Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mayat Tanpa Identitas.
Hari berlalu, menjadi minggu. Minggu berubah menjadi bulan.
Pencarian mereka menemui jalan buntu, dan seiring waktu, Valeria mulai kehilangan minat.
Dante masih mencoba menggali informasi, tetapi setiap jalur yang ia kejar berujung kosong. Tidak ada jejak, tidak ada nama, tidak ada yang bisa dihubungkan dengan wanita Rusia itu. Seolah-olah dia hanyalah ilusi.
Sementara itu, Valeria mulai melupakan seluruhnya.
—
Valeria, Kembali ke Dunianya
Valeria kembali ke kehidupannya sebagai seniman eksentrik. Ia menghabiskan waktu di studionya, melukis tanpa gangguan.
Dante memperhatikannya dari jauh. Dia tahu Valeria mudah bosan. Jika sesuatu tidak cukup menarik baginya, dia akan membiarkannya begitu saja, seolah itu tidak pernah ada.
Dan itulah yang terjadi.
Wanita Rusia itu perlahan memudar dari pikirannya.
—
Angin laut malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau garam bercampur dengan aroma anyir darah yang masih segar. Di dermaga yang sepi, mayat seorang pria tergeletak—jari-jarinya put*s satu per satu, matanya terbuka lebar seolah kematian datang lebih lambat dari yang seharusnya.
Dante berdiri di depan tubuh itu, sementara Valeria berjongkok di sampingnya, mengamati setiap luka dengan ekspresi penuh minat.
Luca, yang berdiri di dekat mereka, berdehem pelan. “Kami menemukannya satu jam lalu. Tidak ada identitas, tidak ada sidik jari yang bisa dikenali.”
Dante menatap Luca sekilas sebelum mengambil kertas kecil yang terselip di saku korban.
"Kau tidak bisa melindungi semuanya."
Dante mengepalkan kertas itu di tangannya.
Valeria, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. “Menarik.”
Dante menatapnya. “Apa yang menarik?”
Valeria tersenyum kecil, ujung jarinya menyentuh salah satu luka di dada mayat itu. “Lihat ini.”
Dante memperhatikan luka tersebut lebih dekat. Bekas sayatan di dada pria itu tidak acak, melainkan membentuk simbol tertentu—seperti tanda silang yang terpotong di ujungnya.
Luca mengerutkan kening. “Apa itu?”
Valeria berdiri, mengibaskan tangannya yang terkena darah. “Sebuah tanda. Tapi bukan tanda peringatan biasa.”
Dante menatap simbol itu dengan ekspresi gelap. Dia pernah melihat ini sebelumnya.
—
Dante dan Valeria kembali ke vila mereka. Dante langsung menuju ruang kerjanya, membuka berkas-berkas lama yang sudah berdebu.
Valeria duduk di atas meja, menyilangkan kakinya sambil mengamati Dante yang mulai sibuk. “Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja dihantui oleh masa lalu.”
Dante tidak menjawab. Dia terus mencari hingga akhirnya menemukan apa yang dicarinya—sebuah foto lama.
Di dalamnya, ada seorang pria dengan tanda yang sama terukir di dadanya.
Pria itu mati delapan tahun lalu.
Valeria mengambil foto itu dari tangan Dante dan mempelajarinya dengan penuh minat. “Jadi… seseorang menghidupkan kembali cerita lama?”
Dante menatapnya dalam. “Bukan sekadar cerita. Ini balas dendam.”
—
Delapan tahun lalu, Dante pernah membasmi sebuah organisasi kriminal kecil yang mencoba memasuki wilayahnya. Organisasi itu dikenal sebagai “La Croce Tagliata”—Salib Terpotong.
Mereka bukan kelompok besar, tapi mereka brutal, tidak terduga, dan berbahaya.
Dante yakin mereka telah dimusnahkan. Tapi jika simbol itu kembali muncul di tubuh mayat ini…
Berarti ada seseorang dari masa lalu yang masih hidup.
Valeria menyandarkan kepalanya ke bahu Dante, senyumnya melebar. “Sepertinya kita punya permainan baru.”
Dante menghela napas, matanya tetap fokus pada foto di tangannya. “Dan aku tidak suka bermain dengan hantu masa lalu.”
Tapi sayangnya, hantu itu sudah mengetuk pintunya.
Dante menatap foto itu lama, lalu akhirnya mengalihkan pandangannya pada Valeria. “Kalau ‘La Croce Tagliata’ masih hidup, itu berarti seseorang selamat delapan tahun lalu.”
Valeria memutar foto itu di tangannya, tersenyum. “Dan dia tidak hanya selamat… dia cukup pintar untuk bertahan dan kembali dengan cara yang halus.”
Luca, yang ikut menyaksikan, mengangguk setuju. “Tapi siapa? Saat itu, kita menghabisi semua anggotanya.”
Dante terdiam sejenak, lalu mengetik sesuatu di laptopnya. Ia membuka catatan lama tentang operasi pembersihan terhadap La Croce Tagliata.
“Pemimpin mereka, Riccardo, mati.”
Valeria mengangkat alis. “Kau yakin?”
Dante mengangguk. “Kita menemukan tubuhnya. Luka tembak di kepala, langsung dieksekusi.”
Luca menambahkan, “Semua letnan dan eksekutor mereka juga dihabisi.”
Dante menyipitkan mata. Tapi ada satu nama yang tidak pernah dikonfirmasi kematiannya.
"Giovanni Rizzo."
Seorang eksekutor berdarah dingin. Bukan bagian dari lingkaran dalam La Croce Tagliata, tapi tangan kanan Riccardo dalam urusan kotor mereka. Pembunuh bayaran paling berbahaya yang mereka punya.
Namun, tubuhnya tidak pernah ditemukan.
Valeria tersenyum miring. “Aku suka pria yang tahu cara menghilang.”
Dante mengetukkan jarinya ke meja. “Jika ini memang dia, maka dia bukan hanya menghilang. Dia menunggu.”
—
Dante segera memerintahkan Luca untuk mencari informasi tentang kemungkinan Giovanni Rizzo masih hidup. Sementara itu, Valeria punya rencana sendiri.
Malam itu, ia menyelinap keluar tanpa memberi tahu Dante.
Tujuannya? Menemukan seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang mayat di pelabuhan.
Valeria pergi ke sebuah bar bawah tanah di Roma, tempat para informan dan kriminal kelas bawah sering berkumpul. Dengan kecantikannya yang mematikan dan aura misteriusnya, ia tak butuh waktu lama sebelum seseorang mulai berbicara.
Seorang pria mabuk menyebutkan sebuah nama: "Il Lupo"—Si Serigala.
Seseorang yang baru saja kembali ke dunia kriminal, dan langsung menargetkan Dante Salvatore.
—
Saat Valeria kembali ke vila, ia menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.
Di halaman depan vila, seseorang telah meninggalkan sebuah kotak kayu kecil.
Dante, yang sudah menunggunya di depan pintu, membuka kotak itu.
Di dalamnya, ada lima jari manusia.
Valeria terkekeh kecil. “Sopan sekali. Dia mengembalikan apa yang hilang dari mayat di pelabuhan.”
Dante menatap jari-jari itu dengan rahang mengatup rapat. Di dasar kotak, ada secarik kertas lain.
"Kali ini hanya jari. Besok, kepalanya."
Valeria menatap Dante dengan mata berbinar. “Sepertinya seseorang benar-benar ingin bermain.”
Dante menarik napas dalam, lalu menatap Valeria dengan ekspresi dingin. “Kalau begitu, kita pastikan permainan ini tidak berlangsung lama.”
---
Dante menatap kotak kayu itu untuk terakhir kalinya sebelum menutupnya dengan kasar.
“Kita harus menemukannya sebelum dia semakin berani,” katanya.
Valeria menyeringai, mengambil jari manusia dari dalam kotak dan memutarnya di antara jemarinya. “Aku penasaran, apa yang akan dia lakukan jika aku mengirim ini kembali dengan sedikit tambahan?”
Dante menatapnya tajam. “Kita tidak akan mengirim pesan. Kita akan langsung mengakhiri ini.”
Luca muncul dari dalam vila, ekspresinya tegang. “Aku punya sesuatu.”
Ia menyerahkan ponselnya pada Dante. Layar menunjukkan rekaman CCTV buram dari seseorang yang melemparkan kotak kayu itu ke depan vila mereka.
Pria itu memakai masker, tetapi ada sesuatu yang khas dari caranya berjalan.
Valeria mendekat, memperhatikan gerakan pria itu dengan cermat. Lalu ia tersenyum tipis. “Dia bukan Giovanni Rizzo.”
Dante mengangkat alis. “Kau yakin?”
Valeria mengangguk. “Lihat caranya berjalan. Giovanni Rizzo adalah seorang eksekutor. Dia bergerak dengan percaya diri, seperti seseorang yang selalu siap menyerang. Pria ini… dia terlihat ragu-ragu. Dia bukan pembunuh. Dia hanya pesuruh.”
Luca mengangguk. “Kalau begitu, kita tangkap dia dan buat dia bicara.”
Dante menyeringai dingin. “Temukan dia.”
—
Satu jam kemudian, Dante dan Valeria berada di dalam mobil hitam yang diparkir di gang sempit.
Luca sudah menelusuri rekaman CCTV dan menemukan bahwa pria bertopeng itu sering berkeliaran di sebuah gudang tua di pinggiran kota Roma.
“Kita bawa dia hidup-hidup,” kata Dante sambil memeriksa pistolnya.
Valeria menghela napas dramatis. “Kau selalu membosankan.”
Dante menatapnya tajam, tapi sebelum dia bisa menjawab, sebuah suara tembakan terdengar dari dalam gudang.
Mereka saling bertukar pandang. Seseorang sudah lebih dulu datang.
Tanpa menunggu lebih lama, Dante dan Valeria keluar dari mobil dan bergerak ke dalam gedung tua itu.
Di dalam, mereka menemukan mayat pria bertopeng itu, tertembak di kepala.
Sebuah pesan tertulis di dinding dengan darah segar.
"Kalian terlambat."
Valeria tertawa kecil. “Sepertinya seseorang menikmati ini lebih dari kita.”
Dante menggeram pelan. “Giovanni Rizzo ingin bermain dengan kita. Baik.”
Matanya menyipit tajam.
“Tapi aku tidak bermain untuk kalah.”
Dante menatap pesan berdarah di dinding. "Kalian terlambat."
Giovanni Rizzo memang pemain lama, tapi Dante tidak pernah suka ketika seseorang mencoba mengendalikan permainan.
Valeria berjongkok di samping mayat pria bertopeng itu, ujung jarinya menyentuh darah segar di lukanya.
“Eksekusi bersih. Satu peluru, langsung ke kepala.” Ia tersenyum. “Rizzo selalu perfeksionis.”
Luca mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari petunjuk lain. “Kita kehilangan jejaknya lagi.”
Dante mengepalkan tangan. “Tidak juga.”
Ia menatap darah di dinding, memperhatikan detailnya. Giovanni Rizzo bisa saja mengirim pesan lewat cara lain, tapi dia memilih menggunakan darah korbannya. Itu bukan hanya peringatan. Itu adalah tantangan.
—
Valeria berjalan mengelilingi gudang, menyentuh barang-barang yang berdebu, seolah mencari sesuatu.
“Giovanni adalah pembunuh bayaran yang disiplin, bukan tipe yang membuang waktu.” Ia melirik ke arah Dante. “Jika dia menghabisi orang ini di sini dan meninggalkan pesan, itu berarti ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan.”
Dante mengangguk. Ia berjalan mendekati salah satu dinding yang terbuat dari kayu lapuk, lalu mengetuknya pelan. Bunyi hampa.
Dengan cepat, ia menarik pisau dari sabuknya dan menyelipkannya ke celah kayu, lalu mencongkel papan itu.
Di baliknya, ada sebuah amplop hitam.
Luca mengambilnya dan membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya ada foto seseorang.
Seorang pria tua berambut putih, duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota Roma.
Di bawahnya, hanya ada satu kata tertulis.
"Besok."
Dante menatap foto itu tajam. “Dia ingin kita datang.”
Valeria tersenyum licik. “Kalau begitu, kita tidak akan mengecewakannya.”
—
Keesokan harinya, Dante, Valeria, dan Luca tiba di restoran yang ada di foto. Tempat itu ramai, penuh dengan orang-orang kelas atas yang menikmati makanan mahal mereka.
Mereka masuk dengan langkah santai, tetapi mata mereka waspada.
Di sudut ruangan, pria tua dalam foto itu sedang duduk sendirian, menyeruput anggurnya.
Dante berjalan mendekat. “Giovanni Rizzo.”
Pria itu mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Dante Salvatore. Akhirnya kita bertemu.”
Valeria menarik kursi dan duduk dengan santai. “Kau membuat banyak kekacauan hanya untuk mendapat perhatian kami.”
Giovanni tertawa kecil. “Kekacauan? Ini baru permulaan.”
Dante tidak punya waktu untuk basa-basi. “Apa yang kau inginkan?”
Giovanni mengaduk anggurnya pelan, lalu menatap mereka dengan mata yang penuh kesenangan.
"Aku ingin kalian tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya, seperti yang aku rasakan delapan tahun lalu."
Seketika, sebuah ledakan keras mengguncang restoran.
Jendela pecah, teriakan memenuhi udara. Dante segera menarik Valeria ke bawah meja, sementara Luca mengeluarkan pistolnya.
Giovanni Rizzo sudah menghilang.
Di tengah kekacauan, satu hal menjadi jelas:
Mereka bukan pemburu dalam permainan ini. Mereka adalah buruan.