Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syarat
"Untuk apa minjam uang?" tanya Evan. Apa Lika sedang kesulitan atau mungkin keluarganya.
"Itu," Lika mendadak bingung mengatakan untuk keperluan apa. "Om, kita bertemu saja. Jadi enak ngomongnya."
Kalau dari ponsel, pasti Evan menolak membantu. Tapi kalau bertemu langsung, ia kan bisa memohon.
"Ya sudah, aku akan ke rumahmu." ucap Evan sambil melihat jam dinding. Ia baru pulang kerja.
"Tidak usah, om! kita bertemu di tengah saja, nanti aku share lokasinya!" ucap Lika. Tidak mau Evan datang ke rumah. Pak tua itu kan sedang dinas luar, itu yang keluarganya tahu.
"Om sekarang di mana?" tanyanya lagi.
"Di rumah-"
"Kita bertemu di rumah saja. Sudah ya, om. Aku mau bersiap!" Lika pun mengakhiri panggilan. Ia lalu meraih handuk dan berlari ke kamar mandi. Akan membersihkan diri sejenak.
Sementara Evan menatap ponselnya. Panggilan telah berakhir. Ia kembali menyimpan ponsel di saku dan berjalan masuk kamar.
Evan membaringkan diri di tempat tidur empuknya. Hari ini begitu melelahkan.
"Om Evan! Om Evan, bangun!" Lika membangunkan pak tua yang sedang tidur itu.
Tadi begitu sampai rumah, ia langsung menemui Evan dan ternyata sedang tidur.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Evan perlahan membuka matanya.
"Aku mau pinjam 100 juta." tanpa basa basi Lika mengatakan itu. Ia harus segera membantu Boni.
"Untuk?" tanya Evan. Ia harus tahu Lika meminjam uang untuk apa.
Evan perlahan bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
"Ada lah om. Aku tidak bisa memberitahu." ucap Lika.
"Aku tidak bisa meminjamkan jika tidak tahu uang itu akan dipakai untuk apa." jelas Evan sambil menatap wajah yang tampak bingung.
"Pinjamkan saja, om. Jangan tanya untuk apa, yang penting tiap bulan aku cicil. Aku akan kembali bekerja lagi." ucap Lika. Ia harus membantu Boni ketika terpuruk.
"Katakan untuk apa?" Evan masih ingin tahu.
"Om kan kaya raya, masa meminjam kan uang segitu saja ditanya-tanya." Lika berwajah cemberut. Pak tua itu mau tahu saja uangnya dipinjam buat apa, padahal nanti dibayarnya juga kok.
Evan menggelengkan kepala. Si Malik memang mau menang sendiri. Berpikir sesuka jalan pikirannya.
"Aku memang kaya raya. Tapi aku harus tahu uang itu mau kamu pakai untuk apa? Mungkin saja kamu gunakan untuk beli obat terlarang." jelas Evan. Intinya harus tahu uangnya digunakan ke mana.
"Tidak dipakai untuk hal yang tidak-tidak loh! Om Evan, pinjamkan lah!" melas Lika. Ia tidak punya waktu banyak.
"Katakan untuk apa?"
Lika menghentak-hentakkan kakinya di tempat tidur. Ia kesal sekali. "Om, aku marah ini!"
Evan jadi mengacak-acak rambut Lika. "Aku tidak peduli!"
"Om Evan!" panggil Lika. Kini pria itu malah bangkit dan berjalan ke kamar mandi.
Lika pun membaringkan tubuh di tempat tidur. Kepalanya penuh pikiran, bagaimana mendapatkan pinjaman tanpa mengatakan alasannya.
Jika ia mengatakan meminjam untuk membantu Boni, apa pak tua itu akan memberi pinjaman?
Lika juga sudah mencoba memakai kartu yang diberikan Evan. Tadi di atm ia mencoba mentransfer 100 juta ke rekeningnya, tapi gagal. Hanya bisa 2,5 juta.
Sepertinya penggunaan kartu dibatasi. Memang pak tua itu perhitungan.
Evan memang membatasi penggunaan kartu yang diberikannya pada Lika. 2,5 juta perhari menurutnya jika untuk kebutuhan pokok saja cukup.
Tapi jika ingin membeli barang di atas harga itu, Lika bisa meminta padanya. Jika jelas apa yang mau dibeli, ia akan belikan.
"Om Evan!" Lika mengetuk-ketuk pintu kamar mandi. Ia harus terus merengek pada pria tua itu.
Krek, pintu kamar mandi terbuka. Evan telah selesai mandi.
"Akh-" Lika berteriak melihat pak tua keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang.
Evan menutup mulut Lika yang akan berteriak. "Jangan berisik!"
Lika melepaskan tangan Evan dan bergegas kabur keluar kamar. Wajahnya merah padam melihat pak tua itu. Mendadak mengingat tentang ular sawah.
Sementara Evan tersenyum kecil. Meski sering menyebalkan, tapi saat wajah si Malik merah seperti kepiting rebus itu terlihat begitu menggemaskan.
'Dasar bocah!'
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Lika duduk di ruang tv sambil matanya melihat kamar Evan. Dari tadi tidak keluar-keluar, apa tidur lagi?
"Om mau ke mana?" tanya Lika tatkala melihat Evan keluar kamar dan sudah berpakaian rapi.
"Cari makan. Ikut?" tanyanya.
Lika mengangguk. Ia juga lapar dan nanti akan dibahasnya lagi mengenai pinjam seratus itu.
Di perjalanan Evan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan malam.
"Om," panggil Lika. Ia memecah keheningan di antara mereka.
"Pinjam seratus." kembali ke inti pertemuan ini.
"Untuk apa?" tanya Evan.
"Pinjamkan saja, jangan ditanya-tanya untuk apa!" Lika jadi berucap sinis. Evan tetap mau tahu saja.
"Nanti aku pasti bayar tiap bulan! Om jangan takut, aku tidak akan kabur dengan uangmu!" Lika mengatakan dengan yakin agar Evan tidak ragu.
"Kalau tidak mau meminjamkan, aku minta nafkah bulanan dipercepat saja!"
Wanita labil itu merubah rencananya. Ia akan minta nafkahnya untuk beberapa bulan ke depan agar diberikan hari ini juga.
Evan menghembuskan napas panjang. "Kamu mau beli apa, Malik? katakan saja, aku akan membelikannya."
Bagaimana pun Lika itu istrinya. Ia harus menafkahi dan memenuhi kebutuhan sang istri. Evan tidak mau menambah dosa karena menelantarkan istrinya yang labil itu.
Lika mengatur napasnya terlebih dahulu. "Boniku sedang kesulitan dan aku ingin membantunya."
Cit, Evan mengerem mendadak.
"Om Evan!" pekik Lika kaget bukan main. Jantungnya hampir copot.
Evan kaget mendengar alasan Lika pinjam uang. Pria itu pun menepikan mobilnya agar tidak mengganggu kenderaan lain.
"Lanjutkan!" pinta Evan. Ingin tahu lebih detil alasan meminjam uang.
Lika pun menjelaskan jika meminjam uang untuk membantu pacarnya. Boni menabrak mobil mewah dan diminta ganti rugi 100 juta. Dalam seminggu harus dibayar jika tidak akan dipolisikan.
"Om Evan, tolongin pacarku." Lika memohon sambil menangis. Ia tidak mau Boni di penjara, bagaimana rencana masa depan mereka nantinya?
Evan tercengang. Lika sampai menangis meminta tolong untuk pacarnya itu. Sepertinya si Malik cinta mati dengan si Boni itu.
Ada perasaan tidak suka melihat si Malik menangisi pria lain. Si Malik bisa-bisanya meminta bantuan suami untuk membantu pacar sang istri.
"Om Evan!" Lika mengatupkan tangan tanda memohon. Diikuti dengan air mata yang berjatuhan.
Wajah si Malik itu begitu penuh harap dan terlihat menyedihkan. Menangis karena pria lain.
"Baiklah, aku akan membantumu." ucap Evan.
Mendengar itu Lika senangnya minta ampun. Ia pun memeluk Evan dengan erat.
"Om, terima kasih banyak. Terima kasih!" Lika bernapas lega. Boninya akan selamat.
Dan Evan dipeluk seperti itu merasakan perasaan makin aneh menjalar di tubuhnya.
"Malik," panggil Evan ketika pelukan sudah renggang.
"Iya, om." jawab Lika dengan suara lembut. Evan mau membantu, jadi jangan diajak ribut.
"Tapi dengan satu syarat," ucap Evan. Jarak mereka begitu dekat, hingga dapat melihat setiap inci wajah wanita menyebalkan itu.
"Syarat apa, om?" tanya Lika dengan wajah bingung. Tadi katanya mau bantu, sekarang ada syarat. Memanglah pak tua ini pak tua labil.
"Layani aku malam ini."
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁