Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Amina menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya menggenggam mouse dengan erat, menggulir halaman demi halaman penuh angka dan nama yang membuat perutnya bergejolak. Ini bukan sekadar bukti transaksi biasa. Ini adalah peta jaringan gelap, benang merah yang menghubungkan organisasi kriminal dengan tokoh-tokoh penting di pemerintahan.
Nama-nama yang seharusnya menjaga hukum justru ada dalam daftar penerima dana mafia. Jaksa. Hakim. Pejabat kementerian. Bahkan seorang perwira kepolisian berpangkat tinggi.
"Brengsek... ini lebih dalam dari yang kuduga."
Amina mengusap wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar. Jika semua ini benar, maka pembunuhan yang dia selidiki selama ini hanyalah ujung dari gunung es. Ada yang lebih besar di balik layar, seseorang yang sengaja mengadu domba kelompok-kelompok kriminal agar saling memangsa, sementara dirinya tetap tak tersentuh.
Dia menegakkan punggung, matanya menatap tajam layar laptop. Tidak ada jalan mundur.
Ponselnya bergetar di meja. Nomor tak dikenal.
Amina menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat. "Ya?"
"Saya punya informasi yang Anda cari." Suara pria itu datar, nyaris tanpa emosi. "Tapi tidak di sini. Kita harus bertemu."
"Di mana?"
"Ada sebuah pesta eksklusif malam ini. Golden Summit Corp adalah salah satu sponsornya. Semua orang yang berkepentingan akan hadir."
Amina menyipitkan mata. Pesta eksklusif? Itu berarti mafia dan pejabat korup akan berkumpul dalam satu ruangan.
"Saya tidak diundang," katanya, setengah berharap pria di seberang telepon memberinya akses masuk.
"Anda detektif. Anda akan menemukan cara," jawab pria itu sebelum menutup telepon.
Amina mendecak. "Nyebelin."
Malam Hari – Pesta Eksklusif
Amina berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan mata waspada. Gaun malam hitam yang ia kenakan pas di tubuhnya, elegan tetapi tidak berlebihan. Rambutnya tertata rapi di bawah hijab satin yang serasi dengan pakaiannya. Sepintas, dia terlihat seperti sosialita kaya yang datang untuk menikmati malam penuh kemewahan.
Tapi dia tahu lebih baik.
Setiap langkahnya di tempat ini berbahaya. Satu gerakan yang salah bisa membuatnya pulang dalam kantong mayat.
Dia menarik napas panjang, memasukkan flash drive kecil ke dalam clutch bag-nya, lalu melangkah keluar.
Amina melangkah masuk ke aula yang dipenuhi cahaya lampu gantung kristal. Aroma anggur dan parfum mahal bercampur di udara. Lantai marmer berkilauan di bawah kakinya, sementara suara percakapan rendah terdengar dari setiap sudut ruangan.
Mata Amina dengan cepat menyapu kerumunan. Laki-laki dengan jas mahal, perempuan dengan gaun berkilauan—semua berbicara dengan nada sopan, tapi rahasia gelap mereka tersembunyi di balik senyuman palsu.
Dia bergerak perlahan, mendekati kelompok-kelompok kecil, mencuri dengar percakapan. Beberapa berbicara tentang proyek besar, yang lain tentang saham dan investasi. Tapi sesekali, dia menangkap kata-kata yang lebih menarik.
"Pengiriman berikutnya harus lebih hati-hati."
"Jaksa itu sudah mulai bertanya-tanya."
"Jangan khawatir. Dia akan segera dibungkam."
Amina mencatat semuanya dalam ingatannya.
Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, perasaan tak nyaman merayapi punggungnya.
Tatapan.
Dia merasakannya sebelum melihat siapa pemiliknya.
Dengan hati-hati, dia mengangkat pandangannya ke seberang ruangan.
Alexander.
Pria itu bersandar di meja bar, setengah tersenyum, setengah mengamati. Setelan jasnya rapi, dasinya sedikit longgar, memberi kesan santai. Dia memegang segelas anggur, mengangkatnya sedikit saat menyadari Amina sedang menatapnya.
Tidak ada kejutan di wajahnya.
Amina berdiri tegak, tatapan Alexander mengunci pergerakannya dari seberang ruangan. Cahaya lampu gantung mewah memantulkan bayangan halus di wajah pria itu, rahangnya yang tegas, senyum kecil yang nyaris mengejek, dan mata birunya yang penuh perhitungan.
"Tenang, Amina. Dia cuma manusia biasa," batinnya, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Suasana di sekitar mereka tak kalah menegangkan. Ruangan itu dipenuhi aroma mahal parfum dan cerutu, suara percakapan rendah yang berbisik seperti angin malam, dan tawa samar yang terdengar lebih seperti peringatan daripada kebahagiaan. Semua orang di sini adalah pemain, termasuk dirinya.
Saat Amina hendak bergerak, sebuah sentuhan ringan di lengannya membuatnya tersentak. Dia menoleh cepat. Seorang pelayan berjas hitam menyerahkan sebuah kartu kecil ke tangannya dengan gerakan secepat kilat, lalu menghilang di balik kerumunan.
Amina menurunkan pandangannya ke kartu itu. Tinta emas berkilau di bawah cahaya redup.
"Meja VIP. - Alexander."
Dia menarik napas panjang. "Jadi ini permainannya."
Ruangan VIP jauh lebih sepi. Hanya ada beberapa tamu dengan tatapan penuh rahasia, berbicara pelan sambil menikmati minuman mahal. Di tengah ruangan, Alexander sudah duduk di meja poker, dua jari mengetuk permukaan kayu mengilap dengan ritme santai.
"Akhirnya datang juga," katanya dengan nada puas. "Kupikir kau akan menghindar."
Amina melangkah mendekat, tetap menjaga ekspresi dinginnya. "Aku tidak terbiasa menolak tantangan."
Alexander menyeringai. "Bagus. Karena malam ini, kita bertaruh sesuatu yang besar."
Dia menunjuk kursi di seberangnya. Amina duduk tanpa ragu, tangannya bersilang di dada.
"Apa taruhannya?"
"Kau menang, aku beri informasi yang kau cari. Tapi jika kau kalah..." Alexander mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya nyaris berbisik. "Kau keluar dari kasus ini. Selamanya."
Amina mendengus. "Terdengar seperti kesepakatan yang dibuat oleh orang yang takut kalah."
Alexander tertawa kecil. "Kita lihat saja."
Seorang dealer mulai membagikan kartu. Amina mengatur napasnya. Poker bukan sekadar permainan kartu, ini permainan membaca lawan, melihat kelemahan di balik kedok mereka.
Alexander terlihat santai, tapi Amina tahu lebih baik dari itu. Dia memperhatikan setiap gerakannya: cara dia memiringkan kepalanya sedikit, ketukan jarinya di meja, bagaimana dia sesekali melirik gelas anggurnya sebelum meletakkannya kembali tanpa minum.
"Dia sedang menilai reaksiku juga."
Putaran pertama, Amina unggul. Alexander hanya mengangkat alisnya, seolah tidak terkejut.
Putaran kedua, Alexander mulai meningkatkan taruhan. Amina mengikuti, tetap menjaga ekspresi netral.
Putaran ketiga, suasana semakin menegang. Alexander menatapnya lebih lama dari biasanya, seolah mencoba menggali sesuatu dari balik matanya.
"Jadi," katanya, meletakkan kartunya dengan gerakan santai, "apa yang membuat seorang detektif seperti dirimu nekat masuk ke dunia ini?"
Amina tersenyum tipis. "Kebenaran."
"Kebenaran itu mahal," balas Alexander. "Dan terkadang, lebih baik tidak ditemukan."
Amina hanya mengangkat bahu. "Aku tidak terbiasa membiarkan sesuatu tetap tersembunyi."
Alexander menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. "Menarik."
Putaran terakhir tiba. Amina melihat kartunya, hampir sempurna. Dia yakin ini bisa membuatnya menang.
Namun, di saat terakhir, Alexander menaikkan taruhan dengan angka yang mencengangkan.
Semua orang yang ada di ruangan menahan napas.
Amina memicingkan mata. Ini bukan hanya gertakan biasa.
"Jadi?" tanya Alexander. "Mau ikut, atau mundur?"
Amina berpikir cepat. Jika dia ikut dan kalah, dia kehilangan kasus ini. Jika dia mundur, dia menunjukkan kelemahan.
Dengan tenang, dia melirik Alexander. Pria itu tampak terlalu percaya diri, dan itulah yang membuatnya ragu.
"Dia pasti punya sesuatu."
Namun, Amina tidak mundur.
"Aku ikut."
Dealer membuka kartu terakhir.
Diam.
Amina menahan napas.
Dia kalah.
Kesepakatan Baru
Alexander tidak langsung merayakan kemenangannya. Dia hanya menatap Amina dengan ekspresi sulit ditebak.
"Kau kalah," katanya akhirnya.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.