Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah. Di Loka Pralaya, persiapan sebuah acara besar tengah berlangsung, melibatkan para tetua klan dan karakter-karakter penuh teka-teki seperti Arka, Carla, dan Vyn.
Sementara itu, di kediaman Luh Gandaru, kedatangan Banu dan Bani dengan wajah kecewa mengisyaratkan adanya intrik dan rahasia yang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Padang Gandeswara
Fonda Ono kembali ke Padang Gandeswara setelah pertemuannya dengan Banu dan Bani di lereng Sembuyan. Raut kecewa terpancar jelas di wajahnya. Pikiran tentang bagaimana batu itu bisa jatuh ke tangan Arung Matoa terus menghantui benaknya sepanjang perjalanan. Fonda merasa tidak hanya kehilangan, tetapi juga menanggung beban berat karena kegagalannya.
Padang Gandeswara adalah sebuah negeri yang menjadi wilayah kekuasaan Klan Gendhing. Lokasinya terletak di sebelah timur Kampung Londata. Jarak antara kedua tempat itu, jika ditempuh dengan menggunakan Lesung Orembai, biasanya memakan waktu sekitar satu hari perjalanan. Negeri ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan tambang batu alam yang sangat diandalkan oleh penduduk sekitarnya.
Klan Gendhing dan Klan Lontara berasal dari leluhur yang sama, yakni keturunan Krass Kleman. Seiring berjalannya waktu, keturunan mereka semakin berkembang dan menyebar ke berbagai daerah di kawasan tersebut—wilayah yang berbatasan langsung dengan Laut Sagara Sugra. Selain kedua klan itu, ada pula Klan Lawe, yang masih satu keturunan dengan Klan Gendhing dan Klan Lontara. Klan Lawe berada di sebelah utara Klan Gendhing, dengan batas antara keduanya hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Kinara.
Fonda Ono melangkah cepat menuju rumahnya. Bangunan itu besar, megah, dan dikelilingi oleh tembok tinggi yang kokoh sebagai pembatas. Di pintu gerbang masuk, beberapa penjaga membungkuk memberi hormat saat melihat kedatangannya. Mereka adalah para penjaga yang bertugas menjaga kediaman itu. Fonda Ono adalah salah satu pejabat penting di Padang Gandeswara, sehingga kedatangannya selalu disambut dengan rasa hormat.
Penduduk Padang Gandeswara dikenal sebagai penambang batu yang unggul. Beberapa jenis batu alam menjadi komoditas utama mereka, termasuk bebatuan Korundum , yang ditambang dari Pegunungan Korum. Batuan ini memiliki warna transparan, sehingga cocok digunakan sebagai cermin ataupun kaca. Selain itu, daerah ini juga merupakan penghasil utama Topaz Putih , batuan yang sangat keras. Batuan ini sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan pedang, dan jika sudah diolah, kekuatannya melebihi baja atau logam lain.
Terdapat tiga marga besar yang mendominasi wilayah Padang Gandeswara. Yang pertama adalah marga Limer , populasinya hampir mencapai separuh dari keseluruhan penduduk Padang Gandeswara. Marga ini menguasai pengelolaan batuan Korundum dan Topaz Putih. Fonda Ono berasal dari marga ini, dan keluarganya adalah pengelola pusat penambangan batuan tersebut. Hasil penjualan batu-batu ini dikirim ke berbagai negeri terdekat, termasuk Kampung Londata dan Kampung Lawe.
Dari segi kekuatan ekonomi, Klan Gendhing berada di urutan pertama dibandingkan dengan Klan Lontara maupun Klan Lawe. Begitu pula dengan kekuatan militernya; Padang Gandeswara jauh mengungguli kedua klan tersebut.
Ketiga klan—Gendhing, Lontara, dan Lawe—terikat dalam persekutuan yang mereka sebut Partokuon . Persekutuan ini dibentuk sebagai kerja sama untuk membentuk satuan perang bersama guna melindungi kawasan tersebut dari serangan musuh-musuh mereka, terutama yang berasal dari Klan Sirani, yang terletak di ujung barat kawasan itu.
Fonda Ono memasuki kamarnya dengan langkah cepat. Ia tampak memendam perasaan yang tidak enak. Pikirannya masih terganggu oleh sosok Arung Matoa, yang berhasil merebut batu Zato dari tangan Banu dan Bani. Istrinya, Rona, yang melihat wajah suaminya cemberut, langsung menghampirinya.
“Apa yang terjadi, Fonda? Wajahmu tampak murung,” tanya Rona dengan nada khawatir.
Fonda menatap istrinya, mencoba tersenyum, namun raut kesal di wajahnya sulit disembunyikan. “Ah, tidak apa-apa. Hanya lelah saja,” jawabnya singkat.
Rona hanya menggeleng pelan. Ia kemudian mendekati suaminya. “Tadi sore, ada utusan dari Tetua. Mereka menyampaikan pesan agar kau datang ke Bannaruma besok pagi. Ada hal penting yang ingin dibicarakan,” ucap Rona sambil melepas baju suaminya dan menggantungkannya di sebuah standing coat yang ada di kamar itu.
“Oh, iya,” jawab Fonda Ono singkat. “Besok pagi aku akan menemuinya.”
Fonda Ono kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang besar yang ada di kamar itu. Ditemani oleh istrinya, ia sesekali merasakan pijatan lembut di tubuhnya yang terasa lelah. Malam semakin larut, menghadirkan keheningan yang menenangkan. Tak lama kemudian, Fonda Ono pun terlelap dalam tidurnya