Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pulang ke rumah
Motor itu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan-jalan kecil yang mulai akrab di mata Santi. Perjalanan dari rumah sakit ke Desa Sukamanah hanya sekitar tiga puluh kilometer, tapi rasanya seperti menempuh separuh hidup. Dalam satu jam perjalanan, kenangan masa kecilnya perlahan bermunculan satu per satu—bagai daun-daun kering yang diterbangkan angin ke pelupuk mata.
Akhirnya, motor berhenti di sebuah rumah kecil di ujung desa. Rumah itu berdiri di sisi sawah yang mulai menguning, dikelilingi rumput liar dan suara jangkrik yang menyambut senja. Rumah kayu tua, catnya mengelupas, dindingnya mulai lapuk, namun begitu akrab di hati. Di sinilah dulu ia tumbuh, dalam keterbatasan, namun tak pernah kekurangan cinta.
Santi turun dari motor sambil menggendong Nabil yang tertidur lelap. Napas kecil anak itu terasa hangat di punggungnya, membuat hatinya luluh. Meski Nabil sudah lima tahun dan belum bisa berjalan, Santi tak pernah menganggapnya beban. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk meninggalkannya, apalagi menitipkannya ke panti asuhan seperti yang disarankan Bayu dan keluarganya. Bagi Santi, Nabil adalah anugerah, bukan aib. Ia menerimanya dengan penuh cinta, tanpa syarat. Tak peduli seberapa berat jalan yang harus dilalui, Santi berjanji akan terus memeluk dan menjaga Nabil, sampai akhir hayatnya.
"Berapa ongkosnya, Bang?" tanyanya lembut kepada pengemudi ojek.
“Sudah dibayar, Neng. Sama ibu perawat tadi, via aplikasi,” jawab si driver dengan senyum kecil.
Santi tercekat. Lagi-lagi, kebaikan hadir di saat ia nyaris putus asa. Ia mengangguk pelan, mengucapkan terima kasih, dan menahan air mata yang hendak jatuh.
Langkahnya berat menuju teras rumah. Di depan pintu yang sudah mulai rapuh, ia mengetuk pelan.
Tok... tok... tok...
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras. Hatinya berdegup kencang, bukan hanya karena cemas Nabil akan bangun, tetapi juga karena rasa bersalah yang menghantam jantungnya.
Ia belum pernah pulang sejak ayah dan ibunya meninggal. Waktu itu adiknya, Heru, baru berusia sepuluh tahun. Kini, lima tahun telah berlalu.
Bukanya ga mau pulang tapi bayu yang tidak pernah mengijikannya dan waktu itu santi tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti bayu.
“Jadi, akhirnya pulang juga rupanya,” suara itu sinis, namun tidak asing.
Santi menoleh. Di bawah cahaya sore yang mulai meredup, berdiri seorang remaja laki-laki. Tubuhnya kekar, kulitnya kecokelatan terbakar matahari, dan tangan-tangannya kasar. Heru.
Ia tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Matanya tajam, bukan karena benci, tapi karena terlalu lama bertahan hidup sendiri. Hati Santi terasa hancur. Ingin sekali ia memeluk Heru, tapi rasa bersalah menahannya.
Heru tidak bicara lagi. Ia berjalan melewatinya, mengambil kunci dari kantong celana, dan membuka pintu rumah.
“Kenapa cuma diam? Cepat masuk,” ucapnya, tanpa menatap.
Santi tertegun. Ia mengikuti Heru masuk. Heru mengambil plastik yang berisi pakaian Santi dan Nabil, lalu membawanya ke dalam kamar. Meski ucapannya dingin, tapi tindakannya masih menyiratkan kepedulian.
Kamar itu masih seperti dulu. Kasurnya tipis dan lepek, mungkin sudah lebih dari dua puluh tahun usianya. Tapi rumah itu bersih. Sangat bersih. Bahkan debu pun nyaris tak ada. Santi tahu, Heru menjaga rumah ini. Seperti menjaga satu-satunya peninggalan orang tua mereka.
Ia membaringkan Nabil di kasur dan menyelimuti tubuh kecil itu. Lalu ia keluar ke ruang tengah, tempat Heru duduk sambil menuangkan air ke dalam gelas plastik.
“Minumlah,” ucap Heru, datar.
Santi menerima gelas itu dengan tangan gemetar. “Dek... boleh nggak kakak tinggal di sini?”
“Kenapa emang?” tanya Heru tanpa ekspresi.
“Aku... sudah diceraikan oleh Bang Bayu.”
Heru bangkit. Mendadak, ia memeluk Santi erat, dan menangis.
“Hiks... hiks... hikss...”
Santi terpaku. Ia tidak menyangka akan melihat adiknya, yang selama ini tampak kuat dan tegar, menangis seperti anak kecil.
“Akhirnya Kakak lepas dari pria bajingan itu,” bisik Heru di sela isak tangisnya.
Santi merasakan dadanya sesak. “Kamu... benci banget sama Bayu, ya?”
Heru melepaskan pelukannya, duduk kembali, dan menunduk. “Aku pernah lihat dia selingkuh, Kak. Samaseorang wanita tetangga kampung sebelah. Waktu itu aku tegur, malah aku yang dihajar. Dia ngancam aku supaya diam. Katanya kalau aku cerita ke Kakak, Kakak bakal disakitin. Aku takut, Kak... Aku takut kehilangan Kakak.”
Santi menggenggam tangan Heru. “Maafkan Kakak, ya... Kakak terlalu lama diam, terlalu lama percaya sama orang yang salah.”
“Maafin sikap ku tadi kak, aku bersikap dingin karena aku takut kaka bersama bayu kesini, aku tidak mau bajingan seperti bayu mengotori rumah kita, aku bahagia akhirnya kaka bisa lepas dari pria bajingan seperti bayu” ucap heru
Santi tersenyum tipis, lalu mengusap kepala adiknya. “Sekarang Kakak cuma ingin fokus besarkan Nabil dan jaga kamu.”
Heru mengangguk kecil, lalu menatap Santi. “Tadi aku bantu-bantu di hajatan. Nyuci piring. Tapi... aku diusir, Kak. Dituduh mecahin piring. Maaf, aku nggak bisa bawa makanan.”
Santi memeluk Heru sekali lagi. Kali ini lebih erat.
“Dek... kamu bukan anak pembuat onar. Kakak tahu kamu anak baik. Rajin. Jujur. Dunia aja yang sering nggak adil sama kita.”
Air mata Santi jatuh satu per satu. Bukan karena kesedihan semata. Tapi karena rasa syukur—bahwa di tengah luka dan kehilangan, ia masih punya rumah. Masih punya seseorang yang menyayanginya tanpa syarat. Masih punya tempat untuk memulai kembali.
Santi membuka dompet lusuhnya, hanya tersisa beberapa lembar uang ribuan dan selembar lima puluh ribuan yang terasa begitu berharga. Tapi wajah Heru yang terlihat lapar dan lelah, membuatnya tak berpikir dua kali. Ia ulurkan uang itu dengan senyum lembut. “Belilah bahan makanan, atau kalau kamu belum makan, beli saja nasi goreng. Sekalian beli roti buat Nabil, siapa tahu dia nanti bangun dan lapar.”
Heru menatap uang itu, lalu memandang wajah kakaknya. Ada getir yang mencuat di dalam dadanya. Tangannya gemetar saat menerima uang itu. “Maaf ya, Kak… Harusnya aku bisa melindungi Kakak. Tapi aku malah nggak bisa apa-apa. Aku malu jadi laki-laki yang bahkan nggak bisa jaga satu-satunya keluarga yang aku punya,” ucapnya lirih.
Santi tersenyum, lalu meraih kepala Heru dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. “Kamu memang kebanggaan Kakak, Heru. Lihat kamu sekarang… kamu tumbuh jadi anak yang kuat, mandiri, dan berhati baik. Kakak justru bangga banget sama kamu.”
Heru mengangguk pelan, masih berusaha menyembunyikan genangan di matanya. Namun sebelum keluar rumah, matanya tak sengaja tertuju pada kamar tempat Nabil terbaring. Anak kecil itu tidur pulas, peluh kecil membasahi keningnya. Santi menegang, menanti reaksi Heru. Ia tahu, Nabil tidak seperti anak-anak lain. Banyak orang memandangnya sebelah mata—bahkan mencibir Santi karena tetap mempertahankannya.
Umur 5 tahun masih belum bisa berjalan, kepalanya besar, matanya besar bahkan bayu mengatinya anak buto ijo, ah kalau ingat itu santi sangat sedih sekali
Tanpa banyak kata, Heru melangkah pelan ke dalam kamar. Ia mendekat, lalu jongkok di samping Nabil. Hening beberapa detik. Lalu perlahan, ia menunduk dan mencium pipi keponakan kecilnya. Santi nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak ada raut jijik, tak ada rasa malu atau kasihan berlebihan. Hanya tatapan teduh dan lembut, penuh kasih yang tulus.
“Ka… namanya siapa?” tanya Heru pelan, hampir seperti bisikan.
“Nabil, Dek. Namanya Nabil,” jawab Santi dengan suara serak. Air matanya tumpah, tapi kali ini bukan karena luka, melainkan karena haru.
Heru menoleh ke kakaknya, lalu mengangguk mantap. “Nama yang bagus. Akhirnya aku bisa lihat keponakanku juga. Jangan serahkan dia ke Bayu ya, Kak. Aku nggak rela.” Ucapannya tegas, seperti janji yang ia ukir di dasar hati.
Santi menggenggam tangan Heru, mencium punggung tangannya. “Nyawa Kakak taruhannya kalau dia berani datang untuk ambil Nabil,” ucapnya mantap. Tak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya keberanian yang lahir dari cinta dan pengorbanan.
Heru mengusap air mata kakaknya pelan. “Kalau gitu, kita berjuang bareng ya, Kak. Kita besarkan Nabil sama-sama. Kita nggak akan biarkan siapa pun menyakiti dia.”
Santi mengangguk, hatinya terasa hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak sendiri. Rumah tua ini, yang dulu hanya menyimpan kenangan, kini kembali hidup. “Ya sudah, beli nasi goreng aja ya, Dek. Nanti kita makan bareng. Rumah ini terasa lebih hangat dengan kamu di sini.”