NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengintip

Ia menutup mata, mencoba mengingat kembali setiap detail wajah Sumi dalam mimpinya, dan sensasi sentuhan kulit mereka yang menyatu dalam air.

"Raden Ayu Sumi," gumamnya, nama itu terasa manis di lidahnya.

Martin bangkit dari bathub, air menetes dari tubuhnya. Ia meraih handuk dan mengeringkan diri, namun pikiran dan tubuhnya masih terasa seperti berada di dua tempat berbeda.

Sambil memakai jubah mandinya, Martin berjalan ke kamar tidur. Ia menatap keluar jendela, ke arah selatan di mana Kedung Wulan berada. Malam sudah sangat larut, tapi ia merasa lebih terjaga dari sebelumnya. 

Ada dorongan aneh untuk pergi ke sana sekarang juga, untuk memastikan apakah Sumi benar-benar ada di sana seperti dalam mimpinya.

"Tidak masuk akal," ia bergumam pada diri sendiri. "Itu hanya mimpi."

Namun saat ia berbaring di ranjangnya yang luas, Martin tidak bisa menghilangkan bayangan mimpi yang terlalu nyata.

Sementara Sumi dan Mbok Sinem baru saja tiba di gubuk kecil yang dimaksud—sebuah pondok pengawas kebun yang sudah lama tidak digunakan. 

Meski atapnya berlubang di beberapa tempat, setidaknya masih cukup melindungi dari angin malam.

"Saya akan menunggu di sini, Ndoro," ucap Mbok Sinem, matanya masih menyiratkan kekhawatiran mendalam. "Jika terjadi apa-apa, berteriaklah sekeras mungkin."

Sumi mengangguk. "Saya tidak akan lama, Mbok."

"Ndoro yakin tidak mau saya temani sampai ke pinggir sendang?" tanya Mbok Sinem sekali lagi.

"Tidak perlu, Mbok. Saya harus ... melepaskan semua pakaian untuk ritual ini." Sumi sedikit menunduk malu saat mengatakannya. "Lebih baik si Mbok tunggu di sini saja."

Mbok Sinem akhirnya mengangguk paham. "Hati-hati, Ndoro. Jangan lupa membaca doa sebelum masuk ke air."

Sumi tersenyum, tersentuh oleh kekhawatiran abdinya. "Suwun, Mbok."

Dengan lampu minyak di tangan, Sumi melanjutkan perjalanan sendiri. Hutan di sekitar sendang terasa sunyi mencekam, hanya sesekali terdengar suara burung hantu dan desir angin di antara pepohonan. 

Beberapa kali ia nyaris tersandung akar pohon yang menjalar di tanah, tapi ia terus melangkah dengan tekad yang kuat.

Sementara di kamarnya, Martin tidak bisa tidur. Mimpinya tentang Sumi di Kedung Wulan terasa terlalu nyata untuk diabaikan. 

Sesuatu dalam dirinya terus berbisik, mendorongnya untuk bangkit dari ranjang dan pergi ke sendang.

Akhirnya, ia menyerah pada dorongan tersebut. Martin bangkit, mengenakan celana panjang krem ringan dan kemeja putih polos yang tidak dikancing sempurna. 

Ia menyampirkan mantel berwarna coklat tua ke bahu, lalu mengenakan sepatu bot kulit hitam yang kokoh. 

Dengan tergesa, ia menyambar korek api dan cerutu Havana—satu-satunya kemewahan dari Eropa yang tak pernah ia tinggalkan, lalu menyelinap keluar dari pintu belakang rumah dan langsung menuju kandang kuda. 

Ia memilih kuda hitam kesayangannya—lebih gelap dan tidak terlalu mencolok di malam hari. 

Dengan cekatan, pemuda itu memasang pelana dan mengambil lampu minyak yang digantung di dinding kandang.

Martin memacu kudanya menyusuri jalan setapak yang menghubungkan langsung kediaman Van der Spoel dengan area Kedung Wulan. 

Jalan itu melewati kebun tebu keluarganya, memotong hutan kecil, dan langsung mengarah ke belakang area sendang. 

Angin malam membuat rambutnya yang belum tertata rapi semakin berantakan. Ada sensasi aneh yang menguasainya—campuran antara hasrat, penasaran, dan sesuatu yang lebih gelap. 

Detak jantungnya semakin cepat seiring jarak ke Kedung Wulan yang semakin dekat.

Dari kejauhan, Martin melihat setitik cahaya kecil bergerak dari arah tinggi di sebelah utara, terus menurun menuju ke sendang. Cahaya itu bergoyang pelan, tampak seperti lampu minyak yang dibawa seseorang.

"Itu pasti dia," bisik Martin pada diri sendiri. “Pantas saja perempuan itu terburu-buru meninggalkan pesta, pasti untuk pergi ke tempat ini diam-diam tanpa izin, dia mengira aku masih di pesta. Malang sekali nasibmu, Raden Ayu.”

Saat jarak menuju sendang semakin dekat, Martin turun dari kudanya. Ia menambatkan kuda di pohon besar terdekat dan mematikan lampu minyaknya. 

Bulan yang nyaris penuh sesekali muncul di antara awan, memberikan cukup penerangan untuk melihat jalan yang telah dihafalnya. 

Pemuda itu melangkah dengan hati-hati, menghindari ranting kering yang bisa menimbulkan suara. 

Dengan tenang ia menyalakan cerutunya, kilatan api pemantik sejenak menerangi wajahnya yang tampan.

Langkah Martin terhenti saat ia tiba tidak jauh dari sendang. Mimpinya seolah menjadi nyata di hadapannya. 

Di tepi sendang, di bawah cahaya temaram lampu minyak yang diletakkan di atas batu besar, berdiri sosok Raden Ayu Sumi.

Perempuan itu perlahan melucuti pakaiannya satu persatu. Cahaya lampu minyak, seperti cahaya senja dalam mimpi Martin, menerangi kulit mulus Sumi yang bersinar lembut. 

Setiap gerakan tangannya yang melepaskan kebaya, membuka stagen, dan melonggarkan kain jarik, terasa seperti tarian lambat yang menghipnotis, begitu anggun.

Semuanya kini terlihat jelas—pemandangan ini bahkan lebih menggoda dari yang Martin lihat dalam mimpinya. 

Namun dari semua daya tarik yang sulit ditolak, tekad Sumi lah paling memikat, keberanian seorang perempuan bangsawan Jawa yang mempertaruhkan segalanya tengah malam di tempat seperti ini.

Martin menahan senyum saat melihat Sumi terus menoleh ke kanan dan kiri, memeriksa apakah ada orang lain di sekitarnya. 

Dengan hati-hati perempuan itu mendekati tepian sendang yang dibingkai batu alam. Batu-batu yang lama dibiarkan menyatu dengan alam tampak licin, membuat Sumi nyaris terpeleset beberapa kali.

Martin tersenyum memperhatikan cara Sumi berusaha menutupi tubuhnya—satu tangan mencoba menutup bagian atas tubuhnya, sementara tangan lain menutupi area bawah sambil berjalan dengan paha terkatup rapat.

Manakala mulai menuruni undakan batu menuju air sendang, Sumi menjulurkan satu kakinya ke bawah, tampak berjingkat saat merasakan dinginnya air. 

Martin bisa melihat tubuh perempuan itu bergidikt—entah karena dingin atau ketakutan, atau mungkin keduanya.

Ada dorongan kuat dalam diri Martin, seperti dalam mimpinya, untuk mendekat. Untuk menuruni undakan bersamanya, menyentuh kulit yang basah itu, dan mencium bibir yang gemetar karena dingin. 

Tapi tentu saja Martin tidak melakukannya. Ia masih cukup waras untuk tahu bahwa itu akan menghancurkan segalanya. 

Ia hanya menonton dari jarak aman, di balik semak belukar tebal, ditemani asap cerutu yang mengepul pelan ke langit malam.

Sementara itu, Sumi mencoba mengatur napasnya saat kakinya mulai masuk lebih dalam ke air yang dingin. 

Rasa beku seketika merambat naik sampai ke ubun-ubun, membuatnya napasnya tertahan.

Dengan perlahan ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya, sambil memperhatikan permukaan air yang tenang, lalu mengedar ke sekeliling sendang yang dikelilingi pohon-pohon yang merunduk, seolah mencondongkan diri ke arah air. 

Akar-akar pohon menembus bebatuan seperti cakar raksasa yang menjaga sendang, menciptakan bayangan-bayangan aneh dalam cahaya temaram.

Antara takut dan ingin segera menyelesaikan ritual, Sumi mencoba turun selangkah demi selangkah. 

Namun tangga batu itu tebal oleh lumut, membuat jari-jari kakinya mengerut geli setiap kali menginjak permukaan yang licin dan lembek. Sesekali ia terpeleset, tapi selalu berhasil berpegangan pada undakan batu.

Pada satu gerakan yang kurang hati-hati, Sumi terpeleset dan mendarat dengan bokongnya di tepian batu. 

Ia menahan jerit kesakitan, wajahnya meringis menahan ngilu, membuat Martin semakin terhibur.

Tapi kekehan Martin mendadak terhenti saat ia melihat sesuatu yang aneh di permukaan air sendang. 

Tepat saat Sumi mulai masuk hingga air mencapai pinggangnya, permukaan air yang tadinya tenang mulai beriak pelan. 

Bukan riak yang disebabkan oleh gerakan Sumi, tapi seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan air.

Sumi tampaknya tidak menyadarinya. Ia masih fokus mengatur keseimbangannya, perlahan menenggelamkan tubuhnya semakin dalam ke air dingin. 

Tangannya yang gemetar kini mencoba membasahi rambutnya yang panjang, sesuai instruksi ritual yang ia terima—membasahi seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Martin menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas dalam keremangan. Di permukaan air, di sekitar tubuh Sumi yang telanjang, berkumpul belasan—mungkin puluhan—sosok gelap bertempurung. 

Seperti kura-kura, tapi jauh lebih besar dari yang pernah ia lihat, dengan kepala yang lebih lonjong dan cakar-cakar panjang yang menggapai-gapai.

1
ian
tak tahu balas budi kamu yemm
ian
gimana rasa cemburu kang ???
puaaanaaaskan
Fetri Diani
sebagai istri nomor tiga yg selalu dinomor tiga kan.... lahh.. salahnya dimana jal yem? /Facepalm/ ada2 sj ndoro otor ini. /Joyful/
ian
pariyeeeeemmm kamu cari ulah sama emak2 netizen
ian
hadeuuh
Nina Puspitawati
kurangggggg....makin penasaran
Alea 21
Matur suwun up nya ndooroo..
Nina Puspitawati
face the world
Nina Puspitawati
semangat Sumi 😘
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu sosok priyayi yg benar2 berdarah ningrat
ian
pedihnya sumi berasa sampai sini
Ratna Juwita Ningsih
aku sih dukung Sumi cerai... tapi aku takut dilaknat Allah...🤗
Jati Putro
Ndoro ayu Sumi nasib nya kurang mujur ,
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
Okta Anindita
semangat Raden Ayu..jangan mau turun derajat,,ihhh apaan dari garwo padmi kok jadi garwo ampil,pasti makan hati banget
Rani
koyoe sing mandul sing lanang.nanti kalau cerai kan biar ketahuan.Retno gak punya2 anak.dan ternyata Pariyem hamil boongan.ben malu sisan Ndoro Ibune.jebule anak e dewe sing mandul
Tati st🍒🍒🍒
kalau g cerai terus hamil anak martin nanti jadi petaka,kalau ketauan ...cerai jadi cibiran dan hinaan...tapi kalau aku lebih baik cerai sih😅
Tati st🍒🍒🍒
istrimu baru dideketin martin aja kamu udah g suka,apakabar sumi yg di madu dah pasti hatinya sakit,perih
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
mgkin martin kebahagian mu to ntah lah suka2 author nya mau gimna yaaa kann
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
idihhh istri mana yg mau di madu terang2an mending mundur lah org selir aja udh 2 trp nglah ini mau nambah lagi dann apa mau di turunin jd seli mndg kaur aja mndg sm martin aja klo gtu
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
nahh ndoro ini bikin dag dig dug deh bacanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!