Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 8 : Cahaya di Ujung Terowongan
Langit Semarang pagi itu cerah, dengan awan putih lembut yang berarak perlahan di atas kota.
Aira duduk di tepi jendela apartemennya, menatap pemandangan dengan cangkir teh hijau di tangan. Setelah hari yang penuh emosi di studio Raka kemarin, dia merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya.
Kejujuran mereka satu sama lain, meskipun menyakitkan, justru membuat hubungan mereka terasa lebih kuat.
Tapi di sisi lain, Aira tahu dia harus menghadapi masalahnya sendiri, kepercayaan dirinya sebagai penulis yang mulai goyah.
Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Raka.
“Pagi, Aira! Aku mau ke pasar seni pagi ini, nyari inspirasi buat desain. Mau ikut? Aku pikir kamu juga bisa dapet ide buat cerita.” Diakhiri dengan emoticon tersenyum.Aira tersenyum kecil, merasa ada kehangatan yang menjalar di dadanya.
“Pagi, Raka! Mau banget. Jam berapa? Aku siap-siap dulu,” balasnya cepat.
Dia bangkit dari duduknya, meletakkan cangkir teh di meja, lalu bergegas ke kamar untuk bersiap. Dia memilih kemeja putih sederhana dengan rok midi berwarna krem, ditambah topi anyaman kecil untuk melindungi wajahnya dari matahari.
Sebelum keluar, dia memandang cermin, mencoba meyakinkan diri bahwa hari ini akan menjadi hari yang baik.
Raka menjemput Aira di depan apartemennya, mengendarai motor tua yang dia sebut “si Bima.”
Aira naik ke belakang, memeluk pinggang Raka dengan hati-hati saat mereka melaju menuju pasar seni di daerah Pecinan.
Angin pagi terasa sejuk di wajah Aira, dan dia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
“Raka, kamu sering ke pasar seni ini?” tanyanya, suaranya sedikit tertutup oleh suara angin.
Raka menoleh sekilas, tersenyum.
“Iya, tiap bulan pasti ke sini. Banyak barang unik, dari lukisan sampe kerajinan tangan. Aku suka cari inspirasi buat desain di sini. Kamu bakal suka, Aira.” Sampai di pasar seni, Aira langsung terpesona dengan suasananya.
Lorong-lorong sempit dipenuhi kios-kios kecil yang menjual berbagai barang seni, lukisan warna-warni, patung kayu, kain batik dengan motif tradisional, hingga perhiasan handmade yang cantik.
Bau cat dan kayu bercampur dengan aroma kopi dari pedagang keliling, menciptakan suasana yang hidup tapi hangat.
Aira berjalan di samping Raka, matanya berbinar melihat setiap detail. Mereka berhenti di sebuah kios yang menjual lukisan kecil bertema laut.
Aira memandang sebuah lukisan yang menggambarkan perahu nelayan di tengah laut saat matahari terbenam, dan tiba-tiba ide cerita baru muncul di kepalanya.
“Raka, lihat lukisan ini… aku kepikiran cerita tentang seorang nelayan yang nyanyi buat laut setiap malam, dan laut bales nyanyiannya dengan ombak,” katanya, suaranya penuh antusias.
Raka tertawa kecil, matanya penuh kekaguman.
“Kamu emang luar biasa, Aira. Aku yakin cerita itu bakal bagus. Aku bisa bantu bikin cover-nya, mungkin dengan warna biru laut yang lembut sama siluet perahu.” Aira tersenyum lebar, merasa semangatnya kembali.
“Makasih, Raka. Aku… aku merasa lebih percaya diri kalau kamu bilang gitu.” Mereka melanjutkan perjalanan, membeli beberapa barang kecil, sebuah gelang kayu untuk Aira dan sketsa pensil kecil untuk Raka.
Saat sedang asyik melihat-lihat, Aira tiba-tiba mendengar seseorang memanggil namanya.
“Aira? Aira Putri, kan?” Suara itu lembut tapi penuh kejutan.
Aira menoleh, dan matanya membelalak saat melihat seorang wanita muda berdiri di depan kios lukisan.
Wanita itu mengenakan kemeja batik dan celana palazzo, rambutnya yang pendek diikat rapi ke belakang.
“Mira?” tanya Aira, tidak percaya.
“Ya Tuhan, udah lama banget kita enggak ketemu!” Mira, teman Aira dari masa kuliah, tersenyum lebar dan langsung memeluknya.
“Aku kangen banget sama kamu! Aku dengar kamu sekarang penulis novel online terkenal, ya? Aku baca beberapa ceritamu, bagus banget, Aira!” Aira tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung di hatinya.
“Makasih, Mira. Tapi… aku lagi struggling, sih. Ceritaku akhir-akhir ini dikomentarin jelek sama pembaca. Aku… aku takut kehilangan mereka.” Mira menggeleng, tangannya memegang pundak Aira.
“Aira, dengerin aku. Aku tahu kamu penulis yang hebat. Aku masih inget waktu kuliah, kamu selalu bikin cerita-cerita pendek yang bikin aku takut. Kamu punya bakat, dan aku yakin pembacamu juga tahu itu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya.” Kata-kata Mira membuat Aira merasa sedikit lebih baik, meskipun rasa takut itu masih ada.
Dia memperkenalkan Raka pada Mira, dan mereka bertiga mengobrol sebentar tentang masa kuliah Aira dan Mira.
Raka tampak nyaman mendengarkan, sesekali tersenyum saat Aira dan Mira tertawa mengenang kejadian-kejadian lucu dulu.
Setelah berpisah dengan Mira, Aira dan Raka melanjutkan perjalanan mereka. Tapi Aira bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, pertemuan dengan Mira mengingatkannya pada dirinya yang dulu, seorang Aira yang penuh semangat dan tidak takut gagal.
Dia berhenti di depan sebuah kios yang menjual buku-buku bekas, menatap tumpukan buku dengan mata penuh kerinduan.
“Raka, aku… aku pikir aku tahu apa yang harus aku lakuin,” katanya tiba-tiba, suaranya penuh tekad.
“Aku mau coba nulis cerita yang beda. Aku mau balik ke Aira yang dulu, yang enggak takut buat ambil risiko dalam ceritanya. Aku… aku mau bikin cerita yang bikin pembaca takut lagi, tapi juga bikin mereka jatuh cinta sama karakternya.” Raka menatap Aira, matanya penuh kekaguman.
“Itu… itu ide yang bagus banget, Aira. Aku yakin kamu bisa. Dan aku bakal dukung kamu, apa pun yang kamu butuhin, desain cover, foto buat referensi, apa aja.” Aira tersenyum, merasa ada semangat baru yang membakar di dalam dirinya.
“Makasih, Raka. Aku… aku enggak tahu apa yang bakal aku lakuin tanpa kamu.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kali ini Aira merasa lebih ringan.
Pasar seni itu ternyata tidak hanya memberinya inspirasi untuk cerita baru, tapi juga mengingatkannya pada siapa dirinya sebenarnya. Dia berjalan bergandengan tangan dengan Raka, merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa melewati masa sulit ini.
Sore itu, mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah warung kecil di pinggir pasar. Warung itu menyajikan soto ayam dengan kuah bening yang harum, dan Aira tidak bisa berhenti memuji rasanya.
“Ini enak banget, Raka! Kita harus sering-sering ke sini,” katanya, matanya berbinar.
Raka tertawa, menyesap es tehnya. “Aku setuju. Aku suka liat kamu makan dengan lahap gini, keliatan bahagia.” Aira tersenyum, tapi tiba-tiba ada pesan masuk di ponselnya.
Dia melirik layar, dan wajahnya langsung berubah. Pesan itu dari editor platform novel online tempatnya menulis.
“Aira, kita perlu bicara. Ada beberapa pembaca yang komplain soal ceritamu akhir-akhir ini. Mereka bilang ceritanya kurang greget, dan jumlah pembaca aktifmu turun. Kita harus cari cara biar ceritamu balik ke performa dulu. Bisa ketemu besok?” Aira merasa dadanya sesak.
Dia menatap pesan itu dengan mata berkaca-kaca, merasa semua semangat yang baru saja dia temukan tadi lenyap begitu saja.
Raka, yang melihat perubahan ekspresi Aira, langsung memegang tangannya.
“Aira, ada apa? Kenapa kamu keliatan panik gitu?” Aira menghela napas, menunjukkan pesan itu pada Raka.
“Editor platformku… mereka bilang ceritaku bermasalah. Pembaca aktifku turun, Raka. Aku… aku takut mereka berhenti baca ceritaku sama sekali.” Raka membaca pesan itu, lalu menatap Aira dengan mata penuh keyakinan.
“Aira, dengerin aku. Aku tahu ini berat, tapi kamu enggak sendirian. Aku di sini, dan aku yakin kamu bisa balik ke performa terbaikmu. Ide cerita yang kamu bilang tadi—tentang nelayan yang nyanyi buat laut, itu keren banget. Aku yakin pembacamu bakal suka.” Aira menatap Raka, mencoba mencari kekuatan dari kata-katanya.
“Tapi… bagaimana kalau mereka enggak suka, Raka? Bagaimana kalau aku gagal?” Raka menggeleng, tangannya meremas tangan Aira dengan lembut.
“Kamu enggak bakal gagal, Aira. Aku tahu kamu punya bakat, dan aku tahu kamu punya hati yang besar buat cerita-ceritamu. Kalau mereka enggak suka, ya kita cari cara bareng-bareng biar mereka suka lagi. Aku janji, aku bakal bantu kamu.” Kata-kata Raka membuat Aira tersenyum kecil, meskipun ada air mata yang menggenang di matanya.
“Makasih, Raka. Aku… aku enggak tahu apa yang bakal aku lakuin tanpa kamu.” Sore itu, mereka pulang dengan langkah yang lebih ringan, meskipun tantangan masih menanti Aira.
Di dalam hatinya, dia tahu bahwa dengan Raka di sisinya, dia punya kekuatan untuk menghadapi apa pun.
Dan di ujung terowongan yang gelap itu, Aira mulai melihat cahaya-cahaya yang membawanya kembali pada mimpinya, dan pada cinta yang terus tumbuh di antara mereka.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉