Rina menemukan pesan mesra dari Siti di ponsel Adi, tapi yang lebih mengejutkan: pesan dari bank tentang utang besar yang Adi punya. Dia bertanya pada Adi, dan Adi mengakui bahwa dia meminjam uang untuk bisnis rekan kerjanya yang gagal—dan Siti adalah yang menolong dia bayar sebagian. "Dia hanyut dalam utang dan rasa bersalah pada Siti," pikir Rina.
Kini, masalah bukan cuma perselingkuhan, tapi juga keuangan yang terancam—rumah mereka bahkan berisiko disita jika utang tidak dibayar. Rina merasa lebih tertekan: dia harus bekerja tambahan di les setelah mengajar, sambil mengurus Lila dan menyembunyikan masalah dari keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Zuliyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cobaan
Beberapa bulan kemudian, Ayu mulai kuliah di Jakarta jurusan tari. Arif sudah punya banyak teman di kelompok pemrograman, dan dia bahkan memenangkan lomba pemrograman nasional. Lila sedang menyiapkan pameran kedua di Bandung, dan Doni—seniman yang dia temui di Paris—datang ke Indonesia untuk menemaninya.
Malam sebelum Ayu pergi ke Jakarta, mereka berkumpul di teras. Meja dipenuhi makanan yang dibuat bersama: ayam bakar dari Adi, nasi uduk dari Rina, kue lapis dari Siti, dan kue kering dari Ayu. Rio dan istrinya beserta anaknya juga datang, membawa hadiah untuk Ayu—seragam tari baru.
Lila berdiri, mengangkat cangkir jus: "Kita semua telah melalui banyak hal—masalah, kesedihan, kebahagiaan. Tapi yang paling penting, kita selalu bersama. Jendela ini yang selalu terbuka bukan cuma simbol—itu bukti bahwa keluarga kita selalu terbuka untuk satu sama lain."
Semua orang mengangkat cangkir, berseru: "Selamat untuk Ayu! Semoga semua cita-citamu terwujud!"
Ayu melihat jendela yang terbuka, melihat bintang-bintang yang bersinar. Dia berkata: "Aku akan pergi ke Jakarta, tapi aku akan selalu kembali. Karena rumah ini dan jendela ini selalu menungguku."
Angin segar bertiup, menyebarkan bau bunga melati dan kebahagiaan di antara mereka. Jendela itu tetap terbuka—seperti janji yang selalu ada, yang bersama-sama mereka tutup ketika ada bahaya, dan bersama-sama mereka buka lagi untuk menerima harapan dan cinta.
Setelah 6 bulan Ayu kuliah di Jakarta, keluarga Rina kembali ke rutinitas—Lila sibuk dengan pameran di Bandung dan sering bertemu Doni, Arif sibuk dengan lomba pemrograman, Rina menulis buku ketiganya, dan Adi bekerja dengan senang hati. Satu hari, Siti—ibu Ayu—datang ke rumah dengan wajah pucat dan mata merah. Dia langsung menangis ketika melihat Rina.
"Bu Rina, aku butuh bicara denganmu dan Pak Adi. Ada yang salah—sangat salah."
Mereka duduk di ruang tamu, jendela terbuka agar angin segar masuk. Siti menggeleng, tangannya gemetar: "Aku... aku menemukan bahwa suamiku yang baru (dia menikah lagi 2 tahun yang lalu, bernama Budi) berselingkuhan. Dia punya pacar di kantor, dan mereka sudah berkencan selama 8 bulan."
Rina dan Adi terkejut. Budi adalah pria yang tampak baik—selalu ramah, membantu Siti dengan biaya kuliah Ayu, dan sering datang ke rumah. "Bagaimana kamu tahu?" tanya Adi dengan lembut.
"Saya melihat pesan mesra di ponselnya ketika dia mandi. Dan seminggu lalu, saya melihat mereka berdua di mal, berpelukan. Saya menangis dan bertengkar dengannya, tapi dia tidak menyangkal. Dia berkata dia sudah bosan dengan saya, dan dia mau cerai."
Siti menangis lebih kencang: "Aku takut, Bu. Ayu masih kuliah, dan aku tidak punya uang banyak. Jika kita cerai, apa yang akan terjadi pada kita?"
Rina memeluknya: "Jangan khawatir, Siti. Kita semua akan membantu. Tapi yang paling penting—apa yang Ayu pikirkan? Dia harus tahu?"
Siti menggeleng: "Tidak, Bu. Ayu sibuk kuliah dan latihan tari. Aku tidak mau mengganggunya. Tapi aku tidak bisa menyembunyikannya selamanya."
Beberapa hari kemudian, Ayu pulang ke rumah untuk liburan. Dia melihat wajah Siti yang sedih dan tanya: "Mama, apa yang terjadi? Kamu tidak sehat ya?"
Siti coba menyembunyikan: "Tidak apa-apa, sayang. Cuma lelah kerja."
Tetapi Ayu tidak percaya. Malam itu, dia mendengar percakapan Siti dan Rina di ruang tamu: "Aku takut Ayu sedih jika tahu Budi berselingkuhan..."
Ayu terkejut. Dia menangis diam-diam di balik pintu, lalu berlari ke kamar Lila. "Kak, apa yang kubaca bener? Papi Budi berselingkuhan sama orang lain?"
Lila memeluknya: "Ya, sayang. Tapi Mama Siti takut memberitahu kamu. Dia khawatir kamu terganggu."
Ayu menangis: "Mengapa dia menyembunyikannya? Aku adalah anaknya—kita harus bersama-sama menghadapinya!"
Hari berikutnya, Ayu mendekati Budi yang sedang makan di meja makan. "Papi, aku tahu apa yang kamu lakukan. Kamu berselingkuhan, kan?"
Budi terkejut, malu dan marah: "Siapa yang memberitahu kamu?"
"Tidak perlu siapa-siapa. Aku mau kamu beritahu Mama dengan jujur. Jika kamu tidak mencintainya lagi, cerai saja—tapi jangan bohong!"
Pertengkaran pecah. Budi berdiri, berteriak: "Ini urusan aku dan istriku! Jangan campur!"
"Jangan berteriak pada anakku!" teriak Siti yang keluar dari kamar. "Ayu punya hak tahu. Aku sudah tidak bisa hidup dengan kebohonganmu lagi. Kita cerai!"
Budi marah, mengambil tasnya dan keluar rumah dengan keras. Semua orang terdiam—Siti menangis, Ayu memeluknya, dan Rina, Adi, Lila, Arif berdiri di samping mereka.
Masalah baru muncul ketika keluarga Budi mendengar tentang perselingkuhan. Mereka menyalahkan Siti: "Kamu tidak pandai merawat suami! Itu sebabnya dia mencari yang lain!" Mereka bahkan mengancam untuk tidak membantu biaya kuliah Ayu lagi. Ayu marah: "Mengapa mereka menyalahkan Mama? Papi yang salah!"
Lila mendekati Ayu: "Sayang, dunia tidak selalu adil. Tapi yang penting, kita ada di sini untuk Mama dan kamu. Kita akan membantu biaya kuliahmu—aku punya uang dari pameran, dan Pak Adi juga akan membantu."
Adi mengangguk: "Ya, Ayu. Keluarga kita tidak pernah meninggalkan satu sama lain. Kita akan mencari cara bersama."
Beberapa minggu kemudian, Siti dan Budi mengajukan surat cerai. Prosesnya sulit dan penuh konflik, tapi keluarga Rina selalu ada di samping mereka—membawa makanan, membantu mengurus surat-surat, dan menenangkan Siti dan Ayu. Rio juga membantu—dia mengambil foto Siti dan Ayu untuk proyek galeri dia, dengan tema "ketahanan wanita", yang membuat mereka merasa bangga.
Satu malam, setelah proses cerai selesai, mereka berkumpul di teras. Meja dipenuhi makanan yang dibuat bersama: sup dari Rina, ayam bakar dari Adi, kue dari Siti, dan kue klepon dari Ibu Adi yang akhirnya juga menyadari kesalahan keluarga Budi dan mendukung Siti. Jendela kamar tidur tetap terbuka, cahaya bulan menyinari mereka.
Siti berdiri, mengangkat cangkir jus: "Aku mau ngucapin terima kasih pada semua orang. Tanpa kalian, aku tidak bisa melewati masa-masa gelap ini. Aku pernah berpikir bahwa kebahagiaan hanya ada dengan suami, tapi sekarang aku tahu—kebahagiaan ada di keluarga yang selalu mendukung."
Ayu memeluknya: "Mama, aku bangga pada kamu. Kamu kuat dan jujur. Kita akan hidup bersama, ya?"
"Ya, sayang. Kita akan hidup bersama," jawab Siti dengan senyum.
Rina melihat semua orang yang berkumpul, dan merasa hatinya penuh kebahagiaan. Perselingkuhan Budi memang mengguncang keluarga, tapi itu juga membuat ikatan mereka semakin kuat. Jendela yang terbuka itu bukan hanya untuk angin—tapi untuk kebenaran, pemaafan, dan kebersamaan yang tidak pernah pudar.
Angin segar bertiup, menyebarkan bau bunga melati dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Semua orang tersenyum, tahu bahwa tidak peduli apa masalah yang akan datang, keluarga mereka akan selalu bersama—dengan jendela yang tetap terbuka.