Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kin Bercerita
Liliane duduk di lobi perusahaan Hoshikawa sembari menggulir layar ponselnya. Ia masih menunggu Kin yang tidak mau turun menemuinya, karena asik bermain dengan pegawai Takeshi. Jika sudah begitu, baik Liliane maupun Takeshi akan angkat tangan. Anak lelakinya itu sedikit keras kepala, Liliane juga tidak tahu darimana Kin mendapatkan sifat itu. Oleh karenanya, Liliane tidak akan memaksa Kin untuk pulang sekarang, ia akan membiarkan anak itu turun dengan sendirinya, menemuinya di depan lobi.
Saat sedang menggulir layar, mata berwarna hazel itu terpaku pada sebuah berita yang berasal dari kalangan bisnis dan selebriti internasional. Sebenarnya ini bukan berita baru, sudah menjadi rahasia umum jika Kian Marchetti memiliki hubungan dengan Felice Marino. Namun, saat melihatnya tetap saja Liliane merasa sedikit tidak rela. Liliane amat membenci Kian, tapi ia juga tidak berniat mencekiknya sampai mati.
"Aku tidak pernah menyangka akan melahirkan putramu," ucap Liliane dengan lirih. Tatapannya tak terbaca, perasaan sayang dan benci itu berbaur menjadi satu. Liliane tak tahu harus melihat Kian dengan sudut pandang yang mana. Di satu sisi lelaki itu membunuh ayahnya, namun di sisi lain dia juga menghadirkan Kin dalam hidupnya.
Bila ada satu hal yang paling disyukuri oleh Liliane, maka Liliane akan menjawab kelahiran Kin adalah wujud rasa syukurnya. Meski dirinya harus bertaruh nyawa, tapi sekali lagi jika ia ditakdirkan untuk memiliki Kin di kehidupan selanjutnya, maka ia akan melakukannya.
Liliane menoleh pada saat sebuah suara menyapa indra pendengarannya. "Mommy!"
Dilihatnya Kin yang berlari dari pintu lift ke arahnya. Anak kecil itu menubruk tubuhnya. Di pundaknya masih terdapat tas ransel berwarna biru.
"Hai! Ayo pulang! Saatnya istirahat," ucap Liliane yang diangguki oleh Kin.
Mereka berjalan bergandengan menuju mobil Audi RS7 berwarna putih. Setelah membantu Kin masuk ke dalam mobil, Liliane segera memutari mobil dan berniat masuk. Namun, sesuatu menyita perhatiannya.
Di depan mobilnya ada sebuah mobil Rolls Royce Phantom berwarna hitam yang terparkir manis. Tak lama kemudian sepasang manusia keturunan Eropa terlihat keluar dari dalam gedung Hoshikawa. Sontak saja kedua mata Liliane membola terkejut. Itu Kian dan Ashley.
Dengan gerakan cepat, Liliane segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya lebih dulu menjauhi mobil Kian. Jantungnya berdetak sangat kencang, buku-buku jarinya yang menggenggam setir terlihat memutih, wajahnya juga mendadak pucat.
Sepertinya Kin mengetahui keanehan yang terjadi pada sang ibu, sehingga anak kecil itu melontarkan pertanyaan. "Apakah Mommy baik-baik saja?"
Dengan gerakan kaku, Liliane menoleh pada Kin dan sesekali matanya melihat ke depan. "Ya, Mommy baik. Bagaimana denganmu? Apakah kau senang bermain hari ini?" Liliane balik bertanya guna menghindari pertanyaan Kin tentangnya.
Ditanya seperti itu oleh ibunya, kedua mata Kin langsung berbinar antusias. "Tentu! Apakah Mommy mau mendengarkan ceritaku?"
"Tentu saja!" balas Liliane.
"Hari ini aku bertemu banyak sekali orang, termasuk Paman Kian, Paman Adam dan Bibi Ashley." Ungkap Kin yang membuat Liliane tak sengaja menginjak rem hingga membuat tubuh Kin terlempar ke depan. Untung saja Liliane segera menahan bahu putranya itu, sehingga kepalanya tidak menghantam dashboard.
"Mommy!" Kin berseru kesal. Dia menatap sang ibu dengan manik hazelnya yang tajam.
Liliane meneguk ludahnya, sialnya setiap kali melihat tatapan Kin yang seperti itu selalu mengingatkannya pada ayah putranya itu. Mereka bak pinang dibelah dua, Liliane sudah menyadarinya sejak Kin baru dilahirkan.
"Maafkan Mommy. Mommy terkejut tadi." Ucap Liliane merasa bersalah. Ia kembali melajukan mobilnya, kali ini lebih pelan, takut Kin akan mengejutkannya lagi dengan celotehan anehnya.
"Siapa mereka? Mommy tidak merasa sudah pernah mendengar ataupun mengenalnya." Liliane kembali menanyakan untuk mengorek informasi. Apakah Paman Kian yang dikatakan oleh Kin benar orang yang sama dengan Kian yang dikenalnya? Namun, ada Paman Adam dan Bibi Ashley, bukankah itu semua orang kepercayaan Kian? Lalu, bukankah jawabannya sudah jelas.
"Aku bertemu dengan mereka di restoran Mommy. Mereka sedang makan siang bersama." Ucap Kin dengan jujur.
"Kau menyelinap lagi?" tebak Liliane tepat sasaran.
Kin tampak menunduk dan memilin jemarinya. "Maafkan aku."
Terdengar helaan napas lelah dari Liliane. Wanita muda itu sudah merasa pening dengan segala tingkah laku Kin yang sama sekali tidak mirip dengannya. Anak itu sangat suka mengeksplor hal-hal baru, membuat keributan, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan segala kegiatan yang menguras tenaga lainnya.
"Mommy tidak akan mengizinkanmu datang ke restoran lagi." Putus Liliane pada akhirnya.
Mata Kin langsung melebar terkejut. "Tidak! Jangan Mommy! Dengarkan aku dulu!" pekiknya panik.
Sementara itu Liliane hanya diam dan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang harus melakukan ini agar Kian tak bisa bertemu dengan Kin lagi. Semua ini di luar kendalinya, ia tidak ingin Kian mengenali Kin sebagai anaknya.
"Mommy ... dengarkan aku. Awalnya aku hanya tertarik dengan Paman Kian. Ia begitu tampan dan memesona. Ia orang yang hangat, penyayang dan memiliki cara berkomunikasi yang baik dengan anak kecil sepertiku. Ia juga perhatian dan sangat baik padaku. Kemudian aku berpikir, mungkin Paman Kian akan cocok dengan Mommy. Jadi, aku datang ke sana untuk mendekati Paman Kian dan membantu menanyakannya untuk Mommy." Kin menjelaskan dengan wajah tanpa dosanya.
Sedangkan Liliane yang mendengar kalimat terakhir Kin sontak saja menghentikan mobilnya. Dia menatap putranya dengan nyalang. "Apa? Killian, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menjual ibumu? Kau sudah tak menyayangiku lagi?"
Kin langsung menggeleng-gelengkan kepalanya panik. "Tidak. Bukan begitu maksudku. Aku rasa Mommy harus mencari pasangan lagi. Mommy tidak bisa mencintai Ayah Ryuu, karena kalian hanya berteman. Mommy bilang Daddy-ku orang Italia, Paman Kian juga dari Italia. Jika Daddy tidak lagi menginginkan kita, kurasa Mommy bisa mencobanya dengan Paman Kian. Aku sudah menjamin jika Paman Kian masih sendiri."
"Lagipula Mommy tidak terlalu buruk untuk Paman Kian." Lanjut Kin dengan lirih, namun masih dapat didengar oleh Liliane.
Ibu anak satu itu seketika melotot. "Kenapa kau menghina Mommy? Apakah Mommy seburuk itu?"
"Tidak. Jika Mommy buruk, aku tidak akan setampan ini." Balas Kin dengan penuh percaya diri. Hey, tentu saja Kin tampan karena mewarisi gen ayahnya itu. Gen yang dibawa oleh Liliane hanya mewarisi pada warna kulit, mata dan rambut.
Liliane memegang kedua pundak putranya dan menatap serius. "Dengarkan Mommy. Maafkan Mommy apabila Mommy belum bisa mempertemukanmu dengan Daddy. Seperti yang Mommy bilang sebelumnya, Daddy amat mencintaimu dan ingin sekali bertemu denganmu. Namun, kondisi Daddy tidak memungkinkan untuk bertemu dengan kita. Mommy juga tidak berpikir untuk menikah dengan pria lain. Jadi, jangan berpikir macam-macam. Jadilah anak yang baik dan membanggakan untuk Mommy dan Daddy, oke Killian?"
Kin yang bertatapan dengan ibunya tak sadar bila matanya sudah berlinang air mata. Ia mengangguk, menyanggupi ucapan ibunya. Kemudian tangisnya pecah, dan Liliane hanya bisa memeluk anak tunggalnya itu. Dalam hati ia terus menyalahkan dirinya atas kondisi Kin yang seperti ini. Ya, semuanya adalah salahnya.[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini