Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 Remake: Api Yang Takkan Pernah Padam
Lorong Tambang Westmark, permukaan atas.
Derap kaki bergema di dalam tambang. Lampu sihir menggantung di helm pasukan dan tongkat para penyihir, menerangi dinding batu yang dingin dan lembap. Kelompok petualang Guild Vixen memasuki area tambang secara berlapis, sesuai instruksi Levina.
Setiap kelompok terdiri dari pelindung, penyerang, penyihir, dan penembak jarak jauh. Mereka bergerak perlahan, formasi terbuka, dengan sihir pendeteksi dipancarkan setiap sepuluh meter. Misi mereka bukan untuk menyerang langsung, melainkan **memancing keluar para Invader** dari kedalaman.
Dan di antara mereka—ada Aria.
Ia berjalan di sisi depan, bersama tiga petualang elit lain. Busur perak miliknya bersinar samar di bawah cahaya lentera. Ia tidak bicara sepatah kata pun. Matanya terus terpaku pada lorong gelap di depan, seolah berharap bisa menembus batu dan kabut untuk menemukan sosok yang selama ini mengisi pikirannya.
Sho.
“Aku tahu kau ada di suatu tempat di bawah sini...” Bisik Aria lirih, jari-jarinya meremas erat gagang busur.
Apollo mencoba menenangkannya.
“Jangan biarkan emosi mengaburkan naluri tempurmu, Aria. Kita belum tahu kapan mereka akan muncul.”
Tapi Aria tidak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu mempercepat langkahnya ke depan.
Di luar, pasukan kerajaan Vixen membentuk perimeter pelindung. Para ksatria berjaga sambil menyiapkan senjata sihir berat dan jebakan area. Jika Invader keluar melalui celah lain, pasukan itu akan menjadi barisan pertahanan terakhir.
Namun semuanya tahu—tanpa High Human, pertarungan ini adalah pertaruhan yang besar.
---
Di bawah tanah, jauh di dalam tambang.
Sho terhuyung.
Tubuhnya nyaris remuk, napasnya tersengal, dan darah menetes dari pelipis hingga dagu. Pakaian tempurnya robek di banyak bagian, dan satu bahunya sudah tidak bisa digerakkan. Bident-nya menancap di tanah, dan ia bertahan hanya dengan memegang gagangnya sebagai tumpuan.
Di hadapannya, Invader tingkat menengah masih berdiri tegak.
Makhluk itu hampir tidak menunjukkan luka. Gerakannya tetap mantap, matanya merah menyala seperti bara neraka. Nafas makhluk itu menghembuskan kabut gelap, membuat udara di sekitar menjadi berat dan memuakkan.
Sho mundur setengah langkah. Kakinya goyah. Ia bisa mendengar tulangnya berderak.
“Aku... Tidak bisa menang...” Bisiknya.
“Tidak...! Kau bisa, jangan bicara seperti itu!”
Suara Persephone meledak dalam pikirannya, lebih kuat dan emosional dari biasanya. Tidak ada ketenangan. Tidak ada wibawa. Yang ada hanya—ketakutan.
“Sho... dengarkan aku. Jangan menyerah! Aku di sini, aku selalu bersamamu...”
Sho menggertakkan gigi, mencoba berdiri tegak.
“Lima Invader tingkat rendah...” ia menggeram, “...Tidak ada apa-apanya dibanding dia.”
“Tentu saja tidak! Mereka hanya serangga dibanding makhluk ini. Tapi kau masih hidup saat ini, dan itu artinya kau punya pilihan!”
Suara Persephone bergetar.
“Kau tahu kenapa aku khawatir, Sho? Karena kau bukan hanya inkarnasiku. Kau adalah—”
Ia terhenti.
Lalu, suara itu melembut.
“—Kau seperti anakku.”
“Aku telah kehilangan inkarnasi sebelumnya, Sho. Seseorang yang sangat aku percaya, yang juga berani... Tapi ia mati dalam keadaan mengenaskan. Ia sendirian. Dan aku... Tidak bisa menghentikannya.”
Sho menunduk. Tangan kanannya berdarah, tapi ia masih menggenggam Bident.
“aku memilihmu bukan karena kekuatanmu, Sho... Tapi karena hatimu. Karena kau bisa mendengar alam. Karena kau punya empati.”
Persephone hampir menangis dalam diam.
“Tapi sekarang... jika kau mati seperti inkarnasi ku sebelumnya... Aku...”
Sho menatap ke depan. Api hijau perlahan menyala kembali di ujung Bident-nya.
“Aku tidak akan mati.”
“Karena aku tidak ingin membuatmu kehilangan orang yang kau cintai lagi.”
Sho menancapkan Bident ke tanah.
Akar-akar mulai bergerak perlahan dari bawah batu. Kali ini bukan hanya akar kecil—tetapi akar yang tumbuh lebih kuat, lebih tebal, seperti tangan bumi yang terbangun dari tidur panjang. Mereka merambat di kaki-kaki Invader itu, membuatnya goyah beberapa detik.
Itu cukup.
Sho menguatkan cengkeramannya. Ia melompat maju, berputar dengan Bident, dan mengiris udara dengan semburan api hijau yang meledak di sisi Invader.
Invader itu menggeram, terpental dua meter.
Sho terjatuh setelah serangan itu. Tapi kini, ia melihat—makhluk itu luka. Di lengan kirinya, luka menganga terbuka. Darah hitam menetes seperti aspal cair yang lenyap seketika kita menyentuh tanah.
Sho menarik napas. Napas kemenangan kecil.
Namun Invader itu mengeluarkan suara serak, lalu—
Menggeram.
Dinding lorong berguncang. Batu di atas mulai runtuh kecil-kecilan. Debu jatuh dari langit-langit.
Sho menegang.
“Dia... Memanggil sesuatu...” ujar Persephone khawatir.
Dan benar saja. Dari ujung lorong, dua siluet muncul—bayangan Invader tingkat rendah, mata merah menyala dalam gelap.
Sho menggertakkan gigi.
Bukan cuma satu musuh lagi. Tapi tiga. Dan tenaganya sudah hampir habis.
Ia mundur, berdiri di antara reruntuhan dan akar-akar yang menutup setengah jalan.
“Sho... Dengarkan aku baik-baik. Jika kau tidak bisa mengalahkan mereka, maka kau harus bertahan. Kau hanya perlu bertahan cukup lama—sampai bantuan datang.”
Sho terdiam sejenak. Lalu mengangguk.
“Aku bisa bertahan... Karena aku harus bertahan hidup.”
Persephone tersenyum samar, meski hati dewi itu terus gelisah.
“Tepati janjimu dan jangan mati, Sho...”
Sho mengangkat Bident-nya, dan kali ini, api hijaunya menyala lebih stabil. Akar-akar merambat di tanah di sekelilingnya, membentuk lingkaran perlindungan.
Invader tingkat menengah menerkam lagi—diikuti oleh dua tingkat rendah dari sisi.
Sho menggertakkan gigi, napasnya semakin berat. Suara ketiga Invader terdengar semakin dekat—langkah mereka berat, menyayat tanah, menyeringai dalam diam.
“Tidak cukup... Tidak cukup...!” gumam Sho, darah mengalir dari sudut bibirnya.
Tubuhnya tak mampu bergerak dengan lincah. Tapi pikirannya—masih berdenyut, masih berusaha mencari satu... Satu jalan keluar.
“Kau tak perlu menang, Sho. Hanya perlu bertahan. Dengarkan tanah. Dengarkan akar. Mereka masih ada.”
Suara Persephone mulai gemetar, bukan karena takut, tapi karena—berharap.
Dan Sho—merespon bukan dengan kata.
Tapi dengan tekad.
Ia menancapkan Bident-nya ke tanah sekali lagi.
Dan saat itu, seluruh tubuhnya menegang.
“BANGKITLAH!!!” teriaknya, tak lagi teredam dalam hati.
Dari tanah... Ledakan kehidupan muncul.
GGRRRRRAAAKHHHH!!
Akar-akar menyembur dari batu, dinding, bahkan celah-celah yang sebelumnya tak pernah tampak.
Mereka menjulur bukan seperti biasa. Tapi seperti makhluk hidup yang marah. Panjang, tebal, menggeliat liar seperti ular raksasa, mengaum dalam diam. Masing-masing akar sebesar tubuh manusia dewasa—menabrak langit-langit dan menyelimuti seluruh lorong.
Getaran hebat mengguncang tambang. Dinding-dinding batu pecah, debu dan pecahan runtuh dari atas. Tanah retak. Goa bergetar seakan bumi sendiri bereaksi atas kekuatan yang dilepaskan oleh anak alam itu.
Ketiga Invader mundur sejenak—terlambat.
Akar-akar itu menyelimuti lorong, membentuk barikade raksasa, memblokir sepenuhnya jalur antara Sho dan para Invader. Tak ada celah. Tak ada ruang. Bahkan sinar dari mata para Invader pun tidak bisa menembus celah batang-batang hidup itu.
Di sisi seberang, Sho terjatuh.
Tubuhnya ambruk, Bident-nya berubah kembali menjadi kalung kristal hijau. Matanya setengah terbuka, napasnya megap-megap, seperti ikan di luar air. Tubuhnya berkeringat dingin, kaku, gemetar… namun hatinya sedikit tenang.
“Aku... Berhasil...”
Ia tahu ini belum cukup untuk menang. Tapi... Cukup untuk hidup sedikit lebih lama.
---
Lorong bagian atas – Kelompok Aria
Salah satu petualang di belakang Aria menghentikan langkahnya.
“Apakah kalian merasakan itu?”
“Tanah... Bergetar?” tanya yang lain.
Aria berhenti. Busurnya sudah terangkat tanpa sadar, matanya membelalak—terpaku ke ujung lorong yang gelap.
Detik berikutnya... Jantungnya berdebar keras.
Ada sesuatu. Tidak hanya getaran fisik. Tapi...
Esensi.
Panas. Liar. Tapi... Hangat.
Seperti nyala api yang ia kenal.
“Aku... aku mengenalnya,” bisik Aria. Matanya memanas, tenggorokannya tercekat. “Itu... Sho...”
Apollo muncul dalam kesadarannya. Suaranya terdengar pelan dan tajam.
“Energi yang tidak stabil. Tapi tidak mematikan. Itu bukan ledakan sihir. Itu... Pertumbuhan mendadak.”
“Aria... itu kekuatan musim semi.”
Tanpa menunggu aba-aba, Aria berlari.
“Hei!” teriak salah satu petualang, “Kau mau ke mana?!”
“Ke arah getaran itu! Ikuti aku jika kalian ingin tetap hidup!”
Langkah-langkahnya menggema cepat, membelah lorong gelap yang tak berujung. Petualang lain segera mengejar, beberapa mengaktifkan sihir pelacak untuk mengikuti jalur yang sama.
Tapi Aria tak peduli pada mereka.
Yang ia pedulikan—hanyalah satu.
“Sho... Tunggu aku... Bertahanlah...!”
Keringat menetes di keningnya, air mata mulai berkumpul di pelupuk. Tapi ia terus berlari. Bahkan saat dinding mulai berguncang dan langit-langit mengeluarkan debu-debu dari getaran akar yang masih bergerak jauh di bawah, Aria tak berhenti.
Hatinya gemetar. Tapi itu bukan hanya karena takut. Bukan hanya karena cemas.
Itu karena—ia bahagia.
Sho masih hidup.
Sho masih bertahan.
Namun...
Jika ia harus mengerahkan kekuatan sebesar itu... Maka ia pasti sedang bertarung.
---
Di bawah, di balik dinding akar
Sho tak lagi sadar. Matanya tertutup. Nafasnya berat dan tertatih.
Persephone menggenggam erat kesadarannya dari dalam.
“Kau sudah cukup, Sho. Kau sudah sangat jauh... Lebih jauh dari siapapun yang kupilih sebelumnya...”
“Tapi... Tolong... Tetaplah bertahan sebentar lagi.”
Ia mengelus pikirannya seperti seorang ibu yang duduk di sisi ranjang anaknya yang sakit.
“Aku tidak ingin kehilanganmu...”
Perlahan-lahan nafas Sho melemah.
Persephone diam sesaat, mendengar napas Sho yang makin lemah.
“Jangan mati disini, Sho...”
Suara sang Dewi akhirnya pecah, bukan sebagai dewa agung, bukan sebagai penguasa alam bawah dan musim semi—tapi sebagai seseorang yang telah kehilangan terlalu banyak, dan tak sanggup kehilangan satu lagi.
“Kau... Bukan hanya inkarnasiku...”
“Kau adalah anak yang kupilih untuk hidup... Maka bertahanlah, Sho...”
Di balik dinding akar yang masih berdenyut perlahan, Sho terbaring tak sadarkan diri.
Denyut jantungnya samar—nyaris hilang. Tapi... Belum padam
Sementara itu, dari lorong yang lain, langkah-langkah kaki Aria bergema semakin cepat. Ia menggenggam busur erat, matanya basah, tapi sorotnya menyala seperti matahari pagi.
Dari kejauhan, ia bisa merasakan denyutan samar—esensi hijau yang menyebar dari batu dan akar.
Dia tahu...
Sho ada di ujung jalan ini.
Dan dia tak akan membiarkannya sendirian lagi.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/