Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 Remake: Terjebak
Udara di dalam tambang terasa berat. Seperti paru-paru dunia yang menahan napas, menunggu bencana terjadi. Cahaya ungu dari lentera-lentera yang menggantung di langit-langit batu menari-nari dalam bayangan yang tak wajar. Seakan ruang itu bukan lagi bagian dari dunia manusia, melainkan celah sempit menuju neraka.
Sho dan Aria berdiri saling membelakangi, napas mereka memburu, mata mereka liar menatap gelap di depan dan belakang. Sepuluh Invader tingkat menengah berjalan mendekat perlahan dari arah depan, tubuh-tubuh mereka tinggi, bengkok, dan bergerak seperti kilasan mimpi buruk. Dari belakang, Slime raksasa yang barusan mereka lawan sudah beregenerasi, kini menghalangi satu-satunya jalan keluar.
Mereka terperangkap.
“Jumlah mereka... Terlalu banyak.” suara Aria nyaris seperti bisikan. Tangannya menggenggam busurnya erat, jari-jarinya sudah bersiap, tapi tubuhnya gemetar.
Persephone muncul dalam kesadaran Sho, suaranya dingin dan tajam. “Jangan gegabah. Satu langkah salah, kalian berdua mati.”
Apollo pun menyusul, menyampaikan peringatan kepada Aria. “Kau harus lari. Jika kau mati di sini, kekuatan matahari pun takkan bisa menghangatkan kuburmu.”
Sho mengepalkan Bident-nya. Tapi matanya tak melihat jalan keluar—kecuali satu.
“Persephone,” katanya pelan, “maaf. Tapi aku harus membuat pilihan.”
Persephone merasakan gelombang emosi yang datang darinya. Ada keputusasaan, keberanian, dan cinta dalam campuran yang rumit. “Sho... Jangan!”
Terlambat.
Sho mengangkat Bident-nya tinggi. Ujungnya menyala terang, api hijau menyala membentuk pusaran yang menggetarkan tambang itu sendiri. Batu di sekitar mulai retak, udara menjadi panas dan kering. Aria menoleh, matanya membelalak.
“Sho... Apa yang kau—”
“Aku tahu ini gila,” kata Sho, suara gemetar menahan tekanan kekuatan dalam dirinya. “Tapi kau harus keluar dari sini, Aria.”
“Tidak! Aku tak akan—”
Seketika, Sho menghentakkan Bident ke tanah. Satu tembakan api hijau meledak seperti meriam, menembus tubuh Slime yang menutup jalan keluar. Panasnya menyengat sampai ke tulang, dan seketika slime itu meleleh, membuka rongga sempit di tengah-tengah tubuhnya yang berkabut.
Rongga itu takkan bertahan lama.
Sho menoleh cepat, dan tanpa memberi kesempatan untuk protes, ia mendorong Aria sekuat tenaga melewati celah tersebut.
“Sho!!” teriak Aria, tubuhnya terpental dan jatuh di sisi seberang slime yang meleleh. Ia terguling, lututnya tergores, tapi ia bangkit sambil menggapai udara yang telah kehilangan sosok Sho.
Dari balik slime yang mulai meregenerasi dengan cepat, terdengar suara Sho yang lantang namun bergetar:
“Carilah bantuan, Aria! Aku tidak akan mati semudah ini!”
Aria membeku. Jantungnya seperti diremas oleh tangan tak kasat mata. Napasnya tercekat.
Sho tersenyum tipis di balik dinding slime. Maafkan aku, Aria.
---
Di alam pikirannya, Persephone berteriak marah. Tapi bukan karena keputusan Sho, melainkan karena rasa takutnya.
“Bodoh! Kau bodoh sekali! Kau bisa mati! Aku... Aku tak ingin kehilanganmu...”
Untuk pertama kalinya, suara sang Dewi tak seagung biasanya. Ia terdengar seperti seorang ibu yang menyaksikan anaknya melangkah ke jurang.
Namun Sho tetap berdiri. Bident-nya ia pegang erat. Sepuluh Invader kini hanya beberapa langkah lagi.
“Aku tahu aku belum cukup kuat...” Gumam Sho. “Tapi aku harus memberi waktu... Aku harus melindunginya.”
Persephone menggertakkan gigi. Lalu ia melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini.
Ia berdoa.
Ia menyalurkan kekuatan yang bisa ia kumpulkan ke dalam tubuh Sho. Tidak sepenuhnya. Tidak cukup untuk menang. Tapi cukup untuk bertahan.
“Bertahanlah... Sho...”
Dari kejauhan, gema langkah Invader makin dekat. Suara gemuruh slime di belakang mengeras. Sho berdiri di tengah dua kematian.
Namun api hijaunya belum padam.
Langkah para Invader menggetarkan tambang seperti detak jantung bumi yang kacau. Nafas Sho semakin berat, tapi matanya masih menatap tajam. Ia menggenggam Bident-nya erat, lalu menancapkannya ke tanah tambang yang keras.
“Bangkitlah...!” Bisiknya, penuh tekad.
Akar-akar tua dari struktur tambang menyambut panggilannya. Meskipun tidak sebesar pohon-pohon raksasa di permukaan, akar-akar ini adalah sisa dari zaman sebelum tambang dibuka. Tipis, rapuh, dan kering. Tapi mereka masih hidup—cukup untuk bergerak.
Akar-akar itu mencuat dari tanah dan dinding tambang, menjulur cepat seperti tangan kurus yang mencari harapan. Mereka mencambuk dan melilit kaki Invader, menjatuhkan satu-dua dari mereka. Tidak cukup kuat untuk menghancurkan, tapi cukup untuk membuat formasi musuh kacau.
Sho mengambil napas panjang. Inilah saatnya.
Dengan kekuatan terakhirnya, ia menghantamkan Bident-nya ke tanah sekali lagi. Tapi kali ini bukan untuk menyerang—
Melainkan untuk meruntuhkan tanah tempat ia berpijak.
Ledakan energi hijau meretakkan lantai tambang. Retakan menyebar cepat, membentuk pola seperti sarang laba-laba. Tanah di bawah kaki Sho runtuh dalam debu dan batuan, dan tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke kegelapan.
Semuanya sunyi sejenak. Lalu—
BRAKK!
Tubuh Sho menghantam tanah keras jauh di bawah. Ia meringis, darah merembes dari pelipisnya, pundaknya terkilir, dan kakinya terasa retak. Tapi ia masih hidup. Napasnya seret, nyaris putus. Namun di tengah kesakitan, pandangannya mulai menangkap sesuatu yang tak biasa.
Tempat ini... Bukan bagian dari tambang.
Sho menatap sekeliling.
Ia berada dalam goa alami, sebuah ruang yang belum pernah dijamah manusia. Dinding-dindingnya basah, penuh ukiran alam yang aneh. Akar-akar menjuntai dari langit-langit, dan udara dipenuhi aroma lumut basah. Cahaya samar memancar dari tanaman kecil yang bersinar dalam kegelapan—bioluminesensi alami yang berkilau seperti kunang-kunang abadi.
Itu indah... Dan hening.
Sho tersungkur di samping batu besar, mencoba bernapas dengan normal. Tapi tubuhnya terlalu rusak. Ia tahu, jika dibiarkan seperti ini, ia tidak akan bertahan lama.
Tiba-tiba, Bident-nya menyala.
Api hijau merambat dari ujung senjata itu, menyelimuti tubuh Sho perlahan.
“Apa yang sedang terjadi...?” Desis Sho, tubuhnya ingin melawan, namun terlalu lemah.
Sebelum ia bisa panik, suara lembut namun khidmat menyentuh benaknya.
“Jangan takut.”
Itu suara Persephone, kali ini tenang dan hangat. “Api hijau milikmu memiliki dua sisi. Kau telah menggunakan sisi destruktif nya... Sekarang, biarkan sisi lainnya bekerja.”
Sho melihat tubuhnya mulai menyerap api hijau itu. Rasa panasnya tidak membakar—justru hangat, seperti selimut musim semi.
“Ini... Menyembuhkan?” Tanyanya pelan.
“Ya. Ini adalah tipe Regenerasi. Namun... Ada harganya.”
Sho mulai sadar. Tanaman-tanaman bersinar di sekelilingnya... Mulai layu. Daun-daunnya menguning, batangnya mengerut, dan sinarnya memudar satu per satu, seperti bintang yang padam.
Sho menatap ngeri saat satu-satu kehidupan di sekitarnya mati, menyatu ke dalam kobaran hijau yang menempel di tubuhnya.
“Persephone... Ini...”
“Api hijaumu mengambil kehidupan dari alam sekitar dan menyalurkannya padamu. Ini tidak gratis, Sho. Penyembuhan ini adalah pemindahan hidup—dari bumi ke tubuhmu.”
Sho mengepalkan tangan, wajahnya diliputi rasa bersalah.
Ia mencintai alam. Ia tumbuh di antara bunga. Hidupnya selalu selaras dengan hijau dan harmoni. Dan kini—ia harus mengorbankan tanaman-tanaman ini demi bertahan.
“Maaf...” bisiknya ke arah tanah dan tanaman yang sekarat. “Maafkan aku...”
Persephone diam sejenak, lalu suaranya kembali, lebih lembut dari sebelumnya. “Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihatmu mati di hadapanku, Sho. Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Tapi kelak... Kau harus belajar menyeimbangkan dua sisi kekuatanmu.”
Api hijau perlahan mereda.
Tubuh Sho mulai pulih. Luka-luka yang terbuka mulai tertutup. Nafasnya menjadi lebih stabil. Tapi dalam hati, ada luka lain yang tidak sembuh.
Ia berdiri pelan, menatap goa yang kini redup, penuh keheningan yang baru. Hening... Karena ia telah menyerap nyawa dari tempat ini.
---
Di permukaan, Aria berlari keluar dari tambang, terengah, air mata membasahi pipinya. Ia memanggil-manggil nama Sho, tapi hanya gema yang menjawab. Saat mencapai pintu masuk tambang, ia terjatuh bersimpuh di tanah.
“Jangan mati... Tolong... jangan mati...”
Nafasnya terengah-engah, rambut pendeknya berantakan, dan matanya sembab oleh tangis yang belum berhenti sejak ia meninggalkan Sho di kedalaman tambang. Keringat bercampur debu di wajahnya, tetapi matanya tetap memancarkan tekad.
Gerralt, pria paruh baya pemilik tambang yang tadi memperingatkan mereka, sedang berdiri tak jauh dari mulut tambang. Saat melihat Aria muncul dalam keadaan panik, ia langsung berdiri waspada.
"Aria?! Kau sendirian? Di mana partner-mu?" tanya Gerralt dengan nada khawatir.
Aria menatapnya tajam, suaranya tercekat. “Sho masih di dalam... Kami diserang... Invader... Ada terlalu banyak...” katanya terbata-bata, lalu buru-buru menambahkan, “Aku harus segera kembali ke Vixen! Aku harus minta bantuan!”
Ia hendak berlari lagi, tapi Gerralt segera menahan pergelangan tangannya.
“Berhenti!” katanya tegas.
“Apa—lepaskan aku!” Aria berontak, air matanya hampir jatuh lagi. “Kalau aku tidak cepat—”
“Kau tak perlu kemana-mana,” potong Gerralt, lalu dengan tenang, ia mengeluarkan sebuah alat kecil dari saku rompi kulitnya. Bentuknya seperti peluncur kecil dari besi perak tua. Ia menoleh padanya sejenak. “Setiap orang yang mengajukan misi ke Guild mendapat satu benda ini dari petugas pencatat. Jika Invader muncul, kita wajib menggunakannya.”
Gerralt mengangkat alat itu ke langit dan menekan pemicunya.
FWOOOOSHHH!!!
Sebuah suar menyala merah pekat ditembakkan ke langit. Cahaya nyalanya menusuk cakrawala biru pagi, seperti luka api yang merobek langit damai. Asap tipis menyebar, dan sinyal merah itu mulai berdenyut-denyut bagaikan jantung yang memompa peringatan ke seluruh penjuru.
Jauh di kota Vixen, di atas balkon markas Guild, Levina—sang Guild Master—sedang mengamati langit pagi sambil menyeruput teh herbal. Saat cahaya merah itu muncul, cangkirnya terjatuh dan pecah di lantai.
"Itu dari Westmark...!" Gumamnya dengan nada rendah, namun nada suaranya mengeras seiring ia berbalik dan melangkah cepat keluar dari dalam kantornya. "Rapat darurat!"
Levina langsung membuka pintu aula Guild dan berteriak kepada seluruh petualang yang sedang bersantai atau melapor.
“Semuanya! Kumpulkan tim kalian! Siapkan perlengkapan! Ini bukan latihan! Ada keadaan darurat di tambang Westmark!” Teriaknya.
Beberapa petualang langsung berdiri dan bersiap, tapi ketika Levina menyadari bahwa dari semua yang hadir... Tak satu pun High Human berada di dalam gedung, wajahnya mengeras.
“Kelompok Kean masih di utara... Jeffrey dan Bluze sedang di laut... Reyna dan Marcella bahkan belum kembali dari ekspedisi gurun... Sial!“ gumamnya sambil mengepalkan tangan.
Tak ada waktu.
Dengan langkah mantap dan pandangan tegas, Levina langsung menuju Istana Vixen. Dua pengawal istana menyadari kehadirannya dan langsung membuka gerbang utama.
“Aku minta audiensi dengan Raja sekarang juga!” katanya tegas. “Ada pasukan Invader di tambang Westmark!”
Ia tak menunggu izin. Kali ini, seluruh kota akan tahu—bahwa perang tak selalu datang dengan genderang... Kadang hanya datang lewat cahaya merah yang menembus langit pagi.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/