Aleena terpaksa harus menolak perjodohan karena dirinya sama sekali tidak menyukai laki-laki pilihan orang tuanya, justru malah tertarik dengan sekretaris Ayahnya.
Berbagai konflik harus dijalaninya karena sama sekali tidak mendapatkan restu dari orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15#Berusaha menghindari
Cukup lama berkutat dengan pekerjaan barunya yang sudah menjadi pilihan Aleena, akhirnya dapat menyelesaikan tugas-tugas yang telah diajarkan oleh Vivian.
"Gimana, kamu sudah bisa mengerjakan sendiri 'kan?" tanya Vivian.
Aleena mengangguk pelan sambil menatap pada layar komputer.
"Makasih banyak ya, sudah bersedia ngajarin aku ngerjain tugas dari sekretaris Devan. Maafkan aku yang rada canggung, soalnya aku benar-benar lupa sama kamu."
Vivian tersenyum pada Aleena.
"Tidak apa-apa, sudah mau menjadi temanku aja udah seneng akunya. Gak nyangka kalau aku masih bisa bertemu lagi dengan mu. Tapi-"
"Tapi kenapa, Vi?"
Vivian menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Oh iya, udah waktunya istirahat, kamu mau ikut aku gak, ke kantin makan siang."
Alena mengiyakan.
"Kebetulan aku juga udah lapar," jawabnya. Kemudian, mereka berdua segera ke kantin.
Saat berada di kantin, Aleena begitu fokus memperhatikan para karyawan tengah makan siang dengan menu yang berbeda-beda.
Devan yang juga sedang makan siang bersama Fery, arah pandangannya tepat pada Aleena yang terlihat sedang makan duduk bersama Vivian.
Fery yang mendapati Devan mengarahkan pandangannya pada seseorang, pun heran karena terlihat fokus dan sama sekali tidak berkedip. Dengan sengaja, Fery melambaikan tangannya untuk membuyarkan lamunannya.
"Aku tau sekarang, apa dia yang bernama Aleena?"
"Berisik. Habisin tuh makanan kamu."
"Pakai sinis gitu. Kalau iya, samperin lah. Eh, tunggu-tunggu, aku kok baru ingat ya, A-Ale- emm eh iya, Aleena si gadis kecil yang pernah kamu ceritain itu, 'kan? Kenapa kamu gak bilang dari awal, ha?"
Devan hanya menatap tajam pada Fery.
"Kenapa sih, kamu gak ngaku aja kalau kamu itu pacarnya waktu dulu. Aku yakin si Bos pasti merestui hubungan kamu sama adiknya. Percaya deh sama aku. Apalagi kamu itu orang kepercayaannya, jelas direstui."
"Orang kaya akan menikahkan putrinya atau adiknya dengan status sosial yang setara. Aku sadar diri dengan statusku. Dah lah, lagi pula dia sudah lupa siapa aku, dan siapa dirinya dulu. Jadi, dia sudah mempunyai lembaran hidup baru, pilihan hidup yang baru, pastinya tidak akan sama yang dulu."
"Kamu itu, emang kamu rela kalau nantinya menikah sama pria lain, ha?"
"Asal dia bahagia, sudah cukup bagiku."
"Ngomong sama kamu tuh susah. Udah jelas didepan mata, eee malah kamu abaikan."
"Sudahlah, gak perlu dibahas lagi. Udah jam berapa ini, aku mau nyelesain tugas aku dari Tuan Bernio."
Seketika, Fery memberi kode pada Devan.
"Silakan duduk, Bos."
Fery pun langsung bangkit dan mempersilakan Bosnya untuk duduk.
"Kalian sedang membicarakan apa? Siapa yang bahagia dengan pria lain, Dev?"
"Tidak ada, tadi cuma bergurau sama Fery."
Fery langsung membelalakan kedua bola matanya. Lalu menoleh pada Bosnya.
"Oh iya, aku mau ngajak kalian kalau nanti malam ada acara direstoran. Jangan lupa ya, kalian datang. Acaranya cuma makan-makan sama orang-orang yang meeting bareng tadi. Kalau kalian mau ngajakin pasangan juga boleh, bebas kok."
"Tuh dengerin Dev, pasangan kamu diajak."
Devan langsung mendelik, benar-benar membulat kedua bola matanya menghadap pada Fery.
"Oooh, Devan sudah punya pacar?"
"Bukan cuma punya pacar saja, Bos, tapi calon istri."
"Jangan sembarangan kamu, Fer. Tidak, Tuan, tidak ada."
Fery tertawa lepas melihat ekspresi Devan yang terlihat takut ketahuan.
"Sudah gak heran sama kalian berdua. Pokoknya nanti malam kalian harus datang, awas saja kalau sampai gak."
"Oke, Bos." Sahut Fery.
Devan hanya membuang napasnya kasar.
"He! Bro. Punya kakak ipar sebaik Bos Bernio aja kamu gak mau, haduh! benar-benar dah kamu."
Ekhem.
"Aku boleh ikutan duduk, 'kan?"
Fery yang tengah dikagetkan sama Aleena, pun langsung pamit pergi untuk kembali ke ruang kerjanya.
"Jangan kamu sia-siakan, bakal menyesal nantinya kamu."
"Ada perlu apa Nona menemui saya?"
"Gak apa-apa, pingin aja. Oh iya, tadi Kak Nio bilang apa, gak ngomongin aku, 'kan?"
"Enggak kok. Tadi Tuan Bernio cuma nyampein pesan kalau nanti malam ngajakin makan-makan di restoran bareng orang-orang yang tadi ikut meeting bareng."
"Kirain ngomongin aku. Nanti pulangnya anterin aku jalan-jalan dulu ya, mau pulang ke rumah lagi males. Gimana kalau main ke rumahnya sekretaris Devan, boleh ya."
"Maaf, saya tidak bisa, Nona. Ibu saya butuh istirahat, biar cepat pulih kesehatannya. Juga, nanti malam ada acara sama Tuan Bernio. Jadi, saya tidak bisa menemani Nona untuk jalan-jalan sepulang kerja nanti. Mungkin dilain waktu saya akan usahakan untuk menemani Nona jalan-jalan."
Aleena yang mendengar alasan dari Devan, pun langsung pergi begitu saja dengan perasaan kecewa.
'Kenapa rasanya sakit banget ya, sekretaris Devan tidak mau menemani aku sekedar jalan-jalan. Padahal 'kan digaji sama Kak Nio. Juga, dia seperti menjaga jarak denganku. Atau.. dulu aku pernah menyinggungnya. Aku cari tahu sama Kak Nio aja apa ya, aku tanyain, apakah aku pernah mengenal sekretaris Devan?' batin Aleena sambil jalan dengan lesu.
Devan memerhatikannya hingga tidak lagi terlihat bayangannya.
'Maafkan aku yang harus menjaga jarak dengan mu, Nona Aleena. Apalagi Tuan Bernio akan memperkenalkan mu dengan laki-laki masa kecilmu, mana bisa aku menjadi bumerang untuk Tuan Bernio. Melihat mu bahagia, itu sudah lebih dari cukup.' Batin Devan sambil mempertimbangkan untuk merespon niat Aleena yang terus-terusan mencoba untuk mendekatinya.