NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Makan Malam

Tania membuka pintu rumahnya setelah Kevin mengantarkannya pulang. Biasanya saat dia membuka pintu rumah dan mengucap salam, Mila akan membalasnya biarpun itu dia sedang berada di dalam kamar. Kepekaan Mila terhadap Tania begitu kuat, berbanding terbalik dengan Kevin.

Tapi kali ini, saat dia membuka pintu rumah dan mengucap salam. Alih-alih mendengar suara Mila yang menyahut, justru dia melihat keadaan rumahnya yang sepi, nyaris tidak berpenghuni. Tania mengernyit dan mengabsen seluruh sudut rumah.

Saat dia menoleh ke arah dapur, dia menemukan Mila duduk sendirian. Awalnya dia pikir tidak ada sesuatu hal yang aneh pada ibunya. Tetapi setelah dia mendekat dan dia melihat Mila melamun seraya mengaduk kopi. Tania jamin pikiran Mila tidak terarah pada kopi yang diaduknya.

"Mama, kopinya," pekik Tania.

Mila langsung terkesiap. Seolah dia baru saja bangun dari mimpi buruknya. Dia menyadari kebodohannya sendiri. "Tania, ngagetin aja," ujar Mila.

"Mama ngapain ngaduk kopi lama banget?" tanya Tania.

"Enggak apa-apa. Kamu baru pulang dari rumah Amanda? Sama siapa?" tanya Mila.

"Tadi ketemu kak Kevin di jalan," jawab Tania.

Mila mengangguk-angguk. "Iya udah, sana masuk kamar."

Alih-alih menuruti perintah Mila, Tania justru duduk di samping Mila dan memperhatikan ibunya yang sedang menambahkan gula ke kopinya. "Mama tadi ngelamunin apa?" tanya Tania.

"Mama nggak ngelamunin apa-apa," jawab Mila.

"Masa? Tapi tadi—"

"Tania, masuk kamar!" cela Mila. Matanya menyorot tajam pada Tania.

Tania berdecak sebal. "Iya, iya!" ujarnya lantas beranjak masuk ke dalam kamar.

Mila menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Dia menatap punggung Tania yang mulai menjauh. Entah sampai kapan anaknya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah dan entah sampai kapan dia akan menjadi seorang single parent. Secepatnya Mila akan mencari tahu tentang kebenaran dari ucapan Tuti sewaktu siang.

...******...

Kevin terkejut bukan main saat melihat kehadiran Tari yang duduk di sofa rumahnya bersama dengan Maya—ibunya. "Tari?" panggil Kevin menghentikan tawa Tari dan Maya. Dia duduk di depan Tari seraya meletakkan bungkusan makanan di atas meja.

"Hai!" sapa Tari balik.

"Tumben ke sini, ada apa?" tanya Kevin.

Tari mengeluarkan buku paket dari dalam tasnya lalu menyodorkannya pada Kevin. "Gue mau balikin buku lo," ujar Tari.

Kevin menerima buku itu. "Ya ampun, besok juga bisa kali, Tar, nggak malam-malam gini," ujar Kevin.

"Gue pikir lo butuh itu buat belajar, jadi gue balikin sekarang," ujar Tari.

"Oke, makasih ya," ujar Kevin.

"Kalau gitu saya pamit dulu ya, Tan," ujar Tari.

"Lho, kok cepetan. Baru aja ketemu sama Kevin," ujar Maya.

"Cuma mau balikin buku aja, Tante. Makasih lho jus alpukatnya," ujar Tari.

"Sama-sama. Nanti pulangnya diantar Kevin aja ya," ujar Maya.

"Enggak usah, Tan," ujar Tari.

"Enggak apa-apa, Tar, gue anterin," ujar Kevin.

Tari tidak bisa menolaknya. Dia tersenyum mengangguk sebagai jawaban.

"Kalau gitu sekalian aja ajak Tari makan sama kamu, dia belum makan, lho. Kamu juga belum makan, 'kan?" ujar Maya.

"Oke. Ayo, Tar." Kevin bangkit berdiri diikuti Tari dan Maya.

Tari menyalami tangan Maya begitu pun dengan Kevin. Kedua remaja itu beranjak dari rumah dituntun Maya di belakangnya.

"Hati-hati ya, Nak," ujar Maya saat melihat Tari bersiap naik ke atas motor Kevin.

"Iya, Tante. Assalamualaikum," ujar Tari.

"Walaikumsalam," ujar Maya.

Lantas, Kevin segera menarik gas dan melesat di jalanan malam. Tanpa mereka ketahui ternyata Tania tidak sengaja melihat Kevin membonceng Tari dari balik jendela kamarnya. Awalnya dia ingin lihat apakah Kevin sudah masuk ke rumah atau belum. Tetapi pemandangan tidak mengenakkan yang justru dia lihat.

Tania berdecak sebal dan mengentakkan kakinya kasar. "Ish, nyebelin banget kak Tari," gerutunya.

Mungkin hanya Kevin dan Tari yang tidak mengetahui keberadaan Tania yang sedang menguntit, tidak dengan Maya. Wanita paruh baya itu tahu kalau Tania sedang menggerutu kesal di dalam kamarnya. Dia hanya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang melihat aksi Tania.

...******...

Kevin memberhentikan motornya di sebuah restoran. Tari terkejut bukan main karena Kevin mengajaknya makan di restoran, padahal dia tidak meminta ini. Biasanya juga Kevin selalu makan di pinggir jalan. Tetapi kali ini adalah bentuk pengecualian. Tari takut ini akan terkesan seperti tuntutan tanpa pembicaraan.

"Kita makan di sini? Gue nggak minta lho, Kev," ujar Tari saat dia melepas helmnya.

"Gue mau makan pasta, jadi ya makan di sini," ujar Kevin. "Nggak apa-apa, 'kan?" tanya Kevin.

Ini yang Tari suka dari Kevin. Pria itu cenderung lebih menghormati dan mengistimewakan wanita siapa pun. Maka jangan heran kalau banyak yang baper setelah didekati Kevin.

Tari menggeleng. "Enggak, ayo masuk."

Kevin menggandeng tangan Tari masuk ke dalam restoran dan langsung disambut hangat oleh pelayan. Mereka duduk di dekat jendela dan membuka buku menu yang tersedia.

"Lo mau pesan apa?" tanya Kevin.

"Samain aja kayak punya lo," jawab Tari.

"Minumnya?" tanya Kevin lagi.

"Samain lagi aja," jawab Tari.

"Kalau hati mau disamain nggak sama punya gue?" tanya Kevin.

Tari tersentak dengan pertanyaan itu. Dia menatap mata Kevin yang pupilnya terlihat membesar lalu jatuh pada bibir manis Kevin yang tertarik sempurna.

Melihat reaksi terkejut dari Tari, Kevin yakin kalau gadis di depannya itu tidak bisa berkata-kata lagi.

"Gue bercanda, Tar," ujar Kevin.

Tari bernapas lega. Bagaimanapun juga ini membuat damage-nya naik secara perlahan. Dia jadi terasa gugup duduk di depan Kevin. Apalagi ketika pria di depannya ini tersenyum menggoda seraya menaik turunkan-alisnya.

"Mbak." Kevin melambaikan tangannya memanggil seorang pelayan.

Seseorang menoleh saat mendengar suara yang begitu familier. Dia menoleh dan menyipitkan matanya, memastikan dengan benar apakah itu Kevin atau bukan.

Seorang pelayan tergopoh-gopoh mendekat.

"Saya pesan 2 pasta, pedes semua. Sama minumannya jus alpukat satu dan lemon tea satu," ujar Kevin.

Tangan pelayan itu dengan cepat menulis pesanan Kevin. "Baik, ditunggu ya, Mas." Dia berjalan pergi ke pantry untuk memberitahukan pesanan pelanggan.

Kevin mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja membentuk irama tidak teratur seraya memperhatikan Tari yang sedang fokus pada ponselnya. Melihat sisi kanan dan kiri wajah Tari yang menurutnya nyaris sempurna terlihat manis.

"Itu kak Kevin." Dia menunjuk Kevin dengan kening berkerut.

Amanda menoleh, mengikuti arah telunjuk Nico. Dia juga sama terkejutnya saat melihat ada Kevin di sana. Untungnya mereka terpisah beberapa meja dan terpisah karena pembatas kaca. "Iya, sama kak Tari?" tanya Amanda lagi.

Nico menggaruk tengkuknya. "Waduh, gimana kalau dia tahu kita ada di sini?" tanya Nico menatap Amanda.

"Emangnya kenapa? Gue nggak akan marahin kak Kevin demi membela Tania," ujar Amanda.

Nico berdecak sebal. "Bukan gitu, Man," ujarnya.

"Terus?" tanya Amanda meminta penjelasan lebih detail.

"Nanti kalau mereka ikut duduk sama kita gimana?" tanya Nico.

Ah! Amanda paham apa maksud dari perkataan Nico. Dia menganggukkan kepalanya. Benar juga apa yang ditakutkan Nico nantinya.

"Iya udah, kita pura-pura nggak lihat mereka aja," ujar Amanda.

"Kita cari tempat lain aja yuk, Man," ujar Nico. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Berbanding terbalik dengan ekspresi Amanda yang terlihat tenang.

"Kenapa?" tanya Amanda.

"Gue nggak enak kalau makan berduaan gini, terus ada yang gue kenal," ujar Nico.

Amanda mengangguk paham. Dia harus menghormati keputusan dan menghargai keadaan Nico. Lagi pula mereka sudah cukup lama berada di sini.

"Iya udah, ayo." Amanda bangkit berdiri diikuti dengan Nico.

Sebisa mungkin mereka berjalan keluar restoran layaknya seorang perampok yang mulai melakukan aksinya.

"Jadi lo dari jam tujuh ke rumah gue?" tanya Kevin.

Tari mengangguk. "Iya, dan kata tante Maya lo baru aja keluar beli makanan buat dia," ujar Tari.

"Terus tadi naik apa ke rumah gue?" tanya Kevin.

"Ojol," jawab Tari.

Kevin mengangguk paham. Dia hendak mengeluarkan ucapannya tetapi dia mengurungkan niatnya itu saat matanya menangkap seseorang berjalan mengendap-endap layaknya perampok. Dari perawakannya Kevin sepertinya tahu.

"Lihatin apa, sih?" tanya Tari saat dia melihat Kevin menyipitkan matanya. Dia ingin menoleh jika saja Kevin tidak bersuara.

"Enggak, itu pastanya udah datang," ujar Kevin menunjuk pelayan yang berjalan mendekat lalu menyajikan dua porsi pasta dan dua gelas minuman.

Kevin menatap beringas makanan di depannya, seolah ini adalah makanan terlezat di dunia. Tari terkekeh geli melihat hal itu, dia tahu Kevin sangat lapar dan ingin sekali makan pasta. Jadi jangan heran dan jangan menatap terkejut ketika melihat Kevin yang ganteng ini makan dengan sangat lahapnya.

...******...

Di luar sana, Amanda dan Nico bernapas lega karena Kevin dan Tari tidak menyadari keberadaan mereka.

Amanda menghela napas lega. "Untungnya mereka nggak lihat," ujarnya.

Nico mengangguk. "Iya."

"Kira-kira menurut lo kenapa mereka bisa makan berdua di sini, ya?" tanya Amanda.

Nico menggeleng. "Nggak tahu."

Amanda menatap tubuh jangkung Nico. "Kita mau ke mana sekarang?" tanya Amanda.

Nico menatap balik Amanda. "Lo maunya ke mana?"

Amanda mengetuk-ngetuk telunjuknya ke arah dagu. Dia berpikir ke mana dia ingin pergi bersama Nico malam ini.

"Gue mau ke ... pulang aja yuk, Nic. Udah malem juga, 'kan kita udah dari tadi," ujar Amanda.

Nico menghela napas pasrah. "Iya udah, ayo," katanya.

Dan akhirnya, Amanda dan Nico memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Daripada mereka makan di tempat lain dan membuang waktu juga uang, lebih baik pulang ke rumah. Lagi pula, mereka sudah cukup kenyang.

Nico melajukan motornya di jalanan saat Amanda sudah siap di atas boncengan motor.

...******...

Seharusnya ini jam pelajaran ibu Jihan. Dan biasanya guru itu masuk tepat waktu saat bel berbunyi. Tetapi kali ini guru itu membiarkan anak muridnya berhura-hura di dalam kelas. Dia yang tidak suka kelas bising justru memberikan peluang itu di kelas. Alhasil, saat ini anak-anak beraksi masing-masing. Masuk ke dalam beberapa kategori anak jika guru tidak masuk ke kelas.

Amanda sedang mengecat kukunya, Nabilla sedang bermain ponsel, dan Tania memilih menyobek-nyobek kertas menjadi kecil.

Nabilla yang melihatnya begitu jengah.

"Lo kenapa sih, Tan? Nyobek-nyobek kertas kayak nggak ada kerjaan," cibir Nabilla. "Kasihan yang piket tahu, mereka yang bersihin dan lo yang ngotorin," lanjutnya.

Tania berdecak sebal. "Gue tuh lagi kesel akhir-akhir ini," ujarnya dengan raut frustrasi.

"Kenapa? Soal kak Kevin, ya?" tanya Amanda.

Tania mendengus kesal sebagai jawaban.

Amanda terkekeh jahat. "Tania, Tania. Buat apa sih lo cemburu sama dia? Pacar juga bukan," ujar Amanda.

"Emang pacar aja yang boleh cemburu. Sebagai seorang sahabat yang baik hati gue juga berhak cemburu," ujar Tania membela diri.

"Cemburu lo itu nggak berdasar, Tania," ujar Nabilla.

Benar apa kata kedua temannya. Untuk apa cemburu, dan kalaupun iya itu tidak berdasar. Tetapi tetap saja, yang namanya hati tidak bisa dibohongi.

"Tapi gue rasain sakit. Waktu itu mereka berduaan. Terus semalam kak Tari main ke rumahnya kak Kevin dan pulangnya dianterin," ujar Tania dengan nada memelas.

"Apa? Kak Tari main ke rumah kak Kevin?" tanya Nabilla.

Tania mengangguk. "Iya."

"Ngapain?" tanya Nabilla.

"Mana gue tahu," ujar Tania seraya mengedikkan bahu.

"Padahal kak Kevin baru aja nganterin gue pulang dari rumah Amanda karena ketemu di jalan," ujar Tania.

Kalau Nabilla sudah menginterogasi Tania habis-habisan, maka di waktu yang sama Amanda berpikir sesuatu hal.

"Tunggu." Amanda mengangkat 5 jarinya menghentikan percakapan antara Tania dan Nabilla. "Tadi lo bilang kak Tari main ke rumahnya kak Kevin dan pulangnya dianter?" tanya Amanda.

Tania mengangguk.

Amanda tersenyum smirk. Melihat wajah cemburu Tania seolah menjadi hiburan tersendiri. Dia menatap manik mata Tania membuat gadis itu menautkan alisnya.

"Semalam gue ketemu kak Kevin sama kak Tari," ujar Amanda. "Berduaan," ujarnya seraya mengangkat jari telunjuk dan tengah ke udara.

"Bohong, lo mau nipu gue 'kan biar tambah panas?" tanya Tania menyolot.

Amanda menghela napas. "Sejak kapan sih seorang Amanda yang cantik jelita ini bohong?" ujar Amanda seraya menunjuk area wajahnya.

"Itu kata-kata gue Amanda," ujar Tania.

"Iya udah, maaf," ujar Amanda. "Pokoknya semalam itu gue ketemu kak Kevin dan kak Tari di sebuah restoran," ujar Amanda mendramatisir. Persis seperti seorang tokoh antagonis yang sedang memprovokasi.

"Masa? Lo tahu dari mana?" tanya Nabilla penasaran.

Amanda berdecak sebal. "Gue tahu sendirilah. 'Kan semalam gue sama—" Amanda langsung menghentikan kalimatnya saat dia nyaris mengucapkan nama seseorang. Tania dan Nabilla sama-sama menunggu dengan penasaran lanjutan kalimat Amanda. Tetapi gadis itu justru menggantungkannya dan membuka mulutnya setengah lebar.

"Sama apa? Semalam lo jalan sama cowok simpanan lo, ya," ujar Tania mengarahkan telunjuknya di depan wajah Amanda.

Amanda menepis telunjuk Tania. "Sembarangan lo! Dia bukan simpanan gue," ujar Amanda.

"Kalau bukan simpanan, apa? Lo selalu menyembunyikan dia dari kita," ujar Tania menunjuk dirinya dan Nabilla.

"Ups, sorry ya. Gue udah tahu siapa cowok simpanan Amanda," ujar Nabilla membuat Amanda dengan segera memelototinya.

"Siapa?" tanya Tania mendesak.

"Ibu Jihan! Ibu Jihan! Duduk woy!"

Anak-anak bergegas duduk di tempatnya masing-masing dan memasang ekspresi siap. Keributan yang semula tercipta itu seketika hilang saat salah seorang murid memberikan informasi dengan berteriak saat ibu Jihan hendak masuk ke dalam kelas.

Alih-alih guru itu datang sendirian, justru beberapa anak OSIS mengintil ibu Jihan. Seisi kelas menatap bingung kehadiran anak-anak OSIS. Jangan-jangan ingin dimintai partisipasi lagi.

"Pagi anak-anak!" sapa ibu Jihan. Guru itu tidak lagi menyapa dengan bahasa Inggris dan wajah galaknya yang begitu khas. Melainkan menyapa dengan menggunakan bahasa Indonesia dan seulas senyum manis.

"Pagi, Bu!" jawab seisi kelas.

"Maaf ya ibu telat datang," ujar ibu Jihan.

"Iya, Bu!" jawab seisi kelas.

"Kevin, silahkan," ujar ibu Jihan.

Pria tubuh jangkung itu segera berdiri di tengah-tengah kelas saat ibu Jihan mempersilakan. Kalau anak-anak lain sudah menatap terpesona tubuh jangkung Kevin, maka lain halnya dengan Tania yang memasang ekspresi jutek saat melihat Tari tahu-tahu berada di samping Kevin.

"Mohon maaf mengganggu waktu belajarnya sebentar. Saya dan rekan-rekan saya ingin menyampaikan kembali kampanye secara berkala ke setiap kelas. Dan bagi kalian yang ingin mengajukan pertanyaan dipersilakan. Tapi minimal dua saja ya," ujar Kevin.

"Iya, Kak!"

"Oke, nanti mohon perhatiannya," ujar Tari. "Silahkan para kandidat." Dia mempersilakan para kandidat maju satu langkah.

Anak-anak mulai memperhatikan termasuk ibu Jihan yang berdiri di belakang pojok kelas.

"Saya akan menyampaikan visi dari kandidat satu," ujar Adrian. "Visinya adalah meningkatkan kemajuan disiplin dalam setiap aspek," lanjutnya.

"Untuk misinya adalah memberikan sanksi bagi para pelanggar, menegakkan aturan-aturan baru yang lebih terperinci dan jelas, dan juga memberikan pelatihan LDK bagi para pelanggar yang sudah mendapatkan SP selama tiga kali. Terima kasih," ujar Naomi.

Seisi kelas langsung bertepuk tangan riuh.

Kali ini giliran Aldo dan Nico yang melangkah maju.

"Saya Aldo akan menyampaikan visi kami. Visi kami adalah meningkatkan semangat belajar dan menumbuhkan tingkat sosial dan rasa peduli," ujar Aldo.

"Misinya yaitu menggalakkan setiap event di tanggal penting, memberikan edukasi secara berkala, dan memberikan wadah bagi siswa-siswi yang ingin membangun potensi. Terima kasih," ujar Nico.

Seisi kelas kembali bertepuk tangan riuh.

Saatnya kandidat tiga yang maju. Kali ini beda dari yang lain, itu karena semua calonnya perempuan.

"Halo, saya akan menyampaikan visi kami. Visinya yaitu sebagai wadah pembangunan bagi siswa-siswi yang ingin memiliki potensi dan kami berusaha menjadi OSIS terbaik di sekolah ini dengan memberikan pendampingan secara berkala pada kondisi tertentu," ujar Diandra.

"Misinya yaitu lebih dekat kepada para siswa-siswi agar bisa terhubungnya tali silaturahmi dan menggalakkan edukasi di saat tertentu. Terima kasih," ujar Tyas.

Seisi kelas kembali bertepuk tangan.

"Baik, terima kasih kepada para kandidat. Selanjutnya, apakah ada yang ingin ditanyakan?" tanya Kevin melihat seisi kelas.

Kali ini Tania dengan beraninya mengacungkan tangan membuat dia menjadi pusat perhatian. Bagaimana bisa seorang Tania bisa menyimak semua visi misi dan mengajukan pertanyaan. Bertanya saat pelajaran pun dia boro-boro. Ini adalah sesuatu yang langka.

"Silahkan berdiri," ujar Kevin.

Tania berdiri dengan sangat yakin. Dia sekarang terlihat sombong dan angkuh. Dia menatap tajam Aldo dan Nico membuat Nico berkali-kali meneguk ludah.

"Saya ingin bertanya pada kandidat dua. Maksudnya menumbuhkan rasa sosial dan peduli itu apa ya? Bukannya selama ini itu selalu diterapkan?" tanya Tania.

"Silahkan kandidat dua langsung dijawab," ujar Tari.

Tania kembali duduk dan Aldo berdeham bersiap untuk menjawab.

"Jadi gini, banyak 'kan dari kita yang sering lihat pembulian dan penghinaan. Apalagi di zaman kita yang sekarang banyak orang bersembunyi di balik kata 'baper' untuk membela dirinya. Padahal 'kan tanpa kita sadari ucapan kita yang besar ataupun kecil itu bisa melukai perasaan seseorang. Dan enggak seharusnya orang bersembunyi di balik kata 'baper'. Karena, kalau menurut dia itu hanya candaan. Maka, menurut sang lawan itu adalah bentuk penghinaan," jelas Aldo.

Seisi kelas bertepuk tangan mendengar jawaban Aldo yang begitu luar biasa.

"Dan lo mau tahu apa contoh kecilnya?" tanya Nico.

"Apa?" tanya Tania.

"Lo sendiri. Saat lo dengan tanpa malunya marahin orang yang sebetulnya nggak salah apa-apa dan membuat lo terkesan seperti orang gila. Makanya nanti gue mau kasih edukasi lo tata cara hidup yang baik dan benar. Iya enggak, Tania kayak gitu?" tanya Nico meminta persetujuan kelas.

"Iya, bener banget!" jawab seisi kelas disusul tawa.

Tania memasang ekspresi cemberut saat seisi kelas mentertawakannya. Seharusnya dia tidak bertanya. Ini adalah boomerang-nya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!