lambat—memastikan kamar mandi hanya mereka berdua sebelum mengunci pintu.
"Untuk seorang penuh teka-teki yang menggairahkan." kini Arsa berdiri dibelakang punggung Selena. Tatapan mereka bertemu di cermin.
Selena tersenyum sembari memiringkan kepalanya mengamati.
Sebelum Arsa kembali menambahi. Tangannya berpegangan erat pada wastafel—mengurung Selena dari belakang.
"Bukankah seharusnya kau berterimakasih denganku." bujuk Arsa manis—menggoda Selena.
Ia ingin Selena memanfaatkannya agar sesuatu lebih mudah tercapai.
"Seharusnya kau tidak perlu membantu." Selena angkat bicara, kepalanya mendongak menatap Arsa. "Aku sudah tahu pelaku sebenarnya."
"Karina?" tebak Arsa—selena mengangguk setuju.
"Mudah ditebak." Arsa terkekeh—tidak ada wanita yang berani selain Karina.
"Ciuman untuk rasa terimakasihku?" tawaran Selena membuat Arsa lengah seketika.
Namun Arsa hanya mendekatkan dirinya. "Tidak perlu nona Wiranata.. Aku melakukan membantumu dengan suka rela." bisikan lembut menghangat telinga Selena.
Beberapa detik berlalu mereka hanya menatap satu sama lain dicermin. Seolah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Biarkan aku membantu.." itu bukan permohonan, permintaan mendesak dari Arsa.
Selena menggeleng pelan, tidak setuju. Ia suka bermain rapih sendirian. "Tidak Arsa.. Permainan ku jadi tidak seru jika kau membantu."
"Manfaatkan aku Selena." Arsa dengan suka rela menyerahkan seluruh dirinya dihadapan Selena.
Menurunkan harga dirinya—demi wanita itu. Agar mengendalikannya dan mengandalkannya.
Mata Selena menyipit penuh perhitungan. Ia ingin berbicara namun Arsa menyela dengan cepat. Tangannya merambat di pinggang Selena. "Jangan pikirkan motif terdalam ku.."
Arsa seolah tahu apa yang dipikirkan Selena sekarang—mencari motif dibalik penyerahan diri ini.
"Pikirkan saja apa yang berguna bagimu." Bisik Arsan menambahkan dengan jelas maknanya. "Jadikan aku alatmu."
Pukulan telak, seolah Arsa tahu apa orang-orang dimata Selena. bagi Selena manusia adalah alat sekarang—menggunakannya untuk mencapai tujuan atau memutar balikkan masalah menjadi lebih serius.
"Aku rela mati demi mu, nona Wiranata." suara Arsa penuh pengabdian. tangannya memeluk erat tubuh Selena.
"Kau banyak bicara." bisik Selena pelan, matanya berbinar menatap Arsa. Tak mampu menahan rasa tertarik.
"Aku tersinggung.." ia berpura-pura sedih, pura-pura tersinggung. hanya menarik perhatian Selena lebih dalam.
"Aku tidak banyak bicara hanya menawarkan diri. Aku bisa menjadi iblis mu.. Memusnahkan mereka berdua tanpa bertele-tele." itu awal tujuan arsa—spontan dan jelas, ia lebih suka kesengsaraan sekaligus.
"Aku ingin bermain lambat namun menyakitkan, Arsa." sahut Selena jujur—entah kenapa ia merasa aman memberitahu Arsa.
"Tapi bukankah itu membosankan?" sahut Arsa tak mau kalah, ia akan membuat Selena berada didalam pelukannya.
hening, Selena diam. Dengan enggan Arsa melepaskan tangannya dari pinggang selena—ia tidak bisa memaksa wanita itu, belum.
Belum saatnya, Arsa akan membuat Selena membutuhkannya.
"Kau tahu dimana aku berada sayang." suaranya lembut dan menggoda—kembali ke sifat awal.
Arsa kembali mendekat lagi, kali ini tanpa memegang pinggang Selena. Bibirnya mencium lembut pipi selena—terlalu lembut seperti usapan bulu.
"Aku akan menunggu disisi—jika kau kewalahan, aku akan datang." janjinya sebelum pergi dari kamar mandi—membiarkan Selena memutuskannya.
Selena memejamkan matanya. Matanya menatap tajam ke pantulan wajahnya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Seolah ia melihat wajah Arsa disana.
"Arsa Mahendra.. Sebenarnya siapa kau?" pikirnya dengan keras mencoba mencari jawaban.
Ia menegakkan tubuhnya, membereskan kusutan di seragamnya seolah menyembunyikan sesuatu dibalik mata orang-orang normal.
"Ibu.. Ayah, Evelyn, Davin, Karina dan sekarang Arsa." nama itu semua Selena sebutkan—mereka semua seperti tanah misterius yang harus Selena gali dan menemukan dibalik didalamnya.
dengan helaan nafas, Selena keluar dari kamar mandi—langkahnya tegap dan percaya diri. Ia akan menemukan cara, menyingkirkan orang-orang yang ia benci lalu memanfaatkan orang-orang yang berguna.
Permainan tarik ulur ini akan berlangsung lama. Mereka hanya sebuah boneka kain bagi Selena, sementara dirinya yang memegang tali untuk mengendalikan mereka berdua.
Kelas berbunyi pertanda bel pulang. Selena menghampiri Davin yang sudah menunggu diparkiran—bersama Karina.
Sudah klasik dan sangat mudah ditebak. bahkan dalam pembelian cincin—sesuatu yang sakral untuk pertunangan, Davin membiarkan orang asing ikut
Orang asing yang menyebalkan dan bermuka dua. Selena melihat kaki Karina, ditutupi perban. Seharusnya ia membuat kaki Karina patah dengan parah.
Melihat tatapan mata Selena, Davin membuka suara. Meski gugup dan sedikit bergetar, berharap Selena mengerti lagi. "Kaki Karina terluka, membuatnya sulit berjalan sendiri. Kita tak boleh membiarkannya sendiri kan?"
Selena menjawabnya dengan ketus. "Seterah, aku tidak peduli kau mengajaknya atau tidak." ia masuk kedalam mobil tanpa mengatakan apapun lagi.
Karina hanya tersenyum kecil—puas Selena selalu menurut dan membiarkan dirinya terlibat.
Sementara Davin mendesah berat, ia tahu Selena tidak suka. Namun setidaknya Selena tidak memarahi dan membentaknya kan?
Ya, itu yang terbaik.