Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Bukan Sugar Daddy
"Hayolooooh, kamu kenapa, Nai? Siapa yang nganter kamu? Kok lama kali nutup pintunya?"
Naila menoleh cepat, kaget bukan main. Ternyata yang menyambutnya bukan angin lalu, tapi Azwa—teman satu angkatan yang kini cukup dekat dengannya—ia baru saja memarkir motor yang biasa digunakan untuk kuliah.
“Azwa! Ya ampun, kamu ngagetin aja!” Naila menepuk dadanya pelan, pura-pura tenang padahal pipinya makin merah.
Azwa langsung melangkah mendekat sambil menyipitkan mata curiga. “Eh, eh, tunggu dulu. Itu mobil siapa? Kok kamu terlihat aneh begitu?"
Azwa membungkuk memperhatikan rona merah tak kunjung padam dari wajah Naila. "Kenapa kamu turun dari mobil kayak orang yang habis... hmm... Itu ciyee-an kamu ya?”
Naila buru-buru melangkah menuju gedung kampus sambil mengibaskan tangan. “Eh, engga ah. Dia itu bukan siapa-siapa kok. Itu tadi... eh... hanya supir taksi online. Nggak penting.”
Azwa mengejar sambil terkikik. “Taksi online apaan, mobilnya semahal itu?"
Azwa kembali melirik ke arah mobil yang masih berdiri di posisi yang sama. Lewat jendela tanpa tutup, Azwa menyaksikan dengan jelas, pria yang duduk di bangku kemudi tak mengedipkan mata sama sekali memperhatikan Naila dalam diam.
"Hei, tunggu, itu cowoknya udah mateng banget woi gila? Ganteng banget, anjiiir." Azwa menyadari telah jauh ketinggalan dan segera mengejar Naila.
"Nai, ayo cerita padaku. Apa dia orang yang sponsori kamu?"
Naila berhenti dan alisnya hampir menyatu mencoba memahami arti ucapan gadis tengil itu. Tapi, ternyata memang tak masuk dalam kepala. "Maksudnya?"
"Orang itu pasti sugar daddy kamu kan?"
Naila tersentak dan menggeleng cepat. "Ih, apaan sih? Gak boleh! Itu dosa." Ia melanjutkan perjalanan menuju ruang kelas tanpa mengubris Azwa yang terus mengorek informasi.
Tak lama, setelah sampai di kelas, ia mengambil posisi paling depan, diikuti oleh Azwa. "Ayo lah, Nai. Ceritakan padaku sebenarnya dia itu siapa? Jangan biarkan aku mati karena penasaran gini!"
"Aduuuh, Azwa. Kan sudah aku bilang. Dia itu hanya supir taksi online yang aku pesan tadi," elak Naila kembali.
"Masa sih?" tanya Azwa kembali, tapi kali ini dia terlihat mulai percaya.
"Iya."
"Terus kenapa lama keluarnya?"
Naila berpikir sejenak. "Oh, itu aku bayarnya cash. Terus dia gak punya kembalian. Jadi aku cari dulu duit-duit kecil yang nyempil di dalam tas. Ternyata duitnya malah ga cukup. Tapi untung orangnya baik banget. Dia ga marah walau ongkos yang aku bayar, kurang dari seharusnya," ucap Naila memperbanyak kebohongan demi menutupi semua.
"Aduuuh, kok bisa ya ada cowo kece bawa mobil keren tapi malah jadi taksi online. Aku pikir, dia itu yang modalin semua yang kamu punya. Kalau iya, siapa tau kamu bisa ajarin aku untuk dapat yang gitu pula," rajuk Azwa memanyunkan bibir.
"Huuuhff, aku pengen juga lah, dapat supir taksi online kayak gitu. Kalau aku dapat, pasti aku simpan dengan baik kontaknya. Tapi masalahnya, apa aku bisa dapat yang gitu juga ya?"
"Bisa, asal kamu pesen taksi online! Ga pake motor ke kampusnya," jawab Naila menahan geli.
...
Di luar gedung kampus, Martin masih duduk di dalam mobil. Matanya tak lepas dari pintu masuk tempat Naila menghilang barusan.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Ada hal yang terasa ganjil—bukan karena ia menunggu lebih lama dari seharusnya, tapi karena sejak pagi, jantungnya ikut aneh. Ia, yang biasanya kaku dan tak suka keramaian, kini duduk mematung seperti sopir pribadi yang menunggu majikan kembali muncul dari tempat ia menghilang.
Dalam pikirannya, tak henti terngiang suara Naila yang memanggilnya dengan: “Mas.”
Itu bukan hanya panggilan biasa. Itu seperti hipnotis yang membuat hatinya luluh, bahkan ia seakan tak sadar tak mau jauh dari Naila hingga membuatnya tak mampu berpindah sedikit pun.
Martin meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan.
> Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku ya.<
Ia ragu sejenak, lalu menambahkan:
> Dan... aku senang kamu memenuhi permintaan untuk memanggilku 'Mas.' Apa kamu mau Mas jemput saat pulang nanti?
Ia tekan kirim, lalu tersenyum samar, menyembunyikan wajah pada setir kendaraannya. Ada bunga yang mekar di dalam hatinya.
Sementara itu, Naila yang membaca pesan langsung menyembunyikan ponsel ke dalam tas. Ia melirik Azwa yang dikhawatirkan ikut mengintip. Ia menyembunyikan wajahnya yang kembali terasa panas.
"Nai? Kamu sembunyiin apa?"
"Nggak... nggak apa-apa." Naila buru-buru mengatur napas, berpura-pura sibuk mengeluarkan buku catatan dari tasnya. Tapi wajahnya jelas tak bisa menyembunyikan rona yang kembali memerah.
Azwa menyipitkan mata. “Jangan bilang itu chat dari 'supir taksi online' kamu tadi?”
“Azwaaa...” Naila mengerang pelan, setengah malu setengah gemas.
“Oke, oke. Aku nggak bakal ganggu lagi... asal kamu kasih lihat fotonya!” bisik Azwa jahil, tapi lalu tertawa sendiri sambil menyenggol lengan Naila.
Naila hanya bisa tersenyum tipis sambil menatap layar ponsel yang masih menyala di dalam tas. Hatinya berdebar tidak karuan. Bukan hanya karena pesan itu... tapi karena ada bagian dari dirinya yang ingin dijemput oleh Martin. Dan itu... cukup menakutkan apalagi di sisinya selalu ada Azwa yang memiliki jiwa lambe turah.
Bibirnya bergerak pelan, seperti berbicara hanya pada dirinya sendiri. "Kenapa sih... Mas Martin bisa semakin aneh? Jantungku kenapa rasanya menjadi tak menentu?"
"Apa, Nai? Kamu mengatakan sesuatu?"
Naila tersenyum menggelengkan kepala.
****************
Perkuliahan pertama usai, Naila dan Azwa memilih berbincang, di beranda klinik hukum di kampusnya ini. Beberapa waktu kemudian Naila mulai merasa ada yang aneh. Di tengah perbincangan ringan tentang banyak hal, hatinya tiba-tiba berdebar tak wajar.
Ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia melirik ke sekitar, menatap beberapa bangku dan meja yang memang biasanya juga didatangi oleh mahasiswa fakultas lain. Sesuatu dalam dirinya merasakan bahwa ada yang memperhatikannya, meskipun tak ada yang tampak mencurigakan.
"Hei lihat! Ada senior hima yang ganteng tuh," Azwa menyenggol Naila, membuatnya sedikit tersentak karena kaget. Akan tetapi perasaan aneh itu masih menggelayuti.
Pandangannya melintas ke arah bangku paling ujung—sejenak—ia terhenti. Di antara keramaian kampus, ia menangkap sosok yang duduk di sana, duduk dengan hoodie bewarna pink, seperti sedang menunggu seseorang. Satu detik, dua detik, ia itu tampak sadar ia sedang diperhatikan, dan kemudian dengan cepat berbalik, mencoba menyembunyikan wajahnya di balik bayang-bayang.
Naila menelan ludah. Rasa aneh itu semakin menggigit. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan.
'Mungkin aku hanya terlalu lelah, jadi over thinking sendiri,' pikirnya.
Namun, sesaat setelah ia berpaling, ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru muncul di layar:
> Apa kamu merasa sedang diawasi?<
Jantung Naila berdegup kencang. Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal. Ia ragu sejenak, menatap layar dengan bingung. Bagaimana bisa? Perasaan terawasi yang tadi ia rasakan bisa ditebak oleh kontak tak dikenal?
Naila segera membuka pesan berikutnya:
> "Aku di sini. Untuk mengawasimu! Cam kan itu!"<
Seperti petir yang menyambar, Naila merasa seakan dunia berhenti sejenak. Apa yang terjadi? Kenapa ada yang mengancamku seperti ini? Jantungnya berdegup tak karuan, dan ia menatap bangku paling ujung lagi, kali ini lebih waspada. Tapi sosok yang memakai hoddie pink tadi.
"Nai? Kamu kenapa?" Azwa yang tak sadar apa yang sedang terjadi, mengguncang bahunya.
Naila terperanjat, mengalihkan perhatian dan berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Nggak... nggak apa-apa," jawabnya sambil berpura-pura biasa, meskipun wajahnya kembali memerah.
'Siapa yang melakukan ini?'
...****************...
Jangan lupa untuk selalu memberikan dukungan kepada Author ya. Terima kasih kakak-kakak readers semua. 😇