Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah yang tak lagi sama
masih di tempat yang sama,Zean dan Lira duduk di lantai ruang tengah. Bukan karena lelah, tapi karena duduk di sofa terasa seperti masuk ke ruang tamu orang asing. Mereka saling diam. Ada terlalu banyak yang ingin dikatakan, dan justru karena itu, mulut jadi malas membuka.
Jam dinding masih berdetak. Setiap detiknya seperti suara langkah siput yang terus jalan meski dunia sudah retak.
“Aku lapar,” kata Lira akhirnya.
Zean meliriknya. “Kau baru lihat noda darah dan dengar napas asing dari dapur, dan yang pertama kau pikirkan: makan?”
“Ya. Soalnya... kalau aku nggak makan sekarang, aku bakal pingsan. Dan kalau aku pingsan, kau harus gendong aku. Dan jujur aja, kau nggak punya otot buat itu.”
Zean ingin membantah, tapi ia malah berdiri. “Oke.Kita cek dapur,lagi. Tapi hati-hati. Jangan sentuh apa pun yang basah, lengket, atau... bernyawa.”
Dapur masih dalam keadaan kacau, tapi tidak ada siapa-siapa,tidak ada makhluk,hanya ada perasaan yang masih mengganjal. Mereka mengambil beberapa bungkus roti dari lemari atas dan duduk kembali.
Mereka makan dalam diam,Kadang, mengunyah bisa menenangkan pikiran. Kadang, itu hanya jadi cara tubuh mengalihkan perhatian dari fakta bahwa semuanya sudah melenceng terlalu jauh dari normal.
“Apa menurutmu Ibu... masih di luar sana?” tanya Lira pelan, setelah gigitan ketiganya.
Zean tidak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu roti di tangannya, seolah berharap jawaban bisa muncul dari situ.
“Entahlah,,mungkin sudah kembali sejak tadi dan pergi lagi,lagi pula ibu juga seperti hantu,pulang yang tidak menentu,pergi tanpa seorang pun tau,kalau dia pergi sebelum semua ini kacau, setidaknya dia aman,semoga” katanya akhirnya.
“Atau... Ibu yang pertama lihat semuanya kacau,” Lira menambahkan, lebih pelan lagi.
Zean tidak membalas. Kadang, tidak ada balasan yang pantas.
Di luar, gerimis sudah berubah jadi hujan. Angin mulai mengetuk jendela seperti tamu yang tak diundang. Tirai bergerak pelan, seperti mengangguk pada sesuatu yang tak terlihat.
Lira berdiri dan menatap ke halaman.
“Anjing tadi itu... menurutmu kenapa dia diam begitu?”
“Menurutku, dia tahu lebih banyak dari kita,” jawab Zean. “Tapi dia bukan pencerita yang baik.”
Lira mengangguk, meski tidak benar-benar mengerti.
Beberapa menit kemudian,mereka memutuskan untuk naik ke lantai dua, mengecek kamar Ibunya,biasanya pintu menuju lantai 2 tertutup rapat,tapi kali ini pintunya terbuka sedikit, seperti mengundang atau memperingatkan, belum jelas.
Anak tangga yang mereka injak berderit. Lantai dua lebih gelap dari yang mereka ingat. Zean menyalakan senter dari ponselnya, dan cahaya kecil itu terasa seperti lilin di tengah laut.
Dari kejauhan mereka bisa melihat,bahwa pintu kamar ibunya terbuka lebar,cahaya lampu yang bersinar ke luar ruangan,mereka mendekat,dan masuk,Kamar Ibu tampak rapi. Terlalu rapi.
Tempat tidur terlipat,gorden dibuka,Jendela sedikit terbuka,embun menempel di kacanya, "seperti Ibu memang sudah pulang," Zean menatap seluruh ruangan,dan tidak sengaja melihat sesuatu yang menarik perhatiannya,Zean melihat .Di meja,ada secarik kertas.
Zean mengambilnya,membaca pelan.
“Kalau kalian membaca ini, berarti aku tidak sempat kembali,maaf jika ibu pergi terlebih dulu,dan tidak menunggu kalian.Tapi Jangan panik. Jangan percaya pada suara-suara. Kunci semua pintu. Dan yang paling penting: jangan naik ke loteng.”
Mereka saling pandang. Satu kalimat terakhir terasa seperti tamparan paling dingin di tengah malam yang sudah dingin.
“Kita... punya loteng?” tanya Lira, keningnya berkerut.
Zean mengangguk pelan. “Ibu selalu bilang itu cuma ruang penyimpanan.”
“aku baru tau..., dan sebaiknya kita segera kunci dulu semua pintu,” sahut Lira.
Zean mengangguk.
Mereka berbalik, tapi langkah Zean terhenti. Ia menoleh kembali ke kamar. Matanya menyapu meja kerja ibu. Ada satu laci yang terbuka sedikit.
Ia mendekat dan membuka sepenuhnya. Di dalamnya ada selembar foto keluarga mereka bertiga,tapi wajah ibu dicoret dengan tinta hitam dan terdapat tulisan yang tidak bisa dibaca. Bukan seperti goresan panik. Lebih seperti... keputusan.
“Apa ini...” gumamnya.
Lira ikut melihat. Wajahnya tegang. “Itu... bukan tulisan Ibu, kan?”
“Bukan,” jawab Zean. Tapi ia tidak yakin.
Di belakang mereka, angin masuk lewat jendela, mengibaskan tirai. Udara dingin menyusup ke dalam baju. Hujan makin deras, dan di atap, sesuatu terdengar bergerak.
Lira menelan ludah. “Kau dengar itu?”
Zean mengangguk pelan.
Loteng.
Suara seperti... gesekan kayu. Atau langkah pelan. Tapi bisa juga imajinasi yang kelebihan tugas.
“Aku benci loteng,” kata Lira.
“Aku benci dunia,” balas Zean.
Mereka turun kembali ke bawah. Menutup semua pintu. Mengunci semua jendela. Mematikan lampu. Duduk di ruang tengah dengan selimut di atas bahu, seperti anak-anak yang terlalu besar untuk main petak umpet tapi terlalu kecil untuk menghadapi akhir dunia.
Jam dinding masih berdetak.
Dan untuk pertama kalinya, detaknya terdengar seperti hitungan mundur.