Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25 (Pelan-pelan, Aku Akan Masuk ke Hatimu)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Letta dan Zidan kini telah tiba di Bandara Kota A, setelah menempuh penerbangan dari Kota J. Suasana di terminal kedatangan cukup padat, namun tak sulit bagi mereka menemukan sosok familiar yang tengah berjalan cepat ke arah mereka—Etan.
“Mobil sudah siap, Nona, Tuan,” lapor Etan begitu sampai di hadapan mereka. Meski baru saja mendarat seperti Letta dan Zidan, Etan tetap menjalankan tugasnya dengan profesional, tanpa menunjukkan rasa lelah sedikit pun.
Zidan dan Letta saling melempar pandang singkat sebelum mengangguk. Mereka bertiga lalu berjalan beriringan menuju area parkir, tempat mobil sudah menanti.
Begitu tiba, Etan membuka pintu mobil dengan sigap. Namun sebelum masuk, ia melirik ke arah keduanya dan bertanya dengan nada hati-hati, “Maaf Tuan, Nona… kalau boleh tahu, tujuan kita selanjutnya ke mana?”
Zidan menoleh, nadanya kini lebih santai, mencerminkan hubungan yang mulai akrab dengan Etan. “Kamu bisa antar kami ke apartemen Letta, Etan.”
Etan mengangguk singkat. Ia segera menyampaikan instruksi pada sopir, dan mobil pun melaju meninggalkan bandara, membawa ketiganya kembali ke rutinitas lama—meski kali ini, dengan ikatan dan dinamika yang benar-benar baru.
Mobil yang membawa Letta, Zidan, dan Etan kini telah terparkir rapi di lobi depan apartemen Letta. Sebelum turun, Letta sempat menoleh ke arah Zidan, menatapnya dengan senyum manis.
“Kalau begitu, aku turun dulu ya, Mas. Makasih udah nganterin,” ucapnya lembut.
Padahal, posisi mereka sama-sama sebagai penumpang, dan seharusnya ucapan terima kasih itu lebih tepat ditujukan pada sopir atau Etan. Tapi Zidan hanya mengangguk kecil tanpa membalas.
Setelah mengucapkan selamat malam, Letta membuka pintu dan turun. Sementara di belakang, Etan tengah sibuk mengeluarkan koper dan barang-barang Letta dari bagasi.
Letta berniat membantu, tapi tangannya kalah cepat. Koper miliknya telah lebih dulu diangkat oleh tangan lain. Ia menoleh, dan mendapati Zidan berdiri di sana.
“Loh, Mas? Kenapa ikut turun? Aku bisa sendiri kok. Mas mending masuk mobil lagi, nanti biar Etan yang antar mas pulang,” ucap Letta, mencoba mengambil kembali kopernya.
Namun Zidan menahan koper itu dengan tenang. “Malam ini aku nginep di sini. Paling Ibu sama Aya juga udah tidur,” katanya pelan.
Letta terdiam sesaat, tidak menyangka Zidan akan mengambil keputusan itu. Tapi tak lama, senyum manis merekah di wajahnya.
“Ya udah, ayo,” balas Letta antusias, lalu spontan menggandeng tangan Zidan dan berjalan ke arah pintu masuk apartemen.
Di belakang mereka, Etan hanya bisa terdiam, melongo sesaat melihat interaksi menggemaskan dua majikannya. Ia mendesah pelan sambil kembali masuk ke mobil.
“Setidaknya ucapkan selamat malam atau terima kasih dulu kek…” gumamnya sambil menutup pintu dan bersiap untuk pulang. Ia pun menyadari, mungkin mulai malam ini, ada banyak hal yang akan berubah di antara pasangan muda itu.
Dengan perasaan senang, Letta menuntun Zidan menuju unit apartemennya. Wajahnya berbinar, ada semangat yang tak bisa disembunyikannya.
Sesampainya di depan pintu, Letta menoleh ke arah Zidan dan berkata dengan antusias, “Oh iya, nanti aku siapin kartu akses juga buat Mas. Jadi Mas bisa masuk sendiri tanpa harus nunggu aku bukain pintu.”
Zidan hanya menanggapi dengan anggukan kecil. Saat pintu terbuka, Letta mempersilakan Zidan masuk lebih dulu. Begitu melangkah ke dalam, Zidan terdiam sejenak. Interior apartemen itu modern, tertata rapi, dan terasa hangat. Jelas terlihat bahwa Letta merawat tempat ini dengan baik.
“Selamat datang di rumah baru kita, Mas,” ujar Letta dari belakang, suaranya penuh semangat dan harapan.
Zidan menoleh, menatap Letta dengan tatapan yang sulit diartikan. Dalam hati, ia harus mengakui bahwa Letta adalah sosok istri yang banyak diidamkan—ceria, perhatian, dan penuh semangat. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam hatinya yang belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan Letta.
“Eh iya, Mas mau minum sesuatu? Biar aku siapin,” tawar Letta, mencoba mencairkan suasana.
Zidan menggeleng pelan. “Di mana kamarnya?”
Pertanyaan itu membuat Letta terpaku sesaat. Pikirannya langsung melayang ke malam sebelum mereka berangkat ke kota ini. Mungkin… akan lebih baik jika mereka tidur di kamar terpisah. Setidaknya, itu bisa menghindarkan dirinya dari rasa sakit karena penolakan lagi.
“Lorong kiri kamar Mas, dan lorong kanan kamar aku,” jawab Letta akhirnya, berusaha terdengar biasa saja.
Zidan mengerutkan dahi sesaat, agak terkejut. Ia sempat mengira mereka akan berbagi kamar, tapi di sisi lain, ia juga merasa lebih nyaman sendiri untuk saat ini.
Tanpa banyak bicara, Zidan mengangguk dan melangkah ke arah kamar yang ditunjukkan. Letta menatap kepergiannya dalam diam. Ada rasa kecewa yang kembali mengalir dalam dadanya.
Dia bahkan tidak menolak, tidak bertanya apa pun. Apa sedingin itu hatinya? Apa sebegitu tidak nyamannya dia satu kamar denganku? batin Letta, menatap kosong ke arah lorong tempat Zidan menghilang.
Tak ingin terus larut dalam kekecewaannya, Letta memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia melangkah ke dapur, berniat membuatkan teh hangat untuk Zidan. Saat memeriksa lemari dapur, ia merasa lega karena persediaan bahan masih cukup untuk menyeduh secangkir teh.
Dengan cekatan ia menyiapkan teh tersebut, menyajikannya di atas nampan kecil, lalu membawanya menuju kamar tempat Zidan berada.
Tok... Tok... Tok...
“Mas?” panggil Letta lembut. “Boleh aku masuk?”
Tak ada jawaban dari dalam. Setelah menunggu sejenak dan masih tak mendapat respon, Letta memutar kenop pintu perlahan dan membukanya. Ternyata tidak dikunci.
Begitu pintu terbuka, suara gemericik air dari kamar mandi langsung terdengar. Letta menghela napas lega. Oh, sedang mandi, batinnya.
Ia melangkah pelan ke dalam dan meletakkan cangkir teh di atas nakas kecil di samping tempat tidur. Namun, bukannya langsung pergi, Letta justru memandang sekeliling, memastikan semuanya baik-baik saja. Kamar itu terlihat rapi dan dingin, tidak banyak benda pribadi di sana. Hampa, seperti jarak di antara mereka.
Setelah merasa cukup, Letta berbalik dan meninggalkan kamar itu dengan hati-hati, menutup pintunya pelan agar tak menimbulkan suara.
Beberapa menit kemudian, Zidan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk melingkar di leher. Ia berjalan ke arah tempat tidur dan berhenti sejenak saat matanya menangkap secangkir teh yang masih mengepulkan uap di atas nakas.
Alisnya mengernyit pelan. “Ternyata dia datang...” gumamnya dalam hati.
Ada kehangatan kecil yang menyusup diam-diam ke dalam dadanya.
TBC...
Hari ini aku double up karena kemarin ga sempet update, sorry buat yg udh nungguin
Btw bentar lagi Letta mulai beraksi nih buat naklukin Zidan, kira-kira kalian penasaran ga nih?